Seorang anak SD yang baru mengerti sepak bola atau para penggemar karbitan pasti akan mencibir Liga Prancis sebagai “Liga Petani.” Pernyataan itu sama sekali tidak keliru. Ligue 1 hari ini memang dikuasai Paris Saint-Germain. Meskipun pada musim 2020/21, Lille yang juara.
Tapi hal itu kurang tepat. Sebab dalam sejarahnya, Liga Prancis pernah melahirkan enam pemenang yang berbeda dalam enam musim sejak 2008-2013. Hal itu bahkan menjadi yang terakhir kalinya terjadi di lima liga top Eropa.
Banyak pemenang dalam kurun waktu tertentu adalah peristiwa langka di liga-liga Eropa. Biasanya, setiap tim akan mendominasi dalam kurun waktu tertentu.
Kalaupun tidak selama Bayern Munchen, tapi minimal pernah mendominasi dan yang meruntuhkan hanya tim itu-itu saja. Nah, Liga Prancis berhasil menerobos kelangkaan itu.
Daftar Isi
Awal Kejatuhan Lyon
Persaingan paling sengit dimulai ketika dinasti Lyon mulai runtuh. Awal kejatuhan mereka terlihat pada musim 2007/08. Sebagaimana klub-klub yang tak punya ketahanan finansial mumpuni, Lyon mulai meredup.
Apa yang dikembangkan Jean-Michel Aulas mulai berjalan ke arah kehancuran. Klub menjual beberapa pemain yang berhasil dikembangkan. Lyon memulai musim 2007/08 dengan sangat gontai.
Malouda, Alou Diarra, Tiago, Eric Abidal, Sylvain Wiltord dibeli tim-tim raksasa. Lyon memulai liga tak seperti musim-musim sebelumnya. Bahkan mereka sempat tertinggal dari Nancy yang duduk di peringkat satu.
Namun, Les Gones yang berpengalaman berhasil menggulingkan Nancy di pucuk. Tapi itu tak mudah. Les Gones butuh setidaknya 11 pertandingan agar berada di puncak. Butuh 20 pertandingan untuk memperlebar jarak dari para penguntit, Nancy dan Bordeaux menjadi 6 poin.
Para pesaing tidak menyerah. Bordeaux berhasil memepet Lyon di puncak klasemen. Pekan ke-25, Bordeaux memperkecil jarak menjadi hanya satu poin saja. Terjadi fluktuasi di tubuh Lyon. Tidak adanya Fred, mesin gol Lyon kelimpungan.
Namun, Les Gones masih punya Karim Benzema. Produktivitas Benzema akhirnya menyelamatkan muka Lyon. Pada pekan ke-30, Lyon berhasil memperlebar jarak jadi 9 poin dari Bordeaux di peringkat kedua. Di akhir musim, untung saja, Lyon masih meraih gelar. Benzema mencetak 20 gol musim itu.
In 2007/08, Karim Benzema with Olympique Lyonnais managed to win Ligue 1 and Coupe De France being top scorer in both 🇫🇷
— Lottin 𓃵🤩 (@LottinPackeddd) March 23, 2022
Benzema’s stats in 2007/08:
Games: 52
Goals: 31
Assists: 10 pic.twitter.com/25FGAadtZi
Bordeaux ‘Mencuri’ Gelar Lyon
Musim 2008/09 tampak tidak ada masalah bagi Lyon. Manajer Alain Perrin keluar, Claude Puel masuk menggantikannya. Les Gones kembali menjual para pemain bintangnya. Hatem Ben Arfa, Sebastien Squillaci, Loic Remy, sampai Milan Baros semua lepas.
Akan tetapi, lepasnya para pemain sekaligus perginya sang manajer tak melahirkan masalah serius. Lyon kelihatannya akan kembali meraih trofi. Setidaknya sampai pertengahan musim. Les Gones unggul tiga poin atas Bordeaux di peringkat kedua. Diikuti oleh Rennes, PSG, Marseille, Lille, Toulouse, dan Nice.
