Di hari itu, Kane sedang tidak dalam balutan jersey dan bertanding sepak bola. Jadi jelas, Kane bergembira bukan karena sehabis mencetak gol spektakuler atau hat-trick yang memukau, melainkan karena satu hal yang telah lama ia dambakan: trofi pertamanya sebagai pesepakbola profesional.
Kane tahu waktunya akan tiba. Meski status itu dipastikan lewat pertandingan klub lain, tapi juara tetaplah juara. Setelah melewati ratusan pertandingan, membuat namanya timbul ratusan kali di papan skor, pesepakbola 31 tahun itu akhirnya memiliki satu gelar juara yang bisa dibanggakan. Sebuah gelar yang tak lagi membuatnya diremehkan.
Ya, Kane memang begitu. Ia tumbuh bukan hanya menjadi seorang bomber yang diremehkan karena miskin trofi. Tapi sudah sejak belia, Kane yang hidup di negara sepak bola modern bernama Inggris, dipandang sebelah mata. Bagaimana Kane tumbuh menjadi sosok pesepakbola yang tahan banting meski dibuang dan dihajar anggapan miring di sana-sini?
Kita akan berjumpa dengan masa kecil Harry Kane. Masa kecil yang ia habiskan di sebuah wilayah yang terletak di pinggiran London bernama Walthamstow.
Daftar Isi
Bab 1: Anak Lokal yang Diremehkan
Inggris memang negara sepak bola. Tapi tidak semua ditakdirkan menjadi pesepakbola profesional. Hanya mereka yang berkeinginan keras, yang punya mental tak mudah patah lah yang mampu mewujudkan sebagian besar cita-cita anak di seluruh dunia itu. Alhasil, sebagian besar lainnya hanya membicarakan, menonton, menulis, atau memainkan si kulit bundar untuk bersenang-senang dan mengisi waktu kosong belaka.
Harry Edward Kane adalah contoh anak yang berhasil itu. Pria kelahiran 28 Juli 1993 di Walthamstow, London ini, sejak kecil sudah menunjukkan minat dan bakat di bidang sepak bola. Namun, perjalanan menjadi pesepakbola profesional jelas tidaklah mudah.
Kane menuturkan kalau dia tertarik pada sepak bola sejak usia 5 tahun. Di sebuah taman wilayah Chingford di dekat rumahnya, Kane kerap menghabiskan waktu bermain bersama ayah dan kakaknya. Kane lalu bergabung dengan Ridgeway Rovers, klub lokal yang juga pernah menjadi tempat bermain sang idola, yakni David Beckham. Di sana, Kane merasakan lingkungan yang mendukung dan menyenangkan, yang membantunya terus semangat dan semakin jatuh cinta dengan sepak bola.
Di usia 7 sampai 9 tahun, Kane sempat menimba ilmu di akademi Arsenal, namun dirinya dilepas karena dianggap tidak cukup baik. Bukan saja tentang skill-nya yang kalah saing, mantan Direktur Akademi Arsenal kala itu Liam Brady, mengaku kalau Kane tersisih lantaran pipinya yang tembem dan tubuh yang tak atletis. Sebuah alasan aneh yang kemudian disesali oleh Arsenal.
Penolakan itu jelas membuatnya kecewa dan agaknya itulah patah hati pertama seorang Kane. Karena bagaimanapun saat itu Kane nge-fans dengan Meriam London. Namun, apa yang menimpa Kane tidak membuatnya menyerah. Kane kembali ke Ridgeway Rovers dan terus bermain dengan semangat berlipat ganda.
Setelah periode singkat keduanya di Ridgeway Rovers, Kane menjalani trial di Watford dan tampil impresif dengan mencetak hat-trick dalam pertandingan melawan Tottenham Hotspur. Penampilan mengkilap bocah yang dipandang sebelah mata oleh Arsenal itu pun menarik perhatian The Lilywhites, yang kemudian menawarkan rumah baru kepadanya. Kane bergabung dengan akademi Tottenham pada usia 11 tahun dan mulai meniti karier profesionalnya di sana.
Kane benar-benar harus meniti, tak ada lift khusus yang membuatnya cepat sampai ke puncak. Yang ada hanya anak tangga yang melelahkan. Pasalnya sebelum bisa menembus tim utama, Kane muda harus menjalani masa peminjaman ke beberapa klub seperti Leyton Orient, Millwall, Norwich City, dan Leicester City. Bahkan di klub yang level persaingannya tak seketat Tottenham, Kane muda kadang masih jadi pilihan kedua. Misalnya saja saat bersama The Foxes, Kane ternyata sempat berbagi bangku cadangan dengan Jamie Vardy.
