Menjadi juara merupakan sebuah kebanggaan bagi sebuah klub. Namun, usaha untuk meraihnya biasanya harus menempuh jalan yang terjal. Sebuah tim harus tampil konsisten sepanjang musim agar bisa menjadi juara. Oleh karena itu, mereka butuh sumber daya yang mumpuni agar bisa tampil konsisten sepanjang musim. Maka wajar, jika klub-klub yang langganan juara biasanya adalah klub besar dengan sumber daya yang memadai.
Namun, anggapan seperti ini pernah dipatahkan oleh beberapa klub. Mereka secara mengejutkan keluar sebagai juara di antara klub-klub raksasa yang sedang bertarung. Meskipun, tentu saja prestasi gemilangnya ini tak bisa mereka ulangi lagi di musim-musim berikutnya. Lantas, siapa saja mereka? Berikut adalah 8 klub yang mampu menjadi juara di antara para raksasa.
Daftar Isi
Nantes 2000/01
Sebelum Olympique Lyon menjadi langganan juara tahunan Ligue 1, Nantes menjadi klub terakhir yang menjadi juara Ligue 1 sebelum Lyon merajalela. Pada musim 2000/01, Nantes dengan mengejutkan finish di urutan pertama Ligue 1 dengan total 68 poin, 4 poin lebih banyak dari Lyon yang bercokol di posisi 2.
Di musim sebelumnya, Nantes hanyalah klub biasa. Mereka hanyalah klub papan tengah yang finish di posisi 12. Mereka menjalani musim 2000/01 dengan skuad biasa saja dan modal kepercayaan diri menjadi juara Coupe de France 1999/00.
Dengan skuad biasa saja mereka malah bisa bermain kolektif. Di laga kedua, mereka secara mengejutkan mengalahkan juara bertahan AS Monaco yang kala itu diisi nama-nama seperti David Trezeguet, Marcelo Gallardo, hingga Fabian Barthez, dengan skor meyakinkan 2-5. Meski sempat mengalami 6 laga tanpa kemenangan, pada akhirnya Nantes bisa bangkit dan menggaet trofi Ligue 1 ke-8 di sepanjang sejarah mereka.
Raynald Denoueix Nantes’in Fransa Kupasını 1998-2000arasında üst üste iki sene müzesine götürmesinde ve aynı zamanda 2000/01 lig şampiyonluğunu kazanmasında büyük pay sahibi oldu.Bu kupalar Nantes tarihinin son kazanılmış kupaları olarak kaldı ve Denouix Real Sociedad’la anlaştı. pic.twitter.com/SwjgQ6K4Gw
— Harun Gündüz (@harungunduz_) January 8, 2020
Werder Bremen 2003/04
Setelah Matthias Sammer bisa menyela gelar berturut-turut Bayern Munchen lewat skuad Borussia Dortmund legendarisnya pada 2001/02, maka Thomas Schaaf juga bisa melakukan hal yang serupa dengan skuad fenomenal Werder Bremen pada 2003/04. Bermodal duet maut Ailton dan Ivan Klasnic, Bremen bisa memutus asa Die Bayern.
Pada musim ini, Bremen bisa finish di posisi pertama dengan catatan apik 79 gol dan 74 poin. Mereka unggul 6 poin dari Bayern Munchen yang duduk di bawah mereka. Ailton yang sebelumnya tak pernah mampu mencetak 20 gol, di musim itu menggila dengan 28 gol. Padahal usianya kala itu sudah menginjak 30 tahun. Torehan tersebut akhirnya membuat Ailton dianugerahi gelar top skorer.
Sayangnya, kegemilangan Bremen tersebut hanya bertahan satu musim saja. Pada musim berikutnya, Bayern Munchen bisa menarik kembali gelarnya sebagai juara. Kepergian Ailton dan Mladen Krstajic ke FC Schalke bisa jadi salah satu faktor menurunnya performa Bremen.
