Sabtu, 9 Desember 2023 menjadi hari yang spesial bagi Remi Matthews. Kiper ketiga Crystal Palace tersebut mendapat sebuah kesempatan langka tatkala harus masuk di menit ke-87 untuk menggantikan Sam Johnstone yang cedera di tengah laga melawan Liverpool.
Ketika memasuki lapangan, Matthews mendapat tepuk tangan meriah dari suporter tuan rumah. Maklum, laga tersebut adalah debut perdana Remi Matthews di Premier League.
Remi Matthews sejatinya sudah berseragam Crystal Palace sejak musim 2021/2022. Namun, ia sama sekali tak dimaninkan di laga Premier League. Sementara di musim lalu, Matthews dipinjamkan selama semusim penuh di klub Scottish Premiership, St. Johnstone.
Sebelum bergabung dengan Crystal Palace, Remi Matthews menghabiskan hampir satu dekade kariernya di klub-klub Championship, League One, dan League Two. Artinya, laga kontra Liverpool pada 9 Desember lalu adalah debut perdananya di Premier League dan Remi Matthews mendapat debut tersebut di usia 29 tahun.
Mathhews mendapat kesempatan langka tersebut karena Dean Henderson sudah dibekap cedera sejak awal bergabung dengan Crystal Palace. Sayangnya, debut bersejarah dalam kariernya itu berakhir pahit. Ia kebobolan dan membuat Crystal Palace takluk dari Liverpool.
Kisah serupa juga telah dicatat Antonio Mirante bersama AC Milan. Pada laga giornata 9 kontra Juventus, Mirante mencatat penampilan keduanya untuk Milan dan bermain sepanjang 90 menit setelah dua kiper Milan, Mike Maignan dan Marco Sportiello absen karena akumulasi kartu dan cedera.
Mirante sendiri sudah bergabung dengan Milan di musim 2021/2022. Saat itu, usianya sudah 38 tahun. Di musim di mana Milan meraih scudetto tersebut, Mirante beruntung sebab masih diberi medali juara.
Jika bermain di beberapa liga lainnya, seperti misalnya Premier League, pemain seperti Mirante yang tak mencatat satu menit bermain di sepanjang musim tersebut tak memenuhi syarat untuk mendapat medali juara.
Kisah dari Remi Matthews dan Antonio Mirante tadi adalah takdir dari seorang kiper ketiga. Mereka adalah cadangannya kiper cadangan. Kiper cadangan biasanya masih mendapat menit bermain di turnamen lokal, sementara kiper ketiga harus menunggu sampai kiper utama dan cadangan sama-sama absen.
Fakta tersebut membuat kiper ketiga kerap disamakan dengan “pemakan gaji buta”. Lebih kasar lagi, ada yang membuat lelucon demikian; “Jika kamu merasa hidupmu tak berguna, maka ingatlah kiper ketiga dalam sebuah tim sepak bola.”
Mau bagaimana lagi, kiper ketiga memang seperti cadangan mati. Ironisnya, tidak ada jaminan bermain bagi seorang kiper ketiga, tetapi mereka dituntut untuk tetap profesional.
Maka dari itu wajar bila ada yang bertanya, untuk apa ada tiga kiper dalam sebuah tim sepak bola?
Kiper Ketiga: Slot Untuk Kiper Promosi dan Mengakali Regulasi
Selain berperan sebagai backup layaknya Remi Matthews dan Antonio Mirante yang amat sangat jarang dimainkan, slot kiper ketiga juga biasanya digunakan sebuah tim untuk mempromosikan kiper muda. Biasanya, kiper yang baru lulus dari akademi dan tujuannya untuk menimba ilmu dari para seniornya dan merasakan atmosfer langsung dari kompetisi tingkat senior.
Salah satu contoh terbaiknya adalah Gianluigi Donnarumma. Pada awal musim 2015/2016, Donnarumma dipromosikan ke tim senior AC Milan oleh pelatih Sinisa Mihajlovic. Pada awalnya, ia hanya menjadi kiper ketiga setelah Diego Lopez dan Christian Abbiati.
