Beda Nasib Duo Trah Mataram Di Liga Indonesia

spot_img

Jogja dan Solo dikenal dengan wilayah Mataraman, karena dua keraton terletak di sana. Keduanya juga memiliki sejarah panjang dalam catatan nusantara. Bukan hanya perkara kesantunan dan keramahtamahan, dua trah Mataram itu juga melahirkan fanatisme di dunia sepak bola.

Jogja dengan PSIM Yogyakarta, dan Solo dengan Persis Solo. Keduanya memiliki basis pendukung yang amat fanatik. Selain itu, tentu saja kedua tim Mataram ini punya rivalitas yang sengit. Tak jarang bahkan sampai memicu konflik horizontal.

Namun kedua klub bertrah Mataram itu punya nasib yang berbeda. Kita tahu kalau Persis Solo baru saja lolos ke Liga 1, sedangkan kelolosan PSIM Yogyakarta ke Liga 1 hanya sampai pada kata “nyaris”.

Sejarah dan Prestasi Persis Solo

Dari sejarahnya, Persis Solo lebih dulu lahir pada 8 November 1923. Klub dari Kota Surakarta itu didirikan oleh Sastrosaksono.

Awal berdirinya tidak langsung menggunakan nama Persis Solo, melainkan masih bernama Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB), semacam perserikatan sepak bola. Baru pada tahun 1928 namanya berubah menjadi Persis Solo.

Bersama enam klub lainnya, Persis Solo turut menginisiasi pembentukan PSSI. Di mana saat itu masih didasari semangat perjuangan bangsa Indonesia untuk melawan imperialisme Belanda.

Klub yang bermarkas di Stadion Manahan itu sudah menoreh banyak prestasi. Persis Solo memborong 7 gelar kompetisi perserikatan, yaitu tahun 1935, 1936, 1939, 1940, 1941, 1942, dan 1943.

Namun Persis Solo tenggelam cukup lama. Bahkan tim ini tertidur pulas sampai memasuki era milenium. Persis tidak mampu menyamai torehan prestasi sesama bond yang penuh sejarah seperti Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, dan Persib Bandung. Kehadiran klub lain di Solo seperti Arseto Solo, Pelita Solo, hingga Persijatim Solo FC makin menenggelamkan Persis Solo.

Persis kembali hadir di kancah sepak bola Indonesia sejak tahun 2006, setelah sebelumnya bertahun-tahun lamanya Persis bak menjadi fosil karena terlalu lama mengendap di kompetisi amatir negeri ini. Di musim kompetisi 2006/2007 menjadi puncak prestasi bagi Persis.

Persis mampu melahirkan pemain-pemain muda berbakat ketika itu, dua diantaranya adalah penjaga gawang Wahyu Tri Nugroho dan bek Wahyu Wijiastanto. Keduanya berhasil menembus Timnas Indonesia.

Persis menjadi kekuatan tersendiri pada Liga Djarum 2007. Mereka mendatangkan pemain dengan nama besar, seperti Greg Nwokolo, Hari Saputra, Rudi Widodo, Alvin Kie, dan Frank Seator.

Sayangnya, berada di kasta tertinggi hanya berlangsung singkat. Pada musim berikutnya, PSSI menyusun kompetisi level tertinggi dengan nama ISL pada tahun 2008. Persis hanya mampu finis di peringkat ke-10 grup barat dan gagal bertahan di level utama.

Selanjutnya, pencapaian Persis stagnan dari musim ke musim sampai saat ini. Meski pernah melaju ke fase delapan besar pada 2014, Persis kembali kesulitan bersaing memperebutkan tiket promosi.

Sejarah dan Prestasi PSIM Yogyakarta

Lain Persis, lain PSIM Yogyakarta. Klub yang didirikan pada tanggal 5 September 1929 itu pada awalnya bernama Persatuan Sepak bola Mataram atau PSM. Nama Mataram digunakan karena Yogyakarta merupakan pusat pemerintahan kerajaan Mataram saat itu. kemudian pada tanggal 27 Juli 1930 nama PSM diubah menjadi PSIM seperti sekarang ini.

Dengan sejarah panjang, PSIM memiliki komitmen untuk bisa menjadi salah satu klub yang profesional, sehat secara finansial, modern, namun tetap memegang teguh warisan Yogyakarta sebagai salah satu daerah sepak bola di Indonesia.

Bermarkas di Stadion Mandala Krida, PSIM juga dikenal dengan warna kebesaran biru, dan memiliki basis suporter yang terdiri dari Brajamusti serta The Maident.
PSIM sudah eksis saat kompetisi sepak bola Indonesia untuk pertama kalinya bergulir pada era 1930-an. Dengan format kompetisi masih bernama Perserikatan, PSIM pernah mencicipi gelar juara pada edisi 1932.

PSIM mengungguli Persija Jakarta pada laga final. Sekaligus menjadi satu-satunya gelar juara yang pernah direngkuh oleh PSIM pada era perserikatan.
Setelah itu, PSIM lebih sering menempati peringkat kedua atau runner-up, seperti pada 1939, 1940, 1941, 1943, dan musim 1948. Beranjak ke kompetisi Liga Indonesia sampai era saat ini, PSIM sempet menyegel juara Divisi I pada 2005.

