https://youtu.be/r8QyRv2VZ1g?si=Zrr5wialaJgc3cvR
Siapa menyangka, final Piala AFF itu menjadi salah satu dari sekian banyak kenangan terburuk Timnas Indonesia. Ya, Piala AFF 2010 menjadi satu dari sekian turnamen yang diikuti oleh Timnas Indonesia yang berujung rasa sakit hati. Bukan hanya karena dikalahkan sang rival bebuyutan di partai final, namun final itu juga menyisakan kontroversi yang kelak menjadi aib sekaligus mengubah sentimen terhadap pemain lokal.
Meski tidak tercatat secara jelas sejak kapan citra pemain lokal mulai memburuk, tapi laga tersebut bisa kita jadikan patokan. Usai terciptanya insiden-insiden memalukan di kompetisi tersebut, kepercayaan publik terhadap pemain Indonesia mulai runtuh.
Mereka tak lagi percaya pada suara lantang saat menyanyikan Indonesia Raya. Publik pun bingung. Pemain yang berada di lapangan bekerja untuk siapa? Mereka berlari dan menendang bola demi lambang garuda di dada, atau hanya demi memenuhi isi kantong belaka?
Terlalu banyak pertanyaan yang muncul saat itu. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi kala itu? Benarkah ada permainan dalam permainan? Selengkapnya akan kita kupas bersama.
Daftar Isi
Komposisi Skuad Terbaik
Jelang kick off Piala AFF 2010, semua berjalan sebagaimana mestinya. Persiapan tim pun terlihat sangat meyakinkan. Di bawah kepemimpinan Alfred Riedl, muncul beberapa nama baru yang menarik untuk dinantikan aksinya. Dari belasan pemain lokal, terlihat dua pemain bermuka bule di situ. Mereka adalah Irfan Bachdim dan Cristian Gonzales.
Gonzales dipanggil karena dinilai jadi striker paling berprestasi di Liga Indonesia. Berbeda dengan Gonzales yang memang berstatus pemain naturalisasi, Irfan hanya pemain yang kebetulan memiliki darah Belanda. Ia tak memerlukan proses panjang seperti El Loco. Bachdim 100% berpaspor Indonesia.
Meski tanpa Boaz Solossa, tambahan dua pemain itu membuat komposisi skuad Timnas Indonesia kala itu dianggap jadi yang terbaik. Setiap lini diisi oleh pemain terbaik yang dimiliki Indonesia. Tak cuma itu, secara kedalaman skuad pun, Indonesia sangat baik.
Markus Horison di posisi kiper. Benny Wahyudi, Hamka Hamzah, Maman Abdurahman di sektor pertahanan. Firman Utina, Ahmad Bustomi, dan Okto Maniani di tengah. Serta Bambang Pamungkas dan Yongki Aribowo di lini depan. Dengan modal skuad begini, tak heran Indonesia termasuk jadi unggulan di Piala AFF edisi tersebut.
Terlebih, Indonesia mendapat sedikit keuntungan berkat format yang digunakan kompetisi ini. Format Piala AFF kala itu menggunakan sistem home tournament. Indonesia dan Vietnam terpilih sebagai tuan rumah penyelenggara babak fase grup. Indonesia menjadi tuan rumah Grup A, yang diisi oleh Malaysia, Thailand, dan Laos.
Penyisihan Grup yang Luar Biasa
Membawa skuad terbaiknya, mendiang Alfred Riedl yang dikenal punya kepribadian yang dingin justru membuat Gelora Bung Karno memanas. Bukan karena banyaknya kerusuhan, melainkan karena terlalu banyaknya karbon dioksida yang dihasilkan dari sorakan para fans. Publik pecinta sepakbola Tanah Air tak henti-hentinya dibuat berdecak kagum oleh tim asuhan pelatih asal Austria tersebut.
