Major League Soccer adalah liga domestik Amerika Serikat yang punya sistem tersendiri. Mereka tidak mengenal degradasi dan memerlukan play-off untuk menentukan juara liga. Akan tetapi, perputaran uang di sana begitu besar.
Sebagai negara adidaya, klub-klub MLS tak kesulitan menggaji mahal pemain. Terhitung sejak David Beckham tiba pada 2007, MLS mengizinkan klub-klubnya menggaji pemain dengan biaya ekstra berkat aturan khusus Designated Player Rule (semacam Marquee Player di Liga Super Indonesia 2017).
Dengan begitu, para bintang Eropa yang umumnya sudah menua mau datang ke Amerika karena mendapat gaji melimpah. Beckham datang saat berusia 32, Thierry Henry mendarat di New York Red Bulls dalam usia 32 juga, serta beberapa pemain veteran lainnya.
Oleh karenanya, MLS mendapat sebutan sebagai liga pensiunan. Liga Amerika Serikat disebut tak memiliki citarasa kompetitif lantaran cuma mengandalkan bintang-bintang berumur untuk menarik perhatian. Pamor sebagai liga pensiunan terus menyeruak seturut kedatangan Wayne Rooney dalam usia 33 tahun dan Zlatan Ibrahimovic dalam usia 37 tahun.
Lantas, benarkah klaim yang menyatakan MLS semakin berkembang?
Jawabannya: bisa jadi. Dua tahun lalu, Steven Gerrard yang sedang bermain di LA Galaxy bercerita pada Xabi Alonso. Gerrard berujar bahwa orang-orang mungkin berpikir level MLS tak begitu tinggi, tapi eks kapten Liverpool tersebut merasa “liga ini sangat menuntut” serta dimainkan para pemain yang “sangat kuat.”
Perkataan Gerrard mungkin hanya pemanis dalam sebuah acara promosi, tapi realita dalam beberapa bulan belakangan tampak mengkonfirmasi perkembangan MLS. Ya, MLS mulai memperlihatkan diri sebagai liga yang siap mengekspor para pemain.
Bulan lalu, Newcastle United akhrinya memecahkan rekor termahal pembelian klub dengan menggelontorkan 26 juta dollar (Rp362,9 miliar) . Pemain yang dibeli adalah Miguel Almiron, pemain timnas Paraguay yang dua kali mendapat penghargaan pemain terbaik Atlanta United. Almiron sukses membawa Atlanta menjuarai MLS 2018. Menurut Almiron, MLS menyaksikan “lebih banyak pemain berkualitas berdatangan.”
Sebagai kolam, belakangan MLS berhasil memoles para pemainnya menjadi benih-benih yang siap dijual ke Eropa. Bayern Munich musim lalu memecahkan rekor penjualan MLS saat mendatangkan wonderkid Kanada Alphonso Davies dengan biaya 22 juta dollar (Rp307 miliar). Sang pemain kini telah menembus skuad utama tim Bavaria.
Tak cuma itu, Manchester City juga ikutan memanen di MLS dengan mendatangkan kiper Columbus Crew, Zack Steffen. Kiper jangkung tersebut dihargai sepuluh juta dolar dan akan bergabung dengan skuad Pep Guardiola pada Juli mendatang.
Bila mau beberapa contoh lagi, terdapat Tyler Adams, gelandang bertahan yang bergabung ke Leipzig dari New York Red Bull. Datang pada Desember lalu, Adams kini telah merasakan starter bersama Leipzig di Bundesliga. Sebelumnya, terdapat Jack Harrison, pemain didikan Manhattan Soccer Club yang berhasil mendapat panggilan dari timnas Inggris U-21 lalu diboyong Manchester City.
Satu lagi, julukan “liga pensiunan” tampak harus segera direvisi karena rata-rata usia pendatang baru MLS telah menurun. Lima tahun lalu, rata-rata pemain baru berada di angka 27,53 tahun. Tahun ini, angka tersebut telah menurun hingga menjadi 25,24 tahun.
Dengan realita seperti itu, wajah MLS di masa depan sangat mungkin akan lebih cerah. Harga-harga pemain seperti Davies dan Almiron yang mahal mengindikasikan kualitas pemain produksi MLS telah diakui.
Jadi, bila liga domestiknya sudah berkembang, jangan sampai timnas Amerika Serikat tidak lolos Piala Dunia lagi…