Namun, bagaimana mungkin Kane yang terbuang ke sana-sini. Menjadi penghangat bangku cadangan bahkan di klub seperti Leicester City, dengan cepat berada di level tertinggi dalam sepak bola?
Bab 2: Mesin Gol yang Tak Pernah Juara di Tottenham
Kuncinya adalah ketangguhan, kerja keras, dan mental baja. Tiga hal itu laksana kitab suci yang selalu dipegang Harry Kane. Ia hanya butuh kesempatan dan kepercayaan penuh. Kepercayaan itu pun akhirnya justru datang dari Timnas Inggris junior. Di sanalah Kane menunjukkan taring sebagai penyerang berbahaya.
Hari-hari pembuktian di klub London pun tiba. Pada musim 2014/15 Tottenham dilatih Mauricio Pochettino. Juru taktik asal Argentina yang masih berusia 42 tahun ini melihat sesuatu yang berbeda dalam diri Kane. Sejak saat itu karier Kane mengalami titik balik. Dari yang semula cuma mencicipi secuil pertandingan, jadi langganan di starting line up.
Kane yang baru berusia 21 tahun tak menyia-nyiakan kepercayaan itu. Kane mulai menghasilkan gol demi gol bagi Lili Putih. Musim itu saja, 31 gol sudah ia torehkan, 21 gol dicetak di Premier League. Catatan impresif di usianya under 23 tahun itu membuat Kane langsung menyabet penghargaan pemain muda terbaik Premier League. Sebuah catatan yang tentu saja mengagumkan dan membuat hati para fans Spurs tersentuh.
Tak ada lagi kisah peminjaman. Dari musim ke musim, Kane pun benar-benar menikmati sensasi mencetak gol untuk Tottenham. Di bawah pelatih asal Argentina itu, Spurs kembali menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Kane memimpin lini depan dengan ketajaman yang luar biasa.
Musim 2015/16 alias musim penuh keduanya, menjadi momen emas yang tak terlupakan. Bersama Dele Alli, Christian Eriksen, dan Son Heung-min, Tottenham menyajikan permainan cepat, agresif, dan penuh semangat muda. Musim itu, Spurs punya kesempatan emas meraih gelar yang mereka nantikan. Di sisi lain Kane menggila dengan 25 gol dan jadi top skor.
Namun gelar yang dirindukan itu tak sampai ke pelukan. Justru musim itu, bekasnya timnyalah yang meraih gelar Premier League. Benar, tim itu adalah Leicester City. Pasukan White Hart Lane hanya bisa finis di posisi kelima. Tapi Kane belum menyerah. Toh masih ada musim-musim lain. Kesempatan meraih trofi masih terbuka.
Musim berikutnya alias 2016/17, Kane dan kawan-kawan tampil lebih solid dan lebih matang. Mereka kembali jadi kandidat peraih gelar Premier League. Tapi usaha Kane dan kolega ternyata masih belum cukup. Tottenham hanya mampu berakhir sebagai runner-up di bawah Chelsea. Dan Kane? lagi-lagi menjadi top skor dengan 29 gol.
Rasa ngilu akibat gagal meraih trofi bukan hanya dirasakan di pentas Premier League. Hal sama yang lebih perih terjadi di pentas Benua Biru. Tepatnya pada musim 2018/19 ketika Kane punya andil besar membawa Tottenham ke panggung terbesar dalam sejarah klub: final Liga Champions. Perjalanan mereka luar biasa, termasuk comeback dramatis melawan Ajax Amsterdam di semifinal.
Sebetulnya Kane sudah menepi ke meja perawatan lantaran cedera di babak perempatfinal kontra Manchester City. Tapi saat malam krusial datang, secara mengejutkan Kane kembali dari cedera dan langsung dimainkan oleh pelatih sebagai starter. Tubuhnya belum benar-benar siap, tapi siapa yang bisa menyalahkannya? Ini adalah final Liga Champions. Momen yang hanya bisa dibayangkan oleh bocah-bocah Ridgeway Rovers.
Tapi semua impian dan pertaruhan Pochettino itu pecah dalam 90 menit. Tottenham kalah 0-2 dari Liverpool. Kane terlihat patah, tapi menolak menyalahkan siapa pun. Ia tetap menjadi kapten yang memikul semua beban.
Musim 2020/21 adalah gambaran paling ironis dalam karier Kane. Ia masih menjadi striker ganas dengan total 33 gol dan 17 assist di semua kompetisi. Namun Tottenham hanya finis ketujuh. Tak ada gelar dan tak ada perayaan. Hanya kesunyian panjang yang mengiringi pencapaian individu.