Seperti musim sebelumnya, Lyon trengginas berkat gol-gol Karim Benzema. Les Gones bisa mempertahankan posisinya di puncak klasemen sampai pekan ke-30. Petaka terjadi pada tiga pertandingan berikutnya. Dengan Marseille dan Bordeaux meraih tiga kali kemenangan beruntun.
Kemenangan itu termasuk ketika Bordeaux mengalahkan Lyon 1-0. Les Gones tergusur ke peringkat ketiga. Bahkan tertinggal 4 poin dari Bordeaux di peringkat kedua. Perjalanan Lyon makin kelihatan suram di pekan berikutnya.
Kalah mengejutkan dari papan tengah, Valenciennes 2-0 memaksa Lyon keluar dari perburuan gelar. Bordeaux semakin di depan karena Marseille hanya meraih hasil imbang saat menghadapi Toulouse. Kurang empat pertandingan lagi, dua tim teratas memperoleh poin sama, 68, hanya terpaut satu gol saja.
Les Girondins menyapu bersih tiga pertandingan berikutnya. Di sisi lain, Marseille gagal mencuri poin dari Lyon. Liga menyisakan satu laga. Bordeaux memimpin klasemen dengan 77 poin. Terpaut tiga poin dari Marseille di peringkat kedua.
Laga terakhir Marseille bakal menghadapi Rennes. Jika ingin menyabet gelar, Les Olympiens wajib menang. Tapi dengan catatan Bordeaux kalah. Namun itu sangat sulit. Lawan Bordeaux ‘hanya’ Caen. Dan hasil imbang sudah cukup membuat Bordeaux mengamankan gelar.
Babak pertama di markas Caen berakhir 0-0. Namun, empat menit usai turun minum, Yoan Gouffran mencetak gol lewat sundulan. Les Girondins mempertahankan keunggulan hingga bubar. Pasukan Laurent Blanc akhirnya mematahkan dominasi Lyon dan meraih gelar. Kemenangan 4-0 Marseille atas Rennes tak berlaku.
Balas Dendam Marseille
Bordeaux meraih gelar Ligue 1 dengan cara mengesankan. Memenangkan 11 laga terakhir. Tiga nama jadi sorotan kala itu. Fernando Cavenaghi dan Marouane Chamakh mencetak masing-masing 13 gol. Pemain bintang lainnya, Gourcuff mengumpulkan 13 gol.
Musim berikutnya, Bordeaux berupaya untuk menciptakan dinasti baru. Dengan tidak ada pemain kunci yang dijual, kecuali Diawara, ambisi itu sangat mungkin. Bordeaux memenangkan 14 dari 19 pertandingan awal, ambisi itu mulai kelihatan.
Les Girondins unggul delapan poin di atas Marseille di peringkat kedua. Akan tetapi, jarak mulai terkikis. Bordeaux hanya menang dua dari enam laga berikutnya. Marseille memperpendek jarak menjadi tiga poin saja. Diikuti oleh Montpellier, Lille, Lyon, dan Auxerre.
Finishing on 78 points, 6 points ahead of second placed Lyon, Marseille were crowned Ligue 1 champions in the 2009–10 season, helping the club win their 10th league title to date. pic.twitter.com/wCQm8d9llA
— FOOTBALL TRIVIA 365 (@PlayFT365) December 1, 2021
Bordeaux mendadak makin kacau. Mereka hanya mengumpulkan tiga poin dari kemungkinan 15 poin di laga berikutnya. Marseille memanfaatkan kesempatan itu. Lima pertandingan berikutnya, Bordeaux benar-benar lepas dari perburuan gelar. Begitu pula Montpellier.
Tiga laga tersisa. Les Olympiens melaju mulus di puncak klasemen. Mereka kian dekat ke gelar juara. Mengungguli peringkat kedua dengan lima poin, Marseille pede menghadapi Rennes. Kemenangan 3-1 mengunci gelar Les Olympiens.
Gelar liga kembali ke Marseille sejak 1991/92. Persis di musim pertama debut Didier Deschamps sebagai pelatih Marseille. Mamadou Niang, kunci keberhasilan Marseille kala itu dengan 18 gol liga.
Geliat Pemuda Lille
Seperti yang sudah-sudah, Marseille mencoba mempertahankan gelar liganya. Menang 7 laga dari 15 pertandingan, keyakinan itu membulat. Tapi jaraknya sangat ketat. Marseille yang berada di puncak klasemen hanya berjarak lima poin saja dari Toulouse di peringkat ke-12.
Sampai sini, sudah bisa diprediksi bagaimana jalannya liga. Pekan ke-16, Marseille kalah dari Nice, sedangkan Lille berpesta pora 6-3 melawan Lorient. Sembilan laga berikutnya, persaingan makin ketat. Namun, hanya menyisakan lima tim saja: Lille, Rennes, Marseille, PSG, dan Lyon.
Kelimanya cuma terpaut total empat poin saja satu sama lain. Namun, Lille yang paling meyakinkan. Pemuda mereka mulai menggeliat. Eden Hazard, Gervinho, Yohan Cabaye, dan Moussa Sow yang semuanya berusia di bawah 25 tahun membuat Lille memimpin liga dengan hanya tersisa lima laga.
Lille OSC crowned Ligue 1 Champions for the first time since that special 2010/11 season which featured Gervinho, Moussa Sow and a certain Eden Michael Hazard. Congratulations to Lille! 👑🇫🇷 pic.twitter.com/9ya3sVXiIu
— Saratov (@HKSaratov) May 23, 2021
Les Dogues unggul satu poin saja dari Marseille. Jiwa muda mereka menginspirasi kemenangan Lille. Hazard memimpin atas kemenangan lawan Nancy 1-0 dan Saint-Etienne 2-1. Kemenangan 1-0 atas Sochaux dipimpin Gervinho.
Di sisi lain Les Olympiens makin hancur. Marseille hanya meraih empat poin dari sembilan poin. Dengan dua laga tersisa, Lille memimpin klasemen dengan 72 poin. Unggul enam poin atas peringkat kedua. Laga menentukan terjadi melawan PSG.
PSG berhasrat mengamankan slot Eropa. Syaratnya harus menang. Pertandingan tensi tinggi terjadi. Lille yang sebenarnya kalah pun tak masalah, mati-matian tak ingin menyerah dari PSG. Hasil 2-2 muncul. PSG membuang poin yang mereka butuhkan.
Les Dogues memastikan gelar setelah 57 tahun. Banyak yang memprediksi Lille hanya akan finis peringkat ketiga. Kekuatan pemain muda seperti Hazard belum cukup untuk meraih gelar. Tapi semua itu berbalik. Sayang, para bintang ini dilepas.
Lho, Kok Montpellier?
Tak perlu dijelaskan lagi. Marseille, Lyon, Lille, dan PSG yang baru diguyur uang minyak bersaing untuk perebutan gelar musim 2011/12. Namun, mereka bergabung dengan empat tim lain: Montpellier, Rennes, Toulouse, dan Saint-Etienne.
Delapan tim hanya berjarak total sembilan poin satu sama lain hingga pertengahan musim. Akan tetapi, hanya butuh enam pertandingan berikutnya bagi dua tim untuk menjadi pesaing sendirian. Montpellier dan PSG tiba-tiba menjauh dari enam pesaing lain.
PSG unggul enam poin dari Lille di peringkat ketiga. Les Parisiens hendak menggulingkan Montpellier di puncak klasemen. Tidak ada yang menduga Montpellier bisa berada di puncak. Namun, striker berbahaya Olivier Giroud bikin segala yang tak mungkin menjadi mungkin.
Giroud tampil konsisten. Gol demi gol ia cetak. La Paillade pun memimpin klasemen. Mempertahankan keunggulan tiga poin atas PSG dan hanya tersisa tiga pertandingan lagi. Montpellier menghadapi Rennes, Lille, dan Auxerre.
🇫🇷 Olivier Giroud (Montpellier) – Ligue 1 2011/12
— WhoScored.com (@WhoScored) April 23, 2020
🙋🏻♂️ 36 apps
⚽️ 21 goals
🅰️ 9 assists
🥅 4.5 shots per 90
⬆️ 70% aerial duel success
📈 7.59 rating#TBT #WSThrowback pic.twitter.com/10tnGio3Bk
Rennes bukan musuh yang sulit. Souleymane Camara dan Benoit Costil menyumbang kemenangan Montpellier 2-0 atas Rennes. Tapi PSG yang juga menang membuat jarak tiga poin tidak berubah. Namun, Montpellier kesulitan ketika melawan Lille.
Laga yang mungkin akan berakhir imbang justru bisa dimenangkan oleh Montpellier. Tersisa satu laga. Lille tersingkir dari perburuan gelar. Namun, belum ada pemenang. Karena PSG tertinggal tiga poin dari Montpellier, tapi selisih golnya sama.
Pertandingan terakhir PSG akan menghadapi Lorient yang sedang berjuang dari degradasi. Sementara, Montpellier bertemu Auxerre yang sudah terdegradasi. Persaingan seru pun terjadi. Lucunya, dua pesaing itu tertinggal lebih dulu.
Auxerre mengejutkan lewat gol Olivier Kapo dalam 20 menit laga. Di sisi lain, Lorient kejutkan PSG berkat gol Kevin Monnet-Paquet. Kedua tim sama-sama kalah di satu waktu. La Paillade menyamakan kedudukan berkat gol John Utaka.
Saat gelar juara sudah di depan mata, PSG justru comeback. Dua gol dari Javier Pastore dan Thiago Motta mendekatkan PSG ke gelar. Montpellier butuh satu gol lagi untuk kembali ke puncak. Benar saja, Utaka menggandakan golnya di 15 menit terakhir.
Tidak ada gol lagi di dua laga itu. Secara mengejutkan, pasukan Rene Girard memastikan gelar Liga Prancis. Hebatnya, musim itu Montpellier hanya kebobolan 34 gol. Giroud mencetak 21 gol dan 9 asis musim itu.
In the 2011-12 Ligue 1 season, Montpellier were crowned champions for the first time in their history, after finishing the season on 82 points, 3 points ahead of second place PSG. Brilliant achievement! pic.twitter.com/fcPKj8GBJ9
— FOOTBALL TRIVIA 365 (@PlayFT365) March 31, 2021
PSG dan Ancelotti
Tak mau gagal lagi. Jelang musim 2012/13, PSG melenturkan otot finansial mereka. Belanja besar. Pemain seperti Lucas Moura, Thiago Silva, Ezequiel Lavezzi, David Beckham, dan Marco Verratti semua tiba. Tetapi yang menjadi kuncinya adalah Zlatan Ibrahimovic.
Les Parisiens juga merekrut Carlo Ancelotti. PSG mencoba merebut gelar Montpellier yang ketahanan finansialnya buruk. Klub itu hanya punya anggaran 29 juta pounds (Rp535 miliar). Jauh lebih sedikit dari uang yang dikeluarkan PSG untuk Javier Pastore (37 juta pounds/Rp682 miliar).
🇫🇷 Ligue 1 2012-13: PSG
— BUYSAN (@Buysan) May 1, 2022
83 puntos en 38 fechas.
Zlatan Ibrahimovic goleador con 30.
Esa temporada fue eliminado en cuartos de final, tanto en la Copa de Francia como en Champions League. pic.twitter.com/RnsxLXjRtT
Musim itu, Ibra adalah wahyu. 30 golnya membuat PSG memimpin liga dengan mulus. Kolaborasi Pastore dan Jeremy Menez membuat Les Parisiens makin solid. Kedatangan Cabaye dan Marquinhos bikin PSG tak terbendung.
Ini serius. Tidak ada persaingan ketat musim itu. PSG menang mudah dengan 83 poin di akhir musim. Les Olympiens hanya bisa meraih slot Liga Champions hanya dengan finis di peringkat kedua dengan 71 poin.
PSG menutup dongeng persaingan paling dramatis di Liga Prancis, mengakhiri 19 tahun puasa gelar liga, sekaligus mengukuhkan dinasti baru.