Lalu, pada 25 Oktober 2015, Gianluigi Donnarumma yang masih berusia 16 tahun 242 hari menjalani debutnya di giornata 9 Serie A kontra Sassuolo dan mencatatkan dirinya sebagai kiper debutan termuda kedua dalam sejarah sepak bola Italia. Sejak saat itu, Donnarumma terus diberikan kepercayaan menjadi kiper utama hingga hengkang dari Milan di musim panas 2021.
Selain itu, slot kiper ketiga juga biasanya dipakai sebuah tim untuk memenuhi administrasi atau bahasa lainnya adalah mengakali regulasi. Di beberapa liga, ada aturan homegrown player yang wajib ditaati. Seperti di Premier League yang wajib mendaftarkan 8 pemain homegrown dari kuota 25 pemain.
Peran Kiper Ketiga: Samsak Latihan dan Mentor Berlatih
Namun, lebih daripada sekadar pelengkap, kiper ketiga punya peran layaknya samsak latihan bagi rekan setimnya. Mungkin terdengar kasar, tapi itulah adanya. Robert Green pernah membagikan kisahnya saat menjadi kiper ketiga di Chelsea.
“Saya pergi ke semua pertemuan, melakukan semua pra-pertandingan, melakukan pemanasan dan membantu dengan segala cara yang Anda bisa, apakah itu mengumpulkan bola, menyelamatkan tembakan atau memberikan umpan silang,” katanya.
Green saat itu sudah berusia 38 tahun saat bergabung dengan The Blues di musim panas 2018 dan menjadi kiper ketiga bagi Kepa Arrizabalaga dan Willy Caballero. Dalam pengakuannya kepada BBC, Green berkata, “ketika para pemain siap untuk turun ke lapangan, saya mencari secangkir teh dan duduk di tribun penonton.”
Namun, Green tak hanya sekadar menonton. Dengan segudang pengalamannya, pemilik 12 caps bersama timnas Inggris itu memanfaatkan waktunya saat berada di pinggir lapangan untuk mengamati permainan dan memberi masukan untuk analisis pasca-pertandingan.
Peran lain dari kiper ketiga adalah mentor bagi kiper utama dan cadangan. Biasanya, peran ini hanya bisa dilakukan oleh kiper veteran dengan segudang pengalaman. Tak jarang pula, setelah pensiun, pemain semacam ini akan langsung diangkat menjadi pelatih kiper.
Peran Kiper Ketiga: Penjaga Keharmonisan Tim
Selain itu, peran kiper ketiga yang tak kalah penting lainnya adalah pemberi semangat dan penjaga suasana tim. Contohnya adalah Scott Carson di Manchester City.
Carson sebenarnya gambaran dari betapa gabutnya kiper ketiga. Pasalnya, ia sudah bergabung dengan The Citizens sejak musim panas 2019 dan baru saja mendapat perpanjangan kontrak hingga akhir musim ini. Namun, hingga naskah ini dibuat, Carson baru mencatat 2 caps untuk Man. City.
Saat City merayakan gelar Premier League 3 kali beruntun, Carson tak memenuhi syarat untuk mendapat medali juara. Untungnya, ia masih mendapat medali juara saat City menjadi juara Liga Champions dan Piala Super Eropa 2023. Fun fact-nya, kisah serupa sudah pernah Carson catatkan saat berseragam Liverpool di musim 2005.
Akan tetapi, pekerjaan Scott Carson di Manchester City tak hanya ongkang-ongkang kaki saja atau numpang skuad Pep Guardiola yang jaminan juara. Di atas lapangan, peran pemain seperti Carson memang tak terlihat, tetapi di luar lapangan mereka punya kontribusi yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Asal kalian tahu, kiper berusia 38 tahun itu adalah sosok yang populer di tempat latihan Machester City. Carson yang murah senyum itu memang suka tertawa dan bercanda di tempat latihan. Ia adalah pencair suasana latihan Man City yang serius di bawah arah Pep Guardiola. Carson juga sosok yang berperan dalam menjaga keharmonisan tim, khususnya di posisi penjaga gawang yang kerap terjadi gesekan antara kiper utama dan cadangan.