Dunia pun tahu, Kane pantas berada di panggung yang lebih besar. Ia tahu itu dan fans pun tahu itu. Tapi hatinya masih tertambat di Tottenham. Di lain sisi, jauh di dalam diamnya, Kane mulai bertanya, berapa lama lagi ia harus berusaha untuk satu trofi pertama dalam kariernya?
Bab 3: Pergi dari Tottenham Hotspur
Godaan pun sempat datang, Kane kencang dikabarkan bakal menyebrang ke Manchester City. Kala itu, klub yang diasuh Pep Guardiola kabarnya sudah menyiapkan 100 juta poundsterling. Dan tentu saja iming-iming mencicipi trofi pertama. Tapi Kane tak cukup tega harus menghadapi Tottenham dalam balutan jersey The Citizens.
Kane terlanjur mencintai Tottenham melebihi dirinya sendiri. Tapi sepak bola, seperti hidup, tak selalu adil pada mereka yang berusaha setia. Ia memberi segalanya, gol, darah, air mata, dan waktunya. Namun pada akhirnya Kane memutuskan: cukup sudah. Pada musim panas 2023, Kane memilih Bayern Munchen. Setidaknya Kane bisa menghindari pertemuan dengan klub yang ia cintai itu.
Dan bagaimanapun tak terimanya fans dengan kenyataan pahit itu, kepergiaan Kane tetaplah dalam balutan status legenda hidup. Dengan 280 gol dalam 435 penampilan, Kane menjadi pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah Tottenham. Tapi Kane sebenarnya pergi sebagai pria yang patah, karena semua itu tidak pernah cukup untuk mengangkat satu pun piala.
Kane datang ke Jerman bukan hanya untuk bermain sepak bola. Di usia 30, Kane bukanlah remaja yang datang untuk menimba pengalaman. Ia datang untuk menang. Ia datang membawa beban harapan pribadi yang telah lama tertunda, dan beban ekspektasi klub sebesar Bayern Munchen yang baru saja merasakan ancaman akan kehilangan hegemoni domestiknya.
Di pundaknya, bertumpuk semua impian: trofi pertama dalam karier seniornya, pembuktian diri di luar Inggris, dan tugas membawa The Bavarians kembali menjadi raja di Jerman dan Eropa. Bayern pun menyambutnya dengan gegap gempita.
Jersey bernomor 9 laku keras di toko-toko resmi klub. Namun di lain sisi, tak sedikit pula yang mulai bertanya: apakah Kane adalah pengganti sepadan bagi Robert Lewandowski yang telah pergi? Apakah dia bisa menghadapi tekanan, budaya baru, dan sistem permainan yang sangat berbeda dari Inggris?
Bab 4: Pembuktian Sekaligus Kesengsaraan di Negeri Jerman
Kane dianggap sebagai tipikal striker Inggris yang hanya bisa bersinar di Premier League. Transfer ini dinilai sebagai langkah putus asa setelah Bayern kehilangan banyak nama besar dalam beberapa tahun terakhir. Ditambah, Kane langsung masuk ke skuad yang sedang dalam transisi, di mana pelatih Thomas Tuchel pun belum menemukan formula terbaik.
Di lain sisi, Kane menancapkan keyakinan bahwa selama bola masih bulat dan ia masih bisa menendangnya ke gawang, maka segalanya mungkin. Musim pun berjalan, dan Kane membuktikan bahwa adaptasi bukan masalah.
Sejak pekan-pekan awal Bundesliga, ia mulai mencetak gol. Tandukan, tembakan dari luar kotak, penalti, bahkan assist, Kane memberikan semuanya. Ia dengan cepat menjadi pusat serangan Bayern. Pergerakannya cerdas, sentuhannya halus, dan naluri mencetak gol tetap tajam. Salah satu momen yang menggambarkan itu adalah saat pertandingan Der Klassiker melawan Borussia Dortmund, di mana Harry Kane mencetak hat-trick.
Pertandingan ini menunjukkan betapa mengerikannya Harry Kane di mulut. Laga itu tak pelak menjadi sinyal bahwa Kane akan merajai Bundesliga. Dan benar, memang begitulah yang terjadi. Musim itu, Kane mengoleksi 36 gol di Bundesliga, memecahkan rekor gol debut sekaligus langsung menjadi top skor. Kane makin ranum karena di musim itu pula, ia dinobatkan sebagai pencetak gol terbanyak di Liga Champions dengan delapan gol.
