Untuk semua kesuksesan yang diraih, karir gemilang Didier Drogba adalah salah satu kisah di mana tokoh utama harus melalui rintangan berat.
Lahir dan dibesarkan di metropolis padat Abidjan, Pantai Gading, dia keluar dari Afrika pada saat usia lima tahun, Drogba dikirim ke Prancis untuk tinggal bersama pamannya, Michel Goba, seorang pesepakbola profesional yang mengukir karir di kasta kedua sepakbola Prancis.
Krisis ekonomi yang sedang terjadi di Pantai Gading kala itu, membuat sang ibunda terpaksa untuk mengirim anak nya ke Perancis. Drogba bertemu dengan pamannya di bandara Charles de Gaulle, Paris. Setelah beberapa bulan sang anak tinggal di Prancis, orang tua Drogba berpandangan bahwa Drogba hanya akan fokus untuk pendidikan dan tidak menjadikan sepakbola sebagai prioritas utama, berbeda dengan Goba yang menjadikan sepakbola sebagai pekerjaanya. Namun, Goba tidak setuju dan sangat ingin menjadikan Drogba sebagai pesepakbola. Setelah berdiskusi dengan orang tuanya, akhirnya Goba memasukkan Drogba ke sebuah akademi sepakbola tanpa mengesampingkan kebutuhan akademis.
Drogba fokus menyelesaikan pendidikannya dan sepakbola hanya menjadi kegiatan paruh waktu. Ia pun melanjutkan pendidikannya di bangku perkuliahan hingga mendapatkan gelar sarjana di Universitas Maine dan sedikit mulai fokus bermain sepak bola di Le Mans.
Dalam meniti karir sepakbola nya, Drogba menemui banyak jalan terjal. Dirinya harus kerja ekstra untuk bisa masuk dalam skuat inti Le Mans. Beberapa tahun setelah nya bakat Drogba mulai tercium, banyak yang menganggap bahwa Drogba adalah berlian kasar yang berusaha beradaptasi dengan kehidupan pesepakbola profesional. Hingga pada akhirnya klub elit Prancis Marseille mengendus bakat nya dan berani membayar sebesar lebih dari 4 juta euro untuk mendapatkan servisnya. Tampil apik di Marseille, Drogba langsung menarik minat Chelsea hingga pada akhirnya ia bergabung dengan tim london tersebut.
Bermain gemilang dan menjadi sosok penting dalam tim yang dibelanya, Drogba dipercaya untuk menjadi ujung tombak Pantai Gading. Disinilah cerita bersejarah itu bermula.
Didier Drogba adalah legenda. Dia adalah pemain Afrika pertama yang mencetak 100 gol di Liga Primer Inggris. Selain menjadi kebanggaan benua Afrika, Drogba telah meninggalkan jejak sejarah yang tak terlupakan bagi rakyat Pantai Gading secara khusus dan masyarakat dunia secara umum.
Saking tenarnya Drogba di Pantai Gading, ada satu wilayah di Abidjan yang menggunakan nama Drogbakro. Pemimpin wilayah tersebut, Kouassi Augustin, mengaku seluruh penduduk di Drogbakro sangat mengidolakan sosok Didier Drogba.
Hingga pada akhirnya, Pada Oktober 2005, Drogba dan teman-teman nya berhasil mengalahkan Sudan 3-1 dan membawa Pantai Gading melaju ke putaran final Piala Dunia 2006 di Jerman. Di balik kegembiraan itu, para pemain memiliki kekhawatiran yang dalam. Pada saat itu Pantai Gading sedang terlibat perang saudara yang menewaskan empat ribu orang dan memaksa lebih dari satu juta orang mengungsi.
Kapten tim nasional Pantai gading mengundang media untuk masuk ke ruang ganti dan menyerahkan mikrofon kepada Drogba yang sudah menjadi ikon nasional.
Mereka berlutut di depan kamera dan mengatakan,
“Warga Pantai Gading dari utara, selatan, tengah, dan barat. Kami berlutut memohon kepada kalian untuk saling memaafkan. Negeri besar seperti Pantai Gading tidak bisa terus-menerus karam dalam kekacauan. Letakkan senjata kalian dan saling memaafkanlah.”
Permohonan Drogba di ruang ganti itu tidak sia-sia. Pemerintah dan para pasukan penentang untuk mengadakan gencatan senjata memulai perdamaian. Pada awal 2007, kedua belah pihak menandatangani perjanjian damai resmi yang menandai berakhirnya perang saudara.
Selain akan dikenang karena sempat menghentikan perang saudara yang terjadi di negara nya, Didier Drogba juga akan selalu dikenang sebagai salah satu striker tertajam yang pernah ada.