𝐒𝐕 𝐖𝐄𝐑𝐃𝐄𝐑 𝐁𝐑𝐄𝐌𝐄𝐍 𝐀𝐑𝐄 𝐓𝐇𝐄 𝟐𝟎𝟎𝟑/𝟎𝟒 𝐁𝐔𝐍𝐃𝐄𝐒𝐋𝐈𝐆𝐀 𝐂𝐇𝐀𝐌𝐏𝐈𝐎𝐍𝐒 🔥🥳🍻#werder #fcbsvw pic.twitter.com/MufcRFYRSB
— SV Werder Bremen EN (@werderbremen_en) May 8, 2024
Stuttgart 2006/07
Setelah 2 musim kembali menikmati gelarnya, kenikmatan Bayern Munchen sebagai juara Bundesliga kembali direnggut klub lain. Kali ini oleh Stuttgart pada musim 2006/07. Armin Veh bersama duet striker ikoniknya, Mario Gomez dan Cacau, merajai Bundesliga dengan jarak yang tipis dengan FC Schalke. Stuttgart mengakhiri liga dengan 70 poin dan Schalke dengan 68 poin.
Sebenarnya, catatan Stuttgart di musim itu bukanlah yang terbaik. Duet Gomez dan Cacau tak membuat Bremen menjadi klub paling produktif. Pun di lini belakang, mereka terbobol 37 gol, sama seperti Hamburg SV yang finish di posisi 7. Namun, konsistensi yang ditampilkan Die Schwaben sepanjang musim pada akhirnya memberi mereka gelar.
C is for Cacau ⚽
Stuttgart’s journey to the 2006/07 Bundesliga title has LIFT-OFF 🚀🇧🇷 #Goalphabet pic.twitter.com/63dvqJBCB8
— Bundesliga English (@Bundesliga_EN) June 9, 2018
Girondins Bordeaux 2008/09
Setelah 7 musim berturut-turut merajai Ligue 1, Olympique Lyon terpaksa melepas gelarnya tersebut ke tangan Girondins Bordeaux pada musim 2008/09. Skuad fenomenal yang berisi Yoann Gourcuff dan Marouane Chamakh ini menjuarai Ligue 1 secara dramatis. Sebelum mengangkat trofi di pekan 38, 10 pekan sebelumnya mereka masih duduk di posisi 4.
Namun, mereka ternyata bisa menyapu bersih semua laga sisanya dan akhir merangkak naik. Mereka memanfaatkan tidak konsistennya performa Marseille dan Lyon sehingga pada pekan ke-35, Bordeaux untuk pertama kalinya menjadi puncak klasemen di sepanjang musim. Mereka pun tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk lebih tancap gas guna meraih gelar ke-8 mereka.
This was my first year supporting Bordeaux (2008/09), when the club won its 6th league title and reached the Champions League quarters the following season
Little did I know just how good we had it…pic.twitter.com/XjMDnimdlP
— Raphaël Jucobin (@rafajuc) July 25, 2024
Wolfsburg 2008/09
Kembali lagi ke Jerman, musim 2008/09 juga menjadi musim yang anomali bagi Bundesliga. Bagaimana tidak? Tak ada angin tak ada hujan, Wolfsburg tiba-tiba menjadi juara Bundesliga untuk pertama kali sepanjang sejarah mereka. Lagi-lagi, Bayern Munchen gagal jadi juara, malah kali ini yang jadi juara mantan pelatihnya, Felix Magath.
Di musim tersebut, Wolfsburg memang tampil membara dengan duonya, Grafite dan Edin Dzeko. Wolfsburg mencetak total 80 gol dengan 28 gol dari Grafite dan 26 gol dari Dzeko. Namun sama seperti Bremen dan Stuttgart, Wolfsburg tak mampu lagi mempertahankan performanya di musim selanjutnya. Alhasil, Bayern Munchen kembali jadi juara.