Tapi yang namanya kebahagiaan akan selalu diiringi kisah menyayat hati. Kane memang meraih penghargaan individu, tapi trofi raksasa tak berada di pelukannya. Bayern Munchen asuhan Thomas Tuchel secara keseluruhan tampil menyedihkan. Di Bundesliga mereka hanya finis di posisi ketiga, menyerahkan trofinya pada Bayer Leverkusen besutan Xabi Alonso.
Di DFB Pokal, Bayern gugur lebih awal. Di Liga Champions? Dipulangkan Real Madrid di semifinal. Pertama kalinya setelah lebih dari satu dekade, Bayern Munchen menutup musim tanpa satu pun trofi. Kane pun mengulang narasi lama sebagai “The Nearly Man”. Yang tak kalah menyedihkan, di tengah kegagalannya kali ini, Kane berada jauh dari rumah, dari liga tempat ia tumbuh. Seolah-olah di mana pun Kane berada ia digelayuti oleh kutukan.
Namun Kane sadar kalau Bayern adalah mesin yang dituntut selalu bekerja sempurna. Tidak ada ruang untuk simpati atas pencapaian personal jika tidak dibarengi trofi. Di ruang ganti, kemenangan adalah satu-satunya mata uang. Dan musim itu, Kane mungkin merasa ia membayar terlalu banyak untuk hasil yang terlalu sedikit.
Terlepas dari itu, Kane beruntung. Ia tak perlu memeram sendiri lukanya. Rasa kecewa juga dimiliki oleh seluruh klub. Bayern tahu caranya bangkit, dan mereka melakukan itu di musim berikutnya. Dan Harry Kane, telah menjadi bagian dari sistem klub yang memiliki struktur dan budaya pemenang itu. Dan inilah cara Bayern Munchen membalikkan keadaan!
Bab 5: Ironi dan Perjuangan Mengakhiri Kutukan
Musim 2024/25, seorang pelatih baru didatangkan. Tak berapa lama setelah manajemen membersihkan noda-noda di kalangan petinggi. Orang yang didatangkan bernama Vincent Kompany. Kane pun bersemangat dengan kedatangan Kompany. Suasana di ruang ganti pun berubah menjadi lebih segar.
Ada hasrat untuk membuktikan bahwa Bayern masih merupakan raja di Bundesliga. Sejalan dengan itu, Kane melecut dirinya, mematri pada hati dan pikirannya: musim ini tak boleh gagal. Letupan semangat itu pun terlihat jelas sebab Kane tak perlu banyak waktu untuk panas.
Di pekan-pekan awal Bundesliga, Kane langsung mencatatkan namanya di papan skor, tak ubahnya seperti mesin yang tak pernah lelah. Kane menunjukan kalau setiap gol nya bukan saja angka tapi juga bentuk perlawanan terhadap narasi lama yang melekat padanya, seorang kapten tanpa mahkota, seorang penyerang besar dengan tangan hampa.
Namun secara keseluruhan Bayern bukannya tanpa masalah. Musim tetap berjalan berat. Leverkusen, sang juara bertahan, tetap konsisten. Di sela-sela itu, cedera menghantam beberapa pemain inti. Sebut saja Alphonso Davies, Dayot Upamecano, Jamal Musiala, dan lainnya. Untungnya, sang aktor utama kita, Kane tetap berdiri tegak.
Dalam laga-laga besar, ia jadi pembeda. Dalam momen-momen sulit, ia jadi sandaran. Ia bukan hanya mencetak gol; ia menarik perhatian bek, membuka ruang, memberi assist, dan memberi suntikan energi bagi tim. Momen-momen hebat pun ia rajut bersama Die Roten musim ini. Salah satunya ketika mencetak hattrick ke gawang Holstein Kiel, VfB Stuttgart, dan FC Augsburg.
Kane pun menjadi pemain tercepat yang mencapai 50 gol di Bundesliga, hanya dalam 43 pertandingan, melampaui rekor sebelumnya yang dipegang oleh Erling Haaland. Itu membuktikan bahwa insting Kane belum kandas. Lantaran sering mencetak gol ini pula, Thomas Muller sampai bercanda bahwa Harry Kane butuh kamar hotel tambahan hanya untuk menyimpan bola-bola pertandingan yang diperolehnya dari hattrick.
Tapi sebenarnya catatan pribadi yang berkilau ini tak sepenuhnya menggambarkan perjuangan Kane dan tim. Jalan meraih trofi pertama tak semulus itu. Sebab di beberapa laga mereka sempat tersandung. Salah satu faktornya karena Kane sempat mengalami cedera yang membuatnya terpaksa tak bermain.