Indonesia mengawali Piala AFF 2010 dengan sangat manis di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Indonesia langsung menang meyakinkan atas rival mereka, Malaysia. Tidak tanggung-tanggung, skornya sangat mencolok, yakni 5-1. Meski sempat ketinggalan melalui gol Norshahrul Idlan Talaha pada menit ke-18, Indonesia mampu mencetak dua gol di babak pertama dan tiga gol tambahan di babak kedua.
Irfan Bachdim bahkan turut menyumbang gol spektakuler di laga tersebut. Melalui umpan melengkung dari Okto, Bachdim menyambutnya dengan sepakan sambil menjatuhkan diri di mulut gawang. Di tengah boomingnya media sosial, nama Bachdim pun langsung jadi daya tarik baru di sepakbola Indonesia.
Maraknya pemberitaan tentang Indonesia yang mempermalukan Malaysia, popularitas Irfan Bachdim menular dengan alami kepada tim nasional. Semua suporter dari segala kalangan seperti bersatu padu mendukung Indonesia. Keberhasilan Indonesia pun terus berlanjut di dua laga berikutnya.
Selanjutnya Indonesia berhasil menang 6-0 melawan bumbu dapur, alias Laos dan menang 2-1 melawan Thailand. Saat itu, Gajah Perang sudah diperkuat Teerasil Dangda dan Theerathon Bunmathan. Kemenangan atas Thailand cukup spesial karena diraih dengan cara yang dramatis. Indonesia tertinggal lebih dulu sebelum comeback melalui dua sepakan penalti Bambang Pamungkas.
Di Semifinal, Indonesia Dipermudah
Mengumpulkan tiga kemenangan, Indonesia memuncaki klasemen dengan nilai sempurna. Indonesia pun jadi tim terbaik dalam urusan mencetak gol di babak penyisihan grup. Arif Suyono cs mengemas 13 gol kala itu. Tak cuma menyerang, Timnas Indonesia juga jago bertahan. Mereka hanya kebobolan dua gol saja. Itu jadi yang terbaik jika dibandingkan dengan seluruh kontestan di Grup A.
Di semifinal, Tim Merah Putih bertemu tim kuda hitam, Filipina. Di luar dugaan Filipina mampu menyingkirkan Singapura dan Myanmar untuk jadi runner-up Grup B mendampingi Vietnam yang jadi juara grup. Di tahap ini, keberuntungan kembali berpihak pada Skuad Garuda.
The Azkals terpaksa memainkan pertandingan leg pertama yang harusnya jadi laga kandang mereka di Stadion Gelora Bung Karno. Sebab, AFF tidak memberikan rekomendasi pada Filipina untuk memainkan laga kandang di Manila, lantaran stadion yang masih belum memenuhi syarat. Kepercayaan diri Timnas Indonesia pun membumbung tinggi di sini.
Meski berstatus kuda hitam, Filipina nyatanya jadi tim yang cukup sulit dikalahkan. Tapi sulit, bukan berarti tak bisa. Sempat kesulitan membongkar pertahanan The Azkals, gol tunggal Cristian Gonzales menyudahi perlawanan Filipina pada leg pertama. Di leg kedua, pemain naturalisasi asal Uruguay itu kembali jadi pahlawan usai gol tunggalnya mengirim Indonesia ke final.
Kekalahan yang Mengejutkan di Final
Ini jadi final keempat Timnas Indonesia sejak berpartisipasi di ajang Piala AFF. Takdir kembali mempertemukan Indonesia dengan Malaysia di partai pamungkas. Ini cukup mengejutkan, mengingat Malaysia lolos ke final setelah menumbangkan calon juara lainnya, Vietnam dengan agregat identik dengan Indonesia, 2-0.
Dilansir Bola.com, sentimen anti-Malaysia dan sebaliknya, yang sedang hangat-hangatnya pada masa-masa itu membuat tensi jelang pertandingan final pun meninggi. Pemerintah dari kedua negara pun terpaksa turun tangan mendinginkan suporter masing-masing yang sudah “berperang” lewat media sosial.
