Inggris pantas kalah di final Euro 2020! The Three Lions dipaksa tertunduk lesu di Stadion Wembley usai kalah adu penalti 3-2 dari Gli Azzurri. Sebuah hasil pilu yang tidak hanya membuat sedih publik Inggris, tetapi juga membuat marah dan malu.
Takada masalah dengan Harry Kane dkk. Anak asuh Gareth Southgate justru layak diapresiasi. Namun seperti kata Luka Modric, yang jadi masalah bukan skuad timnas Inggris, tetapi media dan fans mereka.
“Arogansi itu tidak terlalu terkait dengan para pemain dan tim nasional tetapi dengan orang-orang di sekitar mereka, yaitu beberapa jurnalis dan komentator,” kata Madrid dikutip dari Goal.
Luka Modric on England, and Three Lions🗣️: “That arrogance is not so much related to the players but the people around them, some of the journalists and the commentators.” pic.twitter.com/lY56dNCqua
— SPORTbible (@sportbible) June 12, 2021
Arogansi orang-orang di sekitar timnas Inggris itulah yang membuat The Three Lions belum pantas menjadi juara. Setidaknya, kondisi itu berlaku di Euro 2020 ini. Inggris banyak membuat ulah dan dosa selama turnamen Piala Eropa berlangsung.
Berikut ini starting eleven urai 5 dosa Inggris di Euro 2020.
Daftar Isi
1. Media Angkuh dan Pundit Inggris yang Meremehkan Tim Lain
Kandasnya Inggris dari Italia sangatlah miris. Bagaikan karma, Italia adalah tim yang banyak diremehkan oleh media dan pundit dari Inggris. Yang paling diingat tentu pernyataan Patrick Vieira dan Gary Neville soal Italia yang bakal terhenti cepat. Namun kenyataannya, Italia juara dan lawan yang mereka tundukkan di final adalah Inggris.
There is a reason why Gary Neville is the worst coach in the history of La Liga. 😭 pic.twitter.com/YSHiU7pJIo
— Vince™ (@Blue_Footy) July 12, 2021
Media-media Inggris juga punya sikap yang angkuh alias sombong. Mereka suka melebih-lebihkan timnas Inggris, baik secara tim maupun pemainnya secara individu. Mereka kerap memuji setinggi langit pemain Inggris meski baru tampil bagus dalam 1 pertandingan.
Media Inggris suka membandingkan mereka yang tampil bagus dengan legenda sepak bola dunia. Lucunya, mereka dibandingkan dengan legenda dari negara lain. Luke Shaw misalnya, ia dibandingkan dengan Roberto Carlos, legenda dari Brasil.
SIR SHAWBERTO CARLOS pic.twitter.com/mMfidBzE3A
— ODDSbible (@ODDSbible) July 11, 2021
Begitu juga dengan Kalvin Phillips. Gelandang Leeds United itu dibandingkan dengan Andrea Pirlo yang notabene legenda Italia. Pertanyaannya, mengapa mereka tidak disetarakan dengan legenda The Three Lions sendiri? Apakah media Inggris tidak pede dengan kualitas legenda mereka sendiri? Hal itu masih jadi misteri.
The Yorkshire Pirlo. #ENG pic.twitter.com/VQdjRj9Tdx
— Football Tweet (@Football__Tweet) July 8, 2021
2. Bersorak dan Berpesta, Padahal Belum Juara
Tak hanya pundit dan medianya yang berdosa saat Euro 2020. Fans timnas Inggris jauh lebih berdosa. Salah satu ulah mereka yang sangat menyebalkan adalah jargon “football’s coming home” yang terus mereka dengungkan selama Euro 2020. Fans Inggris juga membanjiri media sosial dengan jargon tersebut.
Masalahnya, jargon tersebut lama-lama keluar konteks dan tidak sesuai dengan arti sebenarnya. “It’s Coming Home” merupakan petikan lirik dari lagu berjudul “Three Lions” karya David Baddiel, Frank Skinner, dan band asal Liverpool, Lightning Seeds. Lagu yang diciptakan sebelum Euro 1996 itu sejatinya punya makna ungkapan kekecewaan kepada timnas Inggris.
“Three Lions adalah lagu tentang kehilangan, tentang fakta bahwa Inggris selalu kalah. Kami sebagai penggemar telah menginvestasikan banyak uang dalam gagasan Inggris, dan kemudian, Inggris mengecewakanmu,” kata Baddiel dikutip dari Evening Standard.
Lagu tersebut harusnya jadi nyanyian harapan. Sayangnya, “It’s Coming Home” sering kali dilebih-lebihkan. Jargon tersebut selalu digaungkan begitu Inggris tampil bagus meski hanya dalam 1 laga.
Would have been nice if England won the football. But not really that invested tbh. Wish English football fans weren’t so trashy though. It’s embarrassing. Half expecting riots to break out over night. pic.twitter.com/govnfYTBO3
— LonelyGoomba (@LonelyGoomba) July 11, 2021
Para fans dan media kemudian selalu merasa sudah menjadi juara. Bahkan mereka telah berpikir jauh-jauh soal hari libur nasional untuk merayakan juara. Kini, yang mereka dapat hanyalah malu, sebab Inggris kalah menyakitkan di final Euro 2020.
3. Tidak Menghormati Lagu Kebangsaan Negara Lain
Dosa fans Inggris lainnya adalah ulah mereka saat momen lagu kebangsaan negara lain diputar. Alih-alih tenang dan diam laiknya penonton tenis di arena Wimbledon, suporter Inggris di Wembley justru bersiul saat lagu kebangsaan negara lain diputar. Sebuah tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pelecehan dan penghinaaan terhadap negara lain.
Suporter timnas Inggris kedapatan mencemooh lagu kebangsaan negara lain khususnya saat Inggris masuk fase gugur. Jerman, Denmark, dan Italia adalah korbannya. Saat melawan Kroasia dan Ukraina, suporter Inggris juga mencemooh pemain yang melakukan gerakan ‘take a knee’ sebelum laga dimulai. Untungnya, negara-negara tadi tidak membawa masalah itu ke ranah hukum.
England have been fined £26,000 for the following 👇
🔹booing the Denmark national anthem
🔹setting off fireworks
🔹for shining a laser in the face of Kasper SchmeichelA fair punishment or too light? pic.twitter.com/XUggzSHab1
— International Champions Cup (@IntChampionsCup) July 10, 2021
Akan tetapi, Asosiasi Sepak Bola Inggris sendiri telah didenda UEFA sebesar 30 ribu euro atau setara 518 juta untuk 3 insiden selama kemenangan The Three Lions atas Denamrk. 3 insiden itu adalah kebisingan yang dibuat fans Inggris selama lagu kebangsaan Denmark diputar, penyalaan kembang api di dalam stadion, dan ulah konyol fans Inggris yang menyorot wajah Kasper Scmeichel dengan sinar laser.
4. Ricuh Selama Euro 2020
Insiden di semifinal Euro 2020 antara Inggris dan Denmark tidak hanya terjadi selama pertandingan berlangsung. Namun, insiden yang jauh lebih parah justru terjadi pasca pertandingan.
England fans clash with riot police and throw PUNCHES at one another after football match win. #englandvdenmark #ENGDEN #ENG #England #EURO2020 pic.twitter.com/y8p5NGrKLb
— Urban Pictures (@Urban_Pictures) July 8, 2021
Usai laga tersebut, suporter timnas Inggris terlibat kericuhan dengan sesama suporter Inggris. Mereka tak hanya saling melukai satu sama lain, tetapi juga terlibat baku hantam dengan polisi anti huru hara. Mengejutkan bukan? Suporter Inggris justru bentrok dengan sesama suporter Inggris lainnya.
Usut punya usut, ternyata hal itu telah menjadi budaya buruk dari sebagian suporter timnas Inggris. Mereka punya kebiasaan datang menonton timnas Inggris dalam kondisi mabuk. Di laga final kemarin, polisi juga mendapati suporter Inggris yang menghisap kokain sebelum masuk stadion.
Parahnya, ada sejumlah kelompok besar suporter Inggris tanpa tiket yang masuk Stadion Wembley di laga final Euro 2020. Dalam video yang sudah menyebar luas, mereka mendobrak gerbang, melompati pagar pembatas, dan berkelahi dengan petugas. Imbas dari insiden itu, ayah dan agen Harry Maguire jadi salah satu korban kerusuhan penonton ilegal yang masuk Stadion Wembley.
“Ayah saya terinjak-injak. Saya belum terlalu banyak berbicara dengannya, tetapi saya senang anak-anak saya tidak pergi ke lapangan,” ucap Maguire dikutip dari Kompas.
Violent scenes in Trafalgar Square, London, as England fans break through police barricades during Eng vs Italy match. One woman was treated for a head injury as dozens tried to reach the ‘fan zone’ to watch the game. #Euro2020Final #ENGITA #EnglandvsItaly #ENG #England pic.twitter.com/z5qdWua1Ky
— Urban Pictures (@Urban_Pictures) July 11, 2021
Penonton ilegal itu juga merebut jatah kursi penonton lain, termasuk kursi tribun VIP. Salah satu yang menjadi korban adalah Andrea Mancini, anak dari Roberto Mancini.
“Ada kekacauan dengan fans tanpa tiket dan kursi saya telah diambil, jadi saya harus menonton babak pertama duduk di tangga stadion. Saya menemukan tempat lain di babak kedua. Mungkin itu membawa keberuntungan,” kata Andrea Mancini dikutip dari SportBible.
Tindak kriminalitas juga terjadi saat laga final berlangsung. Tim Formula 1, McLaren melaporkan bahwa pembalap mereka, Lando Norris menjadi korban dalam insiden kerusuhan final Euro 2020. Jam tangan pembalap asal Inggris itu dicuri usai dicegat sekelompok suporter saat akan meninggalkan stadion. Meski tidak mengalami luka, tetapi Norris dilaporkan syok dengan insiden itu.
After last nights game F1 driver Lando Norris was ambushed by a group as he got into his £165,000 McLaren GT supercar. He was then grabbed by one while another tore off his £40,000 prototype Richard Mille watch.
He was understandably shaken up but the McLaren driver is ok 🙏🏽 pic.twitter.com/RYJ7pUTnoE
— Back Again W/Troopz Podcast (@backagain) July 12, 2021
Tak hanya itu, sebagian suporter Inggris juga dilaporkan mengancam ‘steward’ Stadion Wembley dengan pisau. Mereka juga melakukan pelecehan seksual terhadap seorang wanita dan membuat anak-anak yang hadir pulang dalam kondisi trauma.
Sebuah laporan mengejutkan juga dikeluarkan National Centre For Domestic Violence (NCDV). Mereka melaporkan bahwa sejak Euro 2020 dimulai, jumlah orang yang melaporkan kasus pelecehan dalam rumah tangga naik hingga 5%. Dari jumlah tersebut, 90 persennya adalah perempuan.
Not everyone is looking forward to the match tonight…
Instances of domestic abuse increase 26% when England play and 38% if they lose. #DomesticAbuse #DomesticViolence #EURO2020 pic.twitter.com/UbBpuHmzK2— NCDV – National Centre For Domestic Violence (@NCDV_Official) July 7, 2021
Riset yang dilakukan Lancaster University pada 2013 saja menyebut bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga naik 26% ketika Inggris menang atau seri, dan naik 38% ketika mereka kalah. Hasil riset itu menjadi bukti bahwa sebagian suporter Inggris tidak peduli soal menang atau kalah. Pertandingan timnas Inggris seolah jadi pelampiasan emosi mereka. Bisa dibilang, saat timnas Inggris bertanding, ada sebagian keluarga yang justru dirundung kekhawatiran dan merasa terancam.
Kini, parlemen Inggris tengah meminta penjelasan FA terkait kerusuhan di final Euro 2020. Tak hanya parlemen, UEFA juga telah bergerak untuk menginvestigasi lebih lanjut soal insiden