Akibatnya Bayern mencecap kekalahan atas Mainz 05. Di laga lainnya, absennya Kane ini pun berujung hasil pahit di laga melawan Bayern Leverkusen. Sialnya, laga tersebut merupakan babak 16 besar DFB-Pokal. Kane yang hanya menonton rekan-rekannya berjuang pun harus merelakan satu trofi domestik melayang.
Untunglah motivasi membara Kane membuatnya cepat menemukan kembali performa terbaiknya saat kembali merumput. Namun sekembalinya Kane dari cedera, produktivitasnya dalam mencetak gol menurun. Bahkan fans sempat cemas lantaran striker anyar kesayangan mereka itu sempat puasa gol dalam 5 laga beruntun Bundesliga. Di saat yang sama, Bayern tampil kurang maksimal. Seperti ditahan Leverkusen, Union Berlin, hingga Borussia Dortmund dan bahkan The Bavaria sempat kalah dari VFL Bochum.
Ironi lainnya, di pekan-pekan terakhir jelang penentuan gelar juara sang striker malah kena akumulasi kartu. Alhasil di pekan ke-32 melawan RB Leipzig, Kane cuma bisa memberi semangat timnya dari tribun. Padahal di laga tersebut kemenangan akan mengunci gelar juara bagi Bayern.
Di atas kertas, tak sulit untuk mencuri poin penuh dari markas klub berjuluk Die Roten Bullen ini. Tapi nyatanya, tanpa Kane tampak kekuatan Bayern jauh berkurang. Hasilnya tuan rumah bisa menahan imbang Bayern dalam pertarungan yang sengit di Red Bull Arena. Ketika sorot kamera menangkap wajah Kane, pria Inggris itu pun tak bisa berbohong bahwa ada raut gemas sekaligus kecewa lantaran trofi pertamanya tertunda.
Tapi kabar baiknya, Kane tak mungkin lagi salah sangka dan patah hati. Lantaran secara matematis peluang juara Bayern musim ini sangat besar. Dengan menyisakan dua laga, bahkan hasil buruk menimpa sekalipun takdir tak akan berubah. Andai kata Leverkusen menang di dua laga terakhir dan Bayern kalah dalam dua laga tersisa juara tetap bisa terbaca. Ini hanya soal kapan dan bagaimana status juara itu didapat.
Dalam masa menunggu itu, Kane pun sudah tak sabar menyambut trofi perdananya. Mungkin suasana batin Kane mirip seperti menunggu kehadiran anak pertama. Rekan-rekan Kane pun tak kalah antusias untuk melihat pecah telurnya prestasi sang “Mr runner-up”.
Itu sebabnya di sebuah restoran mewah di pusat kota Munich, mereka nobar pertandingan Leverkusen vs SC Freiburg. Pesaing utama mereka, Leverkusen, yang di musim lalu mencolong trofi akhirnya gagal menang. Hasil imbang itu pun memastikan Bayern kembali meraih gelar Bundesliga ke-34, satu pekan sebelum musim berakhir.
Bab 6 Penutup : Mahkota Pertama, Tapi Bukan Terakhir
Sontak semua perhatian mengarah ke Kane. Sebab akhirnya setelah 15 tahun Kane bisa mewujudkan impiannya. Sebuah trofi yang lahir dari luka, dari perjuangan panjang, dari semangat seorang pemenang yang tak pernah menyerah. Semua emosi itu luruh dan tergambarkan ketika Kane dan para punggawa Bayern menyanyikan “We Are The Champions”.
Gelar Bundesliga ini mungkin bukan sebesar Liga Champions atau Piala Dunia. Tapi bagi Harry Kane, ini adalah trofi yang paling berat, paling jujur, dan paling layak. Trofi ini bukan hanya simbol kemenangan; ini bukti bahwa perjalanannya dari bocah Inggris yang diremehkan, ke striker yang paling tajam di dunia adalah kisah yang patut diputar.
Kini orang-orang yang sempat melabeli Kane sebagai pemain pembawa sial dan sebagainya, tak lagi melihatnya sebagai “pemain Inggris yang cari gelar ke luar negeri.” Mereka melihatnya sebagai pejuang. Sebagai manusia yang tak pernah menyerah pada waktu, tak pernah tunduk pada narasi orang lain.
Dan bagi Harry Kane sendiri, gelar ini bukanlah akhir. Ini hanya pembuka dari lembar baru yang membuatnya lebih percaya diri. Kini, ia tak lagi dikejar bayang-bayang “belum pernah juara.” Harry Kane tak lagi bertanya “kapan?” tentang trofi. Kini, ia hanya bertanya dan mengusahakannya: “trofi apa lagi berikutnya?”