“Dilly ding, Dilly dong”. Itulah mantra yang tak asing di telinga dari pelatih berjuluk The Tinkerman, Claudio Ranieri. Perjuangan pria beruban di dunia sepakbola yang satu ini, bak sebuah dongeng. Selain dongengnya di Leicester, dongengnya di tanah kelahirannya, Roma, juga jadi bab yang tak boleh dilupakan.
Pelatih yang sering menjadi sang juru selamat itu, kini telah kembali untuk ketiga kalinya di tanah Romawi sebagai pelatih. Bersama Giallorossi, kisah perjalanannya pun penuh lika-liku. Dari tersakiti, hingga rela menjadi ban serep pernah ia korbankan. Bagaimana kisah pengorbanan dan cinta Ranieri selama ini bagi Il Lupi?
Claudio Ranieri è il nuovo Responsabile Tecnico della Prima Squadra
Bentornato a casa, mister! 💛❤️
📄 https://t.co/dOS0CM9tnn#ASRoma pic.twitter.com/vVl3sn3tcU
— AS Roma (@OfficialASRoma) November 14, 2024
Daftar Isi
Darah Roma Ranieri
Siapa bilang AS Roma hanya identik dengan Francesco Totti. Roma juga punya sang fenomena dalam sepakbola, bernama Claudio Ranieri. Pria asli kelahiran Roma tahun 1951 ini, dibesarkan dengan budaya sepakbola AS Roma. Ia tumbuh sebagai fans Giallorossi.
Darah Roma tulen yang mengalir dalam tubuhnya, membuat Ranieri ingin jadi bagian dari AS Roma. Kesempatan emas itu pun datang padanya di tahun 1972. Giallorossi merekrutnya masuk akademi. Ranieri mengawali karier sepakbola profesional dari AS Roma. Sampai akhirnya ia meninggalkan kota tersebut pada 1974 untuk mengembara ke klub lain.
Meski mengembara, kecintaan Ranieri pada Roma tak memudar. Pasca pensiun sebagai pesepakbola tahun 1986, Ranieri langsung terjun di dunia kepelatihan. Saat menjadi pelatih, ia punya mimpi suatu saat nanti bisa juga melatih klub kesayangannya, AS Roma.
💛 L’amore tra Ranieri e la Roma in 10 grandi foto ❤️
📸 https://t.co/w2sBMoDv08#ASRoma pic.twitter.com/m42Cam2bM8
— AS Roma (@OfficialASRoma) November 14, 2024
Perjalanan Melatih AS Roma
Sinar Ranieri sebagai pelatih, mulai berkilau saat melatih Valencia sejak tahun 1997. Saat membesut El Che dengan materi pemain kelas wahid macam Gaizka Mendieta maupun David Albelda, mampu membuahkan trofi Copa Del Rey tahun 1999. Begitupun di tahun 2004, Ranieri berhasil mengantarkan Kelelawar Mestalla merengkuh gelar UEFA Super Cup.
Namun dalam sinar terang prestasi Ranieri itu, tak membuat Ranieri puas. Pasalnya, ia masih belum mewujudkan mimpinya menjadi seorang allenatore Il Lupi. Momen terwujudnya mimpi Ranieri, justru baru terjadi pada tahun 2009. Momen itu pun tidak diduga olehnya.
Ranieri yang saat itu masih menganggur pasca hengkang dari Juventus, tiba-tiba ditunjuk oleh manajemen AS Roma menjadi pelatih sementara menggantikan Luciano Spalletti. Masa-masa awalnya di Olimpico teramat berat. Ia dibebankan tugas memperbaiki kondisi performa Roma yang sedang anjlok di bawah Spalletti.
Hampir Juara
Dengan tangan dinginnya, Ranieri perlahan bisa membawa performa Roma bangkit. Di musim pertamanya, Ranieri banyak dipuja-puja oleh fans. Selain sebagai “wonge dewe” atau akamsi setempat, prestasi Giallorossi makin dipandang.
Dengan skuad peninggalan Spalletti, ia sudah membuat Roma bersaing menjadi penantang Scudetto Inter Milan asuhan Mourinho. Roma saat itu hanya terpaut dua poin saja dengan Nerazzurri di klasemen akhir Serie A.
Mengawali musim berikutnya, yakni musim 2010/11 dengan penuh harapan, Ranieri mulai yakin bisa memberikan trofi bagi klub kesayanganya. Namun apa yang terjadi? Alih-alih trofi, yang datang malah hujatan maupun desakan agar dirinya mundur.
Ranieri batte il primo colpo pic.twitter.com/pRpDGMfag7
— AS Roma Partite (@ASRomaPartite) November 15, 2024
Disakiti Fans
Gara-gara performa melempem di musim keduanya, tifosi Roma pun mulai gerah dan menuntut Ranieri angkat kaki dari Olimpico. Februari yang merupakan hari kasih sayang yang penuh cinta, berbalik menjadi hari yang suram dan penuh kesedihan bagi Ranieri.