Yang lebih penting lagi, Carson juga punya peran krusial dalam membantu rekan setimnya saat latihan.
Kisah yang serupa dengan Scott Carson di Manchester City itu juga terjadi dengan Carlo Pinsoglio di Juventus.
Pinsoglio adalah pemain yang lahir dari rahim Si Nyonya Tua. 10 tahun lamanya ia menimba ilmu di akademi Juve hingga dipromosikan ke tim senior pada musim 2010. Namun, ia langsung dipinjamkan ke klub lain, bahkan sempat dijual ke Vicenza sebelum akhirnya dibeli lagi pada musim panas 2014.
Masih sama seperti sebelumnya, Pinsoglio dibeli untuk dipinjamkan kembali. Ia baru menetap di Juventus mulai musim 2017/2018. Tentu bukan sebagai kiper utama, apalagi kiper cadangan, melainkan hanya sebagai kiper ketiga.
Sejak saat itu, Pinsoglio seperti numpang juara. 3 gelar scudetto Serie A, 2 trofi Coppa Italia dan 2 trofi Supercoppa Italiana diraih olehnya. Padahal, sejak musim 2017, Pinsoglio cuma tampil sebanyak 5 kali untuk Juve di Serie A. Jumlah capsnya di Serie B bahkan jauh lebih banyak.
Terakhir kali Pinsoglio tampil sebagai kiper Juventus di laga resmi juga terjadi di laga pamungkas musim 2021/2022. Lalu, mengapa Carlo Pinsoglio yang kini sudah berusia 33 tahun terus dipertahankan dan bahkan baru saja mendapat perpanjangan kontrak hingga akhir musim 2025?
Seperti halnya Scott Carson, Carlo Pinsoglio juga sosok yang disenangi oleh rekan setimnya. Pinsoglio bahkan jauh lebih populer di luar lapangan. Ia amat menonjol di pinggir lapangan dan media sosial. Asal kalian tahu, Pinsoglio juga merupakan salah satu pemain favorit juventini.
Tak ada pemain yang lebih Juve dan lebih loyal dengan Juve ketimbang Carlo Pinsoglio. Oleh karena itu, ia paham betul porsi perannya dalam skuad Si Nyonya Tua.
Dalam banyak pertandingan Juventus, Pinsoglio kerap tertangkap kamera tengah memberi semangat rekan setimnya dari pinggir lapangan. Teriakannya dari bangku cadangan Juve sangat terdengar jelas ketika liga digelar tanpa penonton.
Saat rekan setimnya mencetak gol, Pinsoglio juga sosok yang akan selalu merayakan gol tersebut seperti orang gila. Maka tak jarang pula kita akan melihat pemain Juve yang berlari ke arah Pinsoglio dan memeluk kiper setinggi 194 cm itu untuk merayakan gol.
Di lain kesempatan, Pinsoglio juga pernah tertangkap kamera tengah menenangkan pemain Juventus yang baru saja ditarik keluar. Seperti yang terjadi saat ia menghibur Nicolo Fagioli yang menangis usai ditarik di laga kontra Sassuolo musim lalu.
Saat Juventus menang, ia memberi selamat. Saat Juventus kalah, ia memberi semangat. Itulah Carlo Pinsoglio. Energi positif darinya adalah suntikan doping bagi para pemain Juventus.
Dalam beberapa referensi, kiper disebut sebagai pemain paling kesepian dalam sebuah tim sepak bola. Meski banyak membuat penyelamatan, tetapi mereka akan lebih diingat setelah membuat satu kesalahan.
Lalu, bagaimana dengan kiper ketiga? Boro-boro membuat kesalahan, mendapat menit bermain aja sudah syukur.
Itulah mengapa sosok kiper ketiga semacam Scott Carson dan Carlo Pinsoglio ini seharusnya mendapat lebih banyak respect. Tidak mudah menjadi mereka. Perlu kebesaran hati dan kesabaran seluas samudra untuk dapat mengemban peran kiper ketiga yang kerap dianggap tidak berguna itu.