Karena sebelumnya Indonesia mampu membabat habis Malaysia dengan skor 5-1, Skuad Garuda terbang ke Negeri Jiran dengan motivasi tinggi. Banyak pengamat sepakbola yang memprediksi laga akan berjalan mudah bagi Firman Utina dan kolega. Namun nahas. Ekspektasi yang sudah kadung melambung tinggi justru dihempaskan begitu saja.
Indonesia di luar dugaan justru dikalahkan Harimau Malaya dengan skor telak 0-3 di laga yang dimainkan di Stadion Nasional Bukit Jalil, Kuala Lumpur itu. Sejumlah insiden terjadi di leg pertama. Contohnya protes yang dilancarkan pemain Indonesia pada menit ke-53. Mereka sampai meninggalkan lapangan akibat adanya sinar laser penonton yang diarahkan ke kiper Markus Horison.
Bukan cuma itu, blunder fatal dari Maman juga terjadi di laga ini. Maman berniat untuk membiarkan bola keluar agar Indonesia bisa mendapat tendangan gawang. Namun, pemain Malaysia berhasil mencuri bola dari Maman dan akhirnya Indonesia kebobolan di menit 61. Safee Sali jadi aktor di balik gol ini.
Surat Untuk Presiden RI
Tim Garuda pulang dengan memikul beban besar. Apalagi, setelah Firman Utina gagal mengeksekusi penalti di babak pertama. Berharap bisa mengandalkan dukungan penuh suporter Garuda di babak kedua, Timnas Indonesia justru kebobolan lebih dulu oleh Safee Sali pada menit ke-54.
Defisit empat gol sama saja meminta Bambang Pamungkas cs menghadapi kemustahilan. Apalagi, laga hanya menyisakan 35 menit saja. Pada akhirnya, Tim Garuda menang 2-1 dalam pertandingan tersebut. Muhammad Nasuha dan Muhammad Ridwan menjadi pencetak gol bagi Timnas Indonesia. Namun, itu masih tidak cukup untuk membawa pulang trofi Piala AFF 2010.
Indonesia harus membiarkan Malaysia merayakan gelarnya di GBK, stadion yang sangat kita banggakan. Kekalahan memalukan ini jadi trending topik, dari perkantoran hingga pos kamling, semua bapak-bapak membicarakan laga ini. Sampai akhirnya kecurigaan memuncak saat Presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono mendapat surat kaleng.
Pengirim surat itu menyebut dirinya sebagai Eli Cohen. Seorang agen rahasia Mossad, Israel, dan dianggap sebagai salah satu mata-mata paling sukses setelah Perang Dunia II. Tentu dia bukan pengirim asli. Namanya digunakan oleh orang tak dikenal sebagai nama samaran. Sebab, Eli sendiri sudah wafat pada tahun 1965.
Eli mengaku sebagai seorang pegawai pajak di lingkungan Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Dalam surat tersebut, Eli mengungkap dugaan praktik pengaturan skor yang terjadi di final Piala AFF 2010. Tak cuma itu, Eli bahkan meminta SBY untuk segera melakukan penyelidikan.
“Saya ingin menyampaikan informasi terkait dengan apa yang saya dengar dari salah satu wajib pajak yang saya periksa dan kebetulan adalah pengurus PSSI (maaf saya tidak bisa menyebutkan namanya). Dari testimony yang disampaikan ternyata sangat mengejutkan yaitu adanya dugaan skandal suap yang terjadi dalam Final Piala AFF yang dilangsungkan di Malaysia.” tulis Eli.
Keterlibatan PSSI
Menurut Eli, kekalahan tim sepakbola Indonesia dari tuan rumah Malaysia saat itu sudah ditentukan sebelum pertandingan dimulai. Hal ini terjadi karena adanya permainan atau skandal suap yang dilakukan oleh bandar judi di Malaysia dengan petinggi penting di PSSI. Dari kekalahan tersebut, baik bandar maupun oknum PSSI meraup untung puluhan miliar rupiah.