Pasca kalah di laga melawan Genoa 20 Februari 2011, bus rombongan Ranieri dihadang oleh tifosi Roma yang muak. Bus tersebut dilempari buah-buahan dan telur oleh mereka. Namun Ranieri tetap tegar. Dengan kepala tegak dan penuh tanggung jawab, akhirnya ia mau berkorban dalam situasi keruh ini.
Keesokan harinya pada 21 Februari, The Tinkerman pun akhirnya rela mengundurkan diri. “Sebagai orang Roma asli, saya menyesal. Hati saya sebenarnya merasakan sakit saat klub ini mengalami beberapa kekalahan. Namun keputusan ini mungkin yang terbaik bagi klub,” kata Ranieri.
Ketika Ranieri Disakiti Leicester
Perjalanan karier Ranieri pun terus berjalan. Usai larut dalam kesedihan, ia kembali mengembara. Sampai akhirnya ia menciptakan dongeng yang tak terduga di tanah Britania Raya bersama Leicester City.
The Tinkerman bak cosplay menjadi pesulap handal David Copperfield. The Foxes langsung disulap menjadi kampiun Liga Inggris musim 2015/16. Namun sayang, “magic” Ranieri itu berbuah luka di musim berikutnya.
Meski sudah mencatatkan sejarah bagi The Foxes, ia tak mendapat perlakuan istimewa. Performa Leicester yang menurun di musim 2016/17, membuat Ranieri akhirnya langsung didepak dari kursi pelatih. Pemecatan tersebut dikritik oleh banyak pihak, termasuk para pemain Leicester sendiri.
Namun, bagi Ranieri tak jadi soal. Ia memilih santai menanggapi pemecatannya tersebut. Ranieri malah memilih pulang kampung dan tamasya beserta keluarganya ke kebun binatang di Kota Roma.
Di saat Ranieri pulang kampung, ia malah diundang oleh Walikota Roma. Pemerintah Kota Roma merasa tak terima warga aslinya yang berprestasi, justru diperlakukan tak pantas oleh Leicester. Maka dari itu, mereka sengaja mengundang Ranieri untuk diberikan penghargaan sebagai orang asli Roma yang mampu berprestasi di Inggris.
Rela Dijadikan Ban Serep Roma
Ranieri merasa berterima kasih atas penghargaan tersebut. Ranieri pun saat itu berjanji pada AS Roma bahwa, kapanpun Roma memanggilnya ia akan selalu siap sedia.
Janji itulah yang akhirnya ditepati The Tinkerman di tahun 2019. Meski hanya akan dijadikan pelatih sementara AS Roma selama tiga bulan, ia mau menerimanya. Sejak Maret hingga Juni 2019, Ranieri menjadi pelatih Giallorossi menggantikan Eusebio di Francesco.
Meski belum bisa memberikan yang terbaik, di periode keduanya ini, Ranieri mampu meninggalkan kesan yang membekas di hati para fans. Di laga perpisahannya dengan Roma saat melawan Parma, Mei 2019, tifosi Roma yang dulu menyakitinya berbalik mencintainya.
Tifosi Roma membentangkan spanduk dalam bahasa Italia yang mempunyai arti, “Di saat dibutuhkan, Anda menjawab panggilan itu. Sekarang, terima penghargaan dari kami”. Ketika momen tifosi menyanyikan chant-nya sepanjang laga, sontak air mata Ranieri pun jatuh.
🟡🔴✍🏻 Claudio Ranieri and his lawyers already signed all formal documents for his return to AS Roma as head coach.
Back home. 🔙🏡 pic.twitter.com/j9SjhImhH7
— Fabrizio Romano (@FabrizioRomano) November 13, 2024
Janji Dan Pengorbanan Ranieri Pada Roma
Ranieri tak sanggup menahan tangis karena hanya ada Roma dalam hatinya. Itulah yang membuat dirinya rindu dan selalu ingin pulang ke klub ini.
Hal itu dibuktikan dengan kesanggupannya melatih Il Lupi ketika dipanggil lagi. Padahal sebelumnya, Ranieri sudah memutuskan untuk pensiun pasca menggendong Cagliari. Ranieri ditunjuk manajemen AS Roma menggantikan Ivan Juric. Meski hanya jadi pelatih interim, dirinya merasa terharu bisa kembali ke pangkuan Roma setelah lima tahun berpisah.
Julukan “The Romans” yang diberikan rakyat Roma pada dirinya, memang layak. Pasalnya, pengorbanan dan cinta The Tinkerman pada tanah Roma, sudah selevel pengorbanan dan cintanya pada istri, anak, serta keluarganya.
Kedatangannya untuk kali ketiga ke Olimpico, masih saja disambut meriah oleh fans sedari bandara. Ya, sang pejuang sejati tanah romawi itu telah kembali. Dengan pengorbanan dan cintanya, Ranieri “sang juru selamat” siap membawa Giallorossi bangkit dari keterpurukan.
🎥 Claudio Ranieri’s first few hours as our new boss!#ASRoma pic.twitter.com/jXf048LfKH
— AS Roma English (@ASRomaEN) November 14, 2024
https://youtu.be/lUQHWo26nTI
Sumber Referensi : giallorossi, sapo.id, transfermarkt, beinsports, panditfootball