Where are they now? Wolfsburg’s 2008/09 #Bundesliga
title-winning team – https://t.co/OQ0e3G1tVPEdin Džeko and Grafite scored 54 goals! pic.twitter.com/GBGdxxkkTU
— Squawka (@Squawka) March 13, 2017
Lille 2010/11
Akhirnya, setelah menangani Lille sejak musim 2008/09, kerja keras Rudi Garcia membuahkan hasil. Lille akhirnya menjadi juara Ligue 1 untuk keempat kalinya pada musim 2010/11. Mereka finish secara meyakinkan dengan 76 poin di atas juara bertahan, Marseille. Bermodal bintang muda bernama Eden Hazard, Lille menaklukan Ligue 1 dengan 68 gol.
Hazard memang tampil mengerikan musim itu. Ada andil Hazard dalam 38 gol yang Lille ciptakan musim itu. Pemain yang kala itu berusia 20 tahun ini berhasil mencetak 20 gol dan 18 assist. Alhasil, nama pemuda asal Belgia ini langsung melejit di seantero Eropa hingga kelak akhirnya dipinang Roman Abramovich ke Chelsea.
Eden Hazard at Lille, aged 16-21:
▪️ 194 games
▪️ 50 goals
▪️ 53 assists
▪️ Ligue 1 YPOTY in his first two full seasons
▪️ Ligue 1 POTY in his last two seasons
▪️ League + cup double in 2010-11His highlight reel is absurd 🤯
(via @Ligue1_ENG)pic.twitter.com/Um9EhwjqvT
— B/R Football (@brfootball) October 10, 2023
Montpellier 2011/12
Montpellier yang saat Lille juara hanya bertengger di posisi 14 dan berjarak 3 poin saja dari degradasi, semusim berikutnya malah menggemparkan Eropa dengan menjadi juara Ligue 1 musim 2011/12. Trofi Ligue 1 ini menjadi trofi Ligue 1 pertama mereka. Usaha Rene Girard membangun tim ini sejak musim 2009/10 akhirnya membuahkan hasil.
Bermodal pemain muda potensial dalam diri Olivier Giroud dan Younes Belhanda, Montpellier berhasil menggagalkan upaya raksasa baru bernama Paris Saint-Germain untuk menjadi juara. La Paillade berhasil mengakhiri liga dengan selisih 2 poin saja dari Le Parisien. Namun sayang, setelah juara mereka gagal mempertahankan performanya sehingga Ligue 1 akhirnya jatuh ke tangan Paris Saint Germain di musim-musim berikutnya.
Olivier Giroud was directly involved in 30 Ligue 1 goals for Montpellier in 2011/12:
❍ 36 games
❍ 21 goals
❍ 9 assistsNo wonder Arsenal snapped him up straight after. pic.twitter.com/ulizt5EsOe
— Squawka (@Squawka) April 30, 2020
Leicester City 2015/16
Dari semuanya, kisah Leicester City menjuarai Premier League 2015/16 mungkin jadi yang paling fenomenal. Dengan skuad apa adanya, Claudio Ranieri berhasil membuat The Foxes menjadi juara kasta tertinggi Inggris untuk pertama kalinya. Skuad mereka harganya hampir 4 kali lebih murah dari juara bertahan sekaligus tim termahal saat itu, Chelsea.
Namun dengan segala anomali, Leicester tampil konsisten sejak awal musim. Posisi terendahnya musim itu ada di posisi 6 pada pekan ke-7. Namun, sejak pekan ke-11 mereka mulai konsisten di 3 besar dan pada akhirnya menjadi puncak klasemen sejak pekan ke-22. Alhasil, mereka mengakhiri liga dengan total 81 poin, terpaut 10 poin dari Arsenal di posisi runner up.
How the incredible 2015/16 Premier League season unfolded 📊 pic.twitter.com/BrHSYIut63
— Leicester City (@LCFC) May 2, 2020
Sumber: Bundesliga, Transfermarkt, Planet Football, dan ESPN