Sesaat setelah surat ini viral, jagad sepakbola Indonesia pun gempar. Publik mulai mencari kambing hitam untuk disalahkan. Mereka mulai berspekulasi siapa saja orang yang menjadi dalang di balik bisnis haram ini. Lalu, muncul lagi skenario yang sekiranya terjadi di laga leg pertama melawan Malaysia.
Dikutip dari Bolasport, terjadi transaksi di ruang ganti saat jeda babak pertama. Ada dua oknum PSSI yang masuk ke ruang ganti yang mana seharusnya dilarang untuk memberikan instruksi khusus kepada oknum pemain. Bahkan, insiden laser itu disinyalir hanya akal-akalan saja agar mematahkan semangat bermain tim. Hal ini pun dimanfaatkan oleh Malaysia untuk mencetak gol.
Saat itu, nama pemain yang diduga main mata adalah Markus Horison sebagai kiper, Maman Abdurahman yang melakukan blunder, dan Firman Utina yang gagal mengeksekusi penalti di leg kedua. Sedangkan sosok yang dimaksud Eli sebagai oknum dari PSSI adalah Ketua PSSI, Nurdin Halid dan Wakil Ketua PSSI, Nirwan Bakrie. Nama Nirwan terseret karena dia dikenal gemar mempertaruhkan uangnya pada pertandingan sepakbola.
Klarifikasi Para Pemain
PSSI tidak tinggal diam menyikapi isu ini. Mantan Sekretaris Umum PSSI, Nugraha Besoes, membantah keras isi surat dari Eli Cohen tersebut. Menurutnya, tudingan menjual partai timnas Indonesia adalah fitnah yang keji sekaligus menginjak-injak harga diri bangsa. Nugraha juga menantang Eli untuk tidak menjadi seorang pengecut dengan membongkar identitasnya.
Pada akhirnya segala tuduhan juga dibantah oleh para pemain yang terlibat saat itu. Markus Horison misalnya. Dirinya dituding sengaja meminta pemain untuk WO saat laser mengganggu pandangannya. Namun ia membantah hal tersebut saat diundang podcast VIVA Goal.
https://www.youtube.com/watch?v=UvMtK7sriC4
Markus Horison: “Saya bukannya mau ngajak walkout (WO), tapi memang lasernya sangat mengganggu. Sudah dari segala arah. Dan itu mengganggu konsentrasi saya sebagai kiper. Itu pun bukan percobaan pertama, karena kita sudah sempat protes ke wasit sebelumnya, tapi karena makin parah akhirnya pertandingan distop,”
Sudut pandang yang menarik justru muncul dari bek Timnas Indonesia kala itu, Zulkifli Syukur. Dilansir CNN Indonesia, Zulkifli menilai bahwa timnya kala itu terlalu percaya diri karena pernah mengalahkan Malaysia dengan skor 5-1. Terlalu PD, berakibat fatal. Indonesia jadi terkesan meremehkan.
Mantan pemain PSM Makassar itu juga membantah adanya isu sosok pengurus PSSI yang masuk ke ruang ganti pemain sebelum pertandingan. Bahkan, tidak pernah sekalipun pemain Timnas Indonesia kala itu dikumpulkan untuk satu hal tertentu di luar teknis pertandingan.
Setelah bertahun-tahun berlalu, kasus ini tak terbukti kebenarannya. Pemain yang diduga terlibat pun masih tetap bisa melanjutkan karirnya. Beberapa fans pun memilih untuk berdamai dan melupakan tinta hitam ini. Namun, sebagian dari mereka tetap meluangkan tempat di hati untuk kekecewaan di hari itu.
Sumber: Kompasiana, Liputan6, CNN Indonesia, Bola.com, Viva Goal