Musim 2019 menjadi waktu yang sangat tepat bagi PSIM untuk bangun dari tidur panjangnya. Mereka baru lepas keterpurukan, termasuk hukuman dari PSSI berupa pemotongan poin dalam keikutsertaan di kompetisi di musim 2017.

Dengan memiliki pemain-pemain lokal dan potensial, nyatanya PSIM mampu memainkan permainan berkarakter ngeyel khas Yogyakarta. Pada musim 2017, PSIM tampil menawan, bahkan mereka bisa menembus babak delapan besar jika tidak dikurangi poinnya sejak awal musim.

Puncaknya ada pada tahun 2019, PSIM mengundang perhatian khusus dari pengusaha besar asal Semarang, Bambang Susanto. Ia menggelontorkan dana besar untuk proyek kebangkitan PSIM.

Benar saja, sederet pemain berkualitas didatangkan. Seperti Aditya Putra Dewa, Ichsan Pratama, hingga Cristian Gonzales hadir untuk PSIM. Bahkan di paruh musim, mereka menambah kekuatan dengan kedatangan pelatih Aji Santoso dan pemain muda semacam Sutanto Tan dan Witan Sulaeman

Harapan baru terus didengungkan untuk PSIM termasuk di musim 2020. Sebagian pemain lokal masih dipertahankan, hingga sukses mendatangkan pelatih sekaliber Seto Nurdiyantoro yang tidak diperpanjang di PSS Sleman. Sayangnya, perjalan kompetisi Liga 2 musim 2020 hanya berjalan satu pekan. Pandemi COVID-19 membuat kompetisi harus terhenti dan ditangguhkan.

Rivalitas Duo Mataram

Soal rivalitas duo Mataram ini tidak perlu ditanyakan lagi. Apalagi doktrin kebencian antar suporter di bumi Mataram kian tumbuh. Hal itu tidak luput dari kisruh antar suporter trah Mataram, khususnya perseteruan PSIM Jogja dan Persis Solo.

Walau tidak se-kota dan se-provinsi, pertandingan ini sampai dijuluki Derby Mataram mengingat kedua kota ini sama-sama penerus dinasti Mataram Islam yang terbelah oleh Perjanjian Giyanti 1755. Lalu adakah kaitan kedua klub ini merivalkan diri dengan masing-masing keraton?

Jika diuraikan benang merahnya, kebencian suporter PSIM dengan Persis sejatinya lahir dari dua tragedi balas-membalas, yaitu Tragedi Kandang Menjangan 1998 sebagai awal kebencian suporter PSIM terhadap suporter Arseto yang diteruskan hingga Persis Solo kini.

Sebaliknya, suporter Solo menjadikan Tragedi Mandala Krida 4 Juni 2000 sebagai alasan kebencian mereka. Alasan klasik bagi suporter Indonesia untuk merivalkan diri, sama halnya dengan balas-membalas suporter Persib dan Persija.

Yang menjadi ironi, pada perkembangannya perdebatan kedua suporter merembet keluar konteks. Kedua suporter mendramatisir narasi sejarah masing-masing keraton, Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta sebagai bumbu tambahan.

PSIM menarasikan aib Kasunanan Surakarta yang di awal berdirinya cenderung manut dengan perintah VOC. Sementara suporter Persis menarasikan kepahlawanan priyayi asal Solo utamanya Raden Mas Said sebagai salah satu tokoh yang paling keras menentang penjajah untuk membalas olok-olokan suporter PSIM.

Narasi ini merembet hingga keluar lingkup kedua suporter. Orang luar Jogja dan Solo, bahkan media pun, tergiring asumsi liar bahwa Derby Mataram adalah derby paling panas di Indonesia sebagai kepanjangan perseteruan dua trah Mataram.

Sayang, kisah heroisme ini jarang diangkat ketika kedua tim bersua. Padahal kisah di atas jelas ada kaitan langsung antara keraton dan kedua tim. Kebalikannya, sejarah yang tidak ada kaitannya selalu dibawa untuk memupuk kebencian yang sebenarnya baru lahir karena dua tragedi dua puluh tahunan lalu.

Entahlah, mungkin kebencian lebih mendongkrak animo atau sebenarnya kedua suporter memaksa membawa sejarah yang tidak ada kaitannya dengan sepak bola, supaya pertandingan ini terkesan sarat dengan sejarah kebencian layaknya Kerajaan Spanyol dengan Real Madrid dan rakyat Catalan dengan Barcelona.

Rivalitas antarklub sepak bola memang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Karena itu hal yang lumrah. Namun, rivalitas antara Persis Solo dan PSIM Yogyakarta tak perlulah sampai merembet ke sejarah segala. Toh, keduanya sama-sama manifestasi penyatuan dua trah Mataram dalam melawan penjajah.

Nasib telah menggariskan duo trah mataram yang saling berseteru akhirnya merasakan hal manis dan pahit dalam sepak bola. Kisah penantian panjang Solo akhirnya terwujud, sedangkan Yogya masih harus berjuang lagi musim depan kalau ingin ke Liga 1.

Sumber Referensi : persissolo.id, psimjogja.id, bola.net, mojok.com, detiksporrt.

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru