Laga Bayer Leverkusen melawan Werder Bremen belum selesai. Namun, asap suar menyelimuti BayArena. Di tengah lapangan yang mulai berkabut, Bayer Leverkusen tak ada niat berhenti menggempur pertahanan Bremen. Padahal skor sudah 4-0. Gelar juara juga sudah berada dalam genggaman.
Di sana Florian Wirtz sepertinya punya ambisi sendiri. Jika itu pertandingan penentuan, ia sepertinya ingin orang mengenang dirinya di laga penentuan gelar sebagai bintangnya. Dan itulah yang coba dilakukannya.
Wirtz berlari saat Alex Grimaldo membawa bola. Melihat pergerakan Wirtz, Grimaldo mengirim umpan. Wirtz pun memanfaatkan kesempatan itu untuk mencetak gol ketiganya. Beberapa menit setelah Wirtz menjebol gawang Bremen untuk ketiga kalinya, wasit pun meniup peluit panjang.
Para suporter berhamburan ke tengah lapangan. Bahkan petugas keamanan yang seharusnya tetap berjaga, ikut melebur di tengah lautan manusia. Bodo amat soal tugas. Peduli setan pada aturan yang melarang mereka turun ke lapangan. Kebahagiaan harus diluapkan. Kemenangan harus dirayakan.
Daftar Isi
Merayakan Bayer Leverkusen
Pendukung Bayer Leverkusen, para pemain, hingga petugas yang kesehariannya mondar-mandir di BayArena layak merayakan gelar ini. Hanya orang kelewat aneh yang tidak merayakan kemenangan Die Werkself di Bundesliga. Jika para pemain dan suporter berhamburan di tengah lapangan, Xabi Alonso, orang yang mengantarkan gelar itu tetap dengan perangai flamboyan.
Ia tak berlebihan meluapkan kebahagiaan. Alonso yang larut dalam kegembiraan hanya tersenyum tipis. Seulas senyum yang bukan hanya menyiratkan banyak sekali makna, tapi juga pelet bagi tim-tim raksasa. Liverpool, Bayern Munchen, dan Real Madrid masih mengemis pada Alonso. Walaupun ada yang coba menyembunyikannya.
Kemenangan Bayer Leverkusen di Bundesliga seperti dongeng yang diceritakan ibu sebelum tidur. Ia seperti kisah yang diproduksi oleh Leicester City di Liga Inggris. Sebuah klub yang tidak terlacak oleh mata. Klub yang mustahil untuk dijadikan tim favorit. Namun, tiba-tiba mengangkat trofi juara.
Bayer Leverkusen are German champions. Xabi Alonso is a winner in his first season as a head coach for a top division club.
Finally, you can never say “Neverkusen” in Germany.#goosebumps #football #tntlive #Bayer #Bundesliga pic.twitter.com/Bwha6GDAcs
— The Tonny And Tim Show ⚽⚽ (@TnTLiveUG) April 14, 2024
Jalan Die Werkself menjuarai Bundesliga terasa istimewa. Mereka memutus dominasi 11 musim Bayern Munchen. Orang-orang rupanya keliru menginvestasikan harapan kepada Dortmund, RB Leipzig, hingga Schalke untuk meruntuhkan simbol kejayaan Bayern Munchen itu.
Klub-klub tadi ternyata cuma bisa diharapkan, namun selalu kehilangan cara untuk betul-betul merobohkan Bayern Munchen di Bundesliga. Saat kita mengharapkan tim-tim tadi bisa meruntuhkan dominasi FC Hollywood, di tempat lain, di lokasi yang berbau obat, sebuah tim sedang dibangun.
Tidak dengan dana besar, tapi serius dikelola. Tim yang bahkan bertahun-tahun dihantui luka kegagalan. Bagaimana Die Werkself akhirnya bertransformasi menjadi penantang gelar Bundesliga? Mari kita mengulasnya.
Tentang Kota Leverkusen
Untuk jangka waktu yang lama, Leverkusen tidak akan menjadi kota sepenting Berlin, Hamburg, hingga Munich. Leverkusen tak masuk 10 kota terbesar di Jerman. Luasnya hanya 78,85 kilometer persegi. Bahkan luas itu masih jauh jika dibandingkan dengan luas Kota Kudus (425,2 km²).
Leverkusen cuma bagian kecil dari Wilayah Metropolitan Rhine-Ruhr. Jika kamu datang ke Sungai Rhine dan memandang ke arah timur, di situlah kamu akan melihat Kota Leverkusen. Kota ini berbatasan dengan Cologne di sebelah selatan dan Dusseldorf di utara.
Sebelum menjadi sebuah kota, Leverkusen dulunya berupa pedesaan. Baru setelah seorang ahli kimia asal Wermelskirchen bernama Carl Leverkus, kota ini berubah menjadi pusat industri kimia di Jerman.
Leverkusen. The city was named after the factory complex on the Rhine that Dr Carl Leverkus had established around his ultramarine factory from 1860 and that had become world famous since the settlement of the “Farbenfabriken vorm. Friedr. Bayer & Co. AG” in 1891. pic.twitter.com/ljQ6FfhISs
— Cinematic Man (@via_dudkin) February 10, 2024
Perang Koln yang melibatkan faksi Protestan dan Katolik antara tahun 1583 hingga 1588 memaksa wilayah di Rhine-Westphalia Utara berubah menjadi wilayah pedesaan pada akhir abad ke-19. Setelah berubah menjadi pedesaan, Carl Leverkus datang ke salah satu wilayah itu.
Awalnya, Leverkus mencari tempat untuk membangun pabrik berwarna. Karena dia yang menemukannya, ia pula yang menamai tempat itu sesuai nama keluarganya. Alhasil, tempat tersebut sampai hari ini dikenal dengan nama “Leverkusen”. Penamaan sebuah kota di Jerman yang tidak umum.
Klub Olahraga Bayer 04 Leverkusen
Meskipun wilayah temuan Carl Leverkus sudah disebut “Leverkusen”, namun secara administratif wilayah tersebut belum disebut Kota Leverkusen. Kenyataannya, beberapa tahun setelah Carl Leverkus mendirikan pabrik pewarna, tepatnya pada tahun 1891, perusahaan bernama Bayer AG datang mengambil alih pabrik milik Leverkus.
Bayer AG adalah perusahaan yang berdiri tahun 1863, didirikan Friedrich Bayer, seorang ahli kimia dan farmasi. Salah satu produknya yang paling terkenal adalah aspirin. Setelah pabrik Bayer AG berdiri di tempat yang dinamai Leverkusen itu, beberapa tahun setelahnya ide mendirikan klub olahraga muncul.
Suatu hari karyawan Bayer AG merasa jenuh dengan pekerjaannya. Mereka harus mencari kegiatan lain sebagai bentuk pelepasan dari rutinitas mencium bau bahan kimia setiap hari. Maka muncullah gagasan untuk membentuk klub olahraga.
Serikat pekerja Bayer AG lalu berkumpul. Mereka sepakat mengajukan permohonan untuk mendirikan klub olahraga ke Bayer AG. Tak dinyana, usulan ratusan karyawan itu disambut dengan tangan terbuka oleh perusahaan.
Berdirilah klub olahraga serikat pekerja Bayer AG yang diberi nama Bayer 04 Leverkusen pada 1 Juli 1904. Angka “04” merujuk pada tahun berdirinya klub olahraga ini. Namanya saja klub olahraga, di sana para karyawan bukan hanya bermain sepak bola, tapi juga olahraga lainnya seperti bola basket, senam, atletik, hoki, dayung, sampai tenis.
Klub olahraga Bayer 04 Leverkusen berdiri sebelum Kota Leverkusen beneran terbentuk. Tahun 1904 klub olahraga ini hadir, baru pada tahun 1930, Kota Leverkusen secara administratif mulai terbentuk. Kota Leverkusen menggabungkan empat wilayah yang sebenarnya tidak terhubung: Rheindorf, Steinbüchel, Schlebusch, dan Wiesdorf.
Congs to Bayer Leverkusen, they are Champions of Germany. First trophy since they were established in 1904! pic.twitter.com/GnhJVe6Twb
— Michael (@IsamichaelReal) April 14, 2024
Terbentuknya Klub Sepak Bola Bayer 04 Leverkusen
Pada tanggal 31 Mei 1907, divisi sepak bola memisahkan diri. Konon pada saat awal terbentuknya klub olahraga Bayer 04 Leverkusen, perpecahan di dalamnya bergejolak. Ada permusuhan yang signifikan antara pesenam dan atlet lainnya. Perpecahan ini akhirnya menghasilkan asosiasi sepak bola yang terpisah dari klub olahraga induknya.
Tepat 8 Juni 1928, beberapa bulan sebelum Soegondo Djojopoespito bersama teman-temannya mengucapkan “Sumpah Pemuda”, para pesepakbola di klub olahraga Bayer 04 Leverkusen membentuk asosiasi terpisah dengan nama Sportvereniging Bayer 04 Leverkusen atau bisa disingkat SV Bayer 04 Leverkusen.
Herzlichen Glückwunsch SV Bayer 04 Leverkusen für den Gewinn des deutschen Doubles 2024! 🎉🏆 pic.twitter.com/zJXNAwZzwp
— Muschkopf (@bmg_muschkopf) April 3, 2024
Tim ini membawa serta warna tradisional klub, merah-hitam. Memasuki periode 1930-an, SV Bayer 04 Leverkusen bermain di divisi tiga dan empat. Enam tahun setelahnya, tim ini mendapat promosi ke divisi kedua. Bersamaan dengan promosi itu, tanda silang khas perusahaan Bayer untuk pertama kalinya dipakai di seragam mereka.
Tahun 1951, SV Bayer 04 Leverkusen akhirnya bisa berlaga di divisi teratas Liga Jerman Barat. Waktu itu namanya Oberliga Barat. Namun, mereka cuma bertahan sekitar lima tahun.
Setelah itu terdegradasi dan tidak pernah lagi kembali ke divisi teratas hingga tahun 1962. Mulai dari situ klub yang dijuluki Die Werkself yang berarti “kesebelasan pabrik” karena didirikan oleh para buruh itu dikelola dengan cukup serius.
Willi Haag (*1944)
Der Sportstudent war einer von sechs Neuzugängen, kam von Eintracht Trier und interpretierte seine Rolle als rechter Außenverteidiger wie Kollege Haarmann auf der linken Seite sehr modern. Absolvierte 32 Spiele und schoss 2 Tore. Bis 1970 bei #Bayer04. pic.twitter.com/gawVVjUXXQ
— Bayer 04 Leverkusen (@bayer04fussball) October 22, 2022
Pasang Surut
Liga profesional Jerman Barat lambat laun mulai bertransformasi. Hingga lahirlah kompetisi yang kita kenal sebagai Bundesliga pada tahun 1963. Setahun sebelumnya, SV Bayer 04 Leverkusen sudah kembali ke Liga Utama. Pada tahun itulah Die Werkself untuk pertama kalinya bermain di Bundesliga.
Namun, hanya setahun mereka berlaga di Bundesliga. Tahun berikutnya para punggawa Die Werkself mesti menelan aspirin untuk meredakan nyeri karena timnya terdegradasi ke Regionalliga Barat, liga tingkat dua. Degradasi ke Regionalliga Barat menandai kemerosotan Die Werkself. Di musim-musim berikutnya, mereka hanya berkubang di papan bawah.
Pemain dan pendukung SV Bayer 04 Leverkusen harus menenggak morfin jika ingin menyaksikan timnya bermain di Bundesliga lagi. Pernah suatu ketika kesempatan untuk kembali ke Bundesliga ada di depan mata. Tahun 1968, SV Bayer 04 Leverkusen meraih gelar divisi. Namun, mereka gagal melaju ke Bundesliga karena terhenti di babak play-off.
Bayer Leverkusen keeper Hans Benzler outjumps Rot-Weiss Oberhausen’s Lothar Kobluhn to punch the ball clear on a wet and rainy day in West Germany judging by the backdrop of umbrellas back in 1968 pic.twitter.com/VwBmkhWVB2
— GoaliesAreDifferent (@goalkeepersdiff) August 10, 2022
Alih-alih naik ke Bundesliga, SV Bayer 04 Leverkusen justru terdegradasi ke divisi lebih bawah lagi pada tahun 1973. Untungnya, mereka segera kembali ke liga yang kini disebut Zweite Bundesliga (2. Bundesliga) setelah hanya menghabiskan semusim di divisi tiga.
Butuh empat tahun bagi Die Werkself untuk bermain kembali di Bundesliga. Pada akhirnya, para penggemar tak perlu menenggak kokain lagi setelah tim ini benar-benar mengkapling satu tempat di Bundesliga di musim 1979/80. Mulai dari sana, apa yang disebut orang sebagai stabilitas benar-benar diupayakan oleh Die Werkself.
Piala UEFA 1988, Gelar Prestisius Pertama
Memasuki pertengahan 1980-an, SV Bayer 04 Leverkusen menjadi tim mapan di Bundesliga. Lalu pada tahun 1984, tim ini kembali bernama TSV Bayer 04 Leverkusen. “TSV” pernah digunakan sebelum terjadinya perpecahan di tubuh klub olahraga yang satu ini.
Di tahun itu pula, logo Bayer Leverkusen kembali menggunakan warna putih dan merah, tidak lagi hitam dan merah. Lalu di akhir dekade 1980-an, Bayer Leverkusen tak cuma menjadi klub yang mapan, namun juga berusaha untuk merebut gelar prestisius.
Sayangnya, kemapanan sekadar menjadikan mereka lebih stabil. Tidak mudah melorot apalagi terdegradasi. Namun, merangsek ke papan atas adalah perkara lain. Pada era 1980-an, Bundesliga didominasi oleh tim-tim dari kota yang lebih maju.
O C.R. Flamengo venceu o Bayer Leverkusen 🇩🇪, Campeão da Copa da Uefa 1987/1988, por 1 a 0, no Japão, e conquistou a Copa Kirin de 1988 . O gol da partida foi marcado pelo Rei Zico . pic.twitter.com/AoMX0EUyr0
— Mengo Fatos (@MengoFatos) March 24, 2023
Dekade tersebut Bayern Munchen yang sudah diperkuat pemain seperti Lothar Matthaus dan kakaknya Karl-Heinz Rummenigge, Michael Rummenigge mulai rutin menyabet gelar Bundesliga. Kejayaan awal Bayer Leverkusen sendiri justru dimulai dari kancah Eropa, tepatnya di Piala UEFA.
Die Werkself bermain di Piala UEFA musim 1987/88. Erich Ribbeck, sosok pelatih yang sama sekali belum meraih gelar pada musim-musim sebelumnya, membawa Die Werkself ke final di kompetisi tersebut. Di partai puncak, Leverkusen bertemu Espanyol dalam pertandingan dua leg.
Mereka tertinggal tiga gol di leg pertama. Namun, saat bermain di hadapan pendukungnya sendiri, Leverkusen berhasil menyamakan agregat. Salah satu pemain yang mencetak gol saat itu berasal dari Korea Selatan, Cha Bum-kun. Karena agregatnya sama, maka pemenang harus ditentukan melalui adu penalti.
Di babak adu penalti, Angel “Pichi” Alonso yang tidak ada hubungannya dengan Xabi Alonso mencetak gol untuk Espanyol. Namun, hanya dia dan Jose Maria Sanchez yang mencetak gol. Sisanya, pemain Espanyol gagal menunaikan tugas. Sementara di kubu Leverkusen hanya Ralf Falkenmayer yang gagal mengeksekusi penalti.
Ujung Abad ke-20, Jerman Bersatu
Di penghujung abad ke-20, tepatnya tahun 1989, masyarakat di Jerman Timur melakukan demo besar-besaran dan terjadi peruntuhan Tembok Berlin. Hancurnya tembok pembatas ini menandai runtuhnya rezim komunis di Jerman Timur. Di waktu yang bersamaan, orang-orang di Jerman Timur mulai berani untuk pindah ke Jerman Barat.
Walaupun pada saat itu penjagaan masih ketat. Peristiwa ini kemudian mendorong diadakannya pemilihan umum pertama di Jerman Timur pada 18 Maret 1990. Tidak hanya itu, akibat fenomena ini wakil rakyat yang terpilih membahas ide untuk menyatukan kembali Jerman.
Today in 1990, the German Democratic Republic was annexed by the Federal Republic of Germany. The reunification marked the beginning of a neoliberal disaster for East German workers as the West German elite began plundering the East.
The GDR, located in the eastern part of the… pic.twitter.com/5k6rrQtthO
— red. (@redstreamnet) October 3, 2023
Mereka berunding dengan Jerman Barat, Britania Raya, Prancis, dan Amerika Serikat untuk membahas syarat-syarat penyatuan kembali Jerman. Pertemuan pun digelar di Berlin Timur, Moskow, Bonn, dan Paris. Perundingan itu menghasilkan Perjanjian Penyelesaian Akhir.
Isinya secara resmi memberi kedaulatan kepada negara Jerman. Pada Agustus 1990, Parlemen Rakyat memutuskan bahwa Republik Demokratik Jerman akan bergabung dengan Republik Federal Jerman. Tiga tahun setelah reunifikasi Jerman, Bayer Leverkusen menambah gelar mereka dengan menjuarai DFB Pokal tahun 1993 usai menaklukkan Hertha Berlin.
Hantu Bernama Neverkusen
Menjelang akhir abad ke-20, Leverkusen menjadi tim yang lebih baik. Gelar Piala UEFA dan DFB Pokal yang sudah direngkuh layak membuat pendukungnya bangga dan tak perlu lagi menelan aspirin. Namun, masih banyak tim yang jauh lebih baik dari mereka. Dan Bayer Leverkusen selalu berada di belakang.
Empat musim antara tahun 1997 hingga 2002, Die Werkself harus menyerah kepada tim yang lebih baik dengan empat kali menjadi runner-up Bundesliga. Leverkusen selalu kalah dari tim seperti Bayern Munchen dan Borussia Dortmund. Padahal saat itu, Die Werkself diperkuat pemain yang tak pernah absen mencetak gol seperti Ulf Kirsten.
Bayer 04’s all time record goalscorer Ulf Kirsten when asked if Leverkusen will win the Bundesliga: “Yes, absolutely. There’s no way around it, they are 10 points clear at the top of the table and are playing an outstanding season. They won’t let this opportunity slip away. I… pic.twitter.com/Sc6yaxSr0e
— WerkselfXtra (@bayer04Xtra) March 20, 2024
Pada periode yang sama, yakni antara akhir abad ke-20 dan permulaan abad ke-21, ada satu musim yang menyisakan luka menganga bagi para penggemar. Ialah musim 2001/02. Musim itu Leverkusen mempekerjakan pelatih minim trofi untuk kesekian kalinya.
Kali ini mantan pelatih FC Saarbrucken, Klaus Toppmoller yang ditunjuk untuk mengomandoi skuad yang berisikan pemain-pemain seperti Ulf Kirsten, Michael Zepek, Ze Roberto, Lucio, Dimitar Berbatov, hingga Michael Ballack. Dengan para pemain yang terbilang standar-standar saja, Leverkusen menghentak lewat kemenangan sensasional di kandang Wolfsburg.
Kemenangan itu pada saatnya justru menjadi titik pijak awal sekaligus pertanda. Bahwa di musim itu, klub pabrik obat akan menjadi tim yang beneran nggak ada obatnya. Ambisi meraih gelar menjadi bara api yang terus menyalakan tungku semangat para pemain.
Coba, siapa bisa menjelaskan bagaimana Leverkusen memulai Bundesliga musim ini dengan rekor tak terkalahkan dalam 14 laga beruntun? Ballack, yang punya tendensi kepemimpinan tak punya cara lain selain tak kenal lelah memberi contoh. Pasukan Toppmoller pun sebentar saja membuat hati penggemarnya tak berhenti berdebar kencang.
Terlebih di dua kompetisi lainnya, DFB Pokal dan Liga Champions, Leverkusen juga melaju. Di UCL, Die Werkself bahkan menjelma “The Giant Killer”. Betapa tidak? Klub raksasa seperti Liverpool dan Manchester United dikalahkannya di perempat final dan semifinal.
Musim itu Leverkusen diambang gelar treble. Melaju ke final UCL dan DFB Pokal, plus kokoh di puncak klasemen Bundesliga. Namun, justru di sinilah kisah menyayat hati itu lahir. Kecerobohan di pekan-pekan terakhir membuat mereka terpeleset dari puncak klasemen. Setelah terpeleset mereka terbentur ubin keras.
FC Schalke yang menjadi lawan di final DFB Pokal memberi pelajaran berharga. Niatnya, kecerobohan di level domestik akan dibayar lunas di Liga Champions. Namun, sepakan voli Zinedine Zidane bagai pisau yang memperlebar luka. Melengkapi kecerobohan sekaligus membuat mereka merana.
Leverkusen tersedak. Nasib hidup dalam cemooh “Neverkusen” pun sulit tertolak. Julukan “Neverkusen” atau media Jerman menyebutnya “Vizekusen” pun terpetak.
“Vizekusen” merujuk pada Leverkusen yang hanya bisa menjadi juara kedua. Sindrom itu juga dibawa oleh pemain Leverkusen ke Timnas Jerman. Akhirnya Der Panzer pun hanya bisa menjadi juara dua di Piala Dunia tahun 2002.
Pada musim 2001-2002, Bayer Leverkusen punya cerita sedih ketika mau ngeraih treble Winner. pic.twitter.com/F6bNkZPSSe
— City Room (@mancityroom) May 20, 2023
Mengatasi Kehilangan Ala Bayer Leverkusen
Bertahun-tahun Leverkusen hidup dalam cemooh “Neverkusen”. Sindiran itu diwariskan turun-temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun, Leverkusen tidak berhenti di tempat. Hinaan “Neverkusen” memang tersemat, tapi tim terus berinovasi demi mengembalikan harkat dan martabat.
Sayangnya, setelah treble horor itu tak ada satu pun trofi yang masuk ke lemari. Sekalipun dilatih oleh Jupp Heynckes, pelatih yang langganan trofi. Tapi bukan berarti Leverkusen tidak memperbaiki diri. Ada banyak hal yang berubah di tim yang masih konsisten didanai oleh Bayer AG ini.
Terutama, dan mungkin ini yang paling penting, bagaimana Leverkusen akhirnya menciptakan terobosan dengan melahirkan pemain hebat, sekaligus meramu strategi untuk mengatasi apabila pemain yang mereka lahirkan dibajak tim raksasa.
Selama beberapa tahun usai musim memilukan itu, manajemen selalu bisa mengorbitkan pemain jempolan. Ingat dari mana Kai Havertz berasal? Ya, Havertz adalah contoh pemain yang sukses diorbitkan Die Werkself. Dalam beberapa musim, pemain yang kurang minum cerebrofort itu menjadi andalan Leverkusen.
Kai Havertz’s kit numbers throughout his career:
Bayer Leverkusen – #29
Chelsea – #29
Arsenal – #29Keeping the 2️⃣9️⃣ tradition going. 😅 #afc pic.twitter.com/xwll9OPwXn
— afcstuff (@afcstuff) June 28, 2023
Bahkan 18 golnya di musim 2019/20 memaksa Chelsea membelinya dengan mahar yang cukup tinggi. Setelah kehilangan Havertz, alih-alih jor-joran membeli penggantinya, Leverkusen malah tidak terburu-buru membelanjakan uang tersebut.
Ndilalah Leverkusen dianugerahi pelatih yang teliti seperti Peter Bosz. Jadi, disamping manajemen yang bagus, ketelitian pelatih membuat Leverkusen terlihat cerdik dalam memutuskan soal siapa yang bakal dibeli. Pada waktu itu, pilihan untuk menjadi juru gedor baru jatuh pada Patrik Schick.
49′: Patrik Schick
69′: Patrik Schick
74′: Patrik Schick
76′: Patrik SchickJust the four goals for Schick as Bayer Leverkusen score SEVEN against Furth. 😳 pic.twitter.com/fa6fb2glKw
— Squawka Live (@Squawka_Live) December 4, 2021
Kala itu, penampilan Schick di AS Roma hanya cukup. Kalau dalam rapor anak SD, nilainya 70, tidak di bawah KKM juga tidak bagus-bagus amat. Tapi lihatlah dalam beberapa tahun, Schick menjadi salah satu striker Eropa yang menarik perhatian.
Leon Bailey, pemain yang kini diandalkan oleh Aston Villa, itu pun hasil didikan Leverkusen. Florian Wirtz bahkan disebut perpaduan Ronaldo-Messi, oleh penggemar mereka yang bebas beropini. Sebelum menjadi bintang yang harganya tinggi, Wirtz hanyalah seorang siswa yang numpang main bola di BayArena.
Karena Die Werkself Punya Simon Rolfes
Ada campur tangan orang Steinfurt di balik perekrutan Bayer Leverkusen. Namanya Simon Rolfes. Pria kelahiran 21 Januari 1982 itu bekerja di Bayer Leverkusen sejak tahun 2018. Ia kembali ke mantan timnya dengan menjabat sebagai manajer akademi.
Namun, hanya beberapa bulan ia menduduki jabatan itu. Pada Desember 2018, Rolfes harus mengisi jabatan direktur olahraga. Lalu, pada tahun 2022 ia mengisi jabatan direktur pengelolaan olahraga menggantikan Rudi Voller.
Selama Rolfes bekerja di bagian perekrutan pemain, Die Werkself banyak berinvestasi dalam pembinaan pemain muda dan memastikan pemain akademi diberi kesempatan untuk berkembang. Persaingan untuk menarik pemain memang ketat. Namun, Rolfes punya strategi sendiri untuk mendekati pemain.
Happy Birthday, Simon Rolfes! 🎉🎁⚫️🔴#Bayer04 #Werkself pic.twitter.com/gcNfmV7Bfl
— Bayer 04 Leverkusen (@bayer04_en) January 21, 2024
Dalam merekrut pemain, Rolfes dan timnya mengutamakan budaya klub dan kemampuan calon pemain baru. Rolfes juga melibatkan departemen perawatan. Rolfes mengajak timnya dan departemen perawatan untuk berbicara mengenai target pemain dan segera menemukan cara untuk membuat kesepakatan yang sempurna antara klub dan pemain.
Rolfes dan timnya juga memakai perangkat lunak berupa AWS untuk proses menemukan dan merekrut pemain. Penggunaan program ini memperlihatkan betapa Leverkusen, pada akhirnya juga mengikuti perkembangan zaman. Apa yang sudah dilakukannya, pada harinya nanti menemui keberhasilan.
Lelaki Flamboyan dari Basque
Sayang, yang namanya jalan tidak selamanya mulus. Ada kalanya kita harus melewati jalan desa yang berkerikil karena dananya dipakai membeli Alphard. Segala yang sudah dibangun Rolfes dan timnya justru, pada titik tertentu, hampir berjumpa kehancuran. Tepatnya di masa-masa akhir kepemimpinan Gerardo Seaone sebagai pelatih.
Sang pelatih gagal mendongkrak performa Leverkusen pada musim 2022/23. Jangankan ke papan atas, naik sedikit ke papan tengah saja hanya seperti fatamorgana. Akhirnya, manajemen pun memutuskan memecat Seoane sebelum musim 2022/23 benar-benar berakhir.
Tapi Die Werkself kembali melakukan kebiasaan lamanya. Daripada mendatangkan pelatih yang menjamin trofi, atau setidaknya berpengalaman meraih trofi, Leverkusen justru merekrut Xabi Alonso. Orang Basque yang flamboyan itu bukan pelatih top.
Sebagai pemain, ia memang pernah juara Bundesliga tiga musim beruntun di Bavaria. Tapi sebagai pelatih, tidak ada gelar yang diperolehnya. Betul bahwa Alonso membawa kesuksesan, tapi itu di tim muda Real Madrid dan Real Sociedad B. Melatih tim muda dan tim cadangan jelas berbeda dengan melatih utama. Apa Leverkusen tidak belajar dari tragedi treble horor?
Namun, Leverkusen yang mendasari segala keputusan lewat sebuah aplikasi, percaya saja pada Alonso. Toh Alonso bersedia. Tidak ada harapan berlebihan yang diletakkan fans di pundak Alonso.
Xabi Alonso leads Leverkusen to Bundesliga title 🏆#UCL pic.twitter.com/8BYTSXGh0C
— UEFA Champions League (@ChampionsLeague) April 14, 2024
Keluar dari keterpurukan sudah lebih dari cukup. Namun, Alonso justru mengubah harapan yang remeh-temeh itu menjadi pencapaian yang luar biasa. Ia membawa Leverkusen dari posisi 17 ke posisi teratas. Mengantarkan tim ini dari kesemenjanaan menembus kejayaan.
Rekrutan-rekrutan baru seperti Granit Xhaka, Alex Grimaldo, hingga Victor Boniface memberi dampak. Mereka bekerja sama dengan pegawai lama yang karier mediokernya berhasil diselamatkan. Alonso, dengan segala yang dilakukannya membuat seluruh penggemar Bayer Leverkusen bahagia.
Menjadikan orang-orang yang dulunya tak memperhatikan timnya mulai melirik, bahkan menatapnya dengan mata terbelalak. Setelah 120 tahun sejak klub ini berdiri, akhirnya gelar Bundesliga bisa dipajang di lemari. Istilah “Neverkusen” pun mati tepat di musim Bundesliga yang entah mengapa tidak tayang di televisi.
https://youtu.be/N0fAKRAU6VI
Sumber: TheAthletic, IndiaTimes, Bundesliga, TheseFootballTimes, Box2Box, Box2BoxFootball, Bayer04, DW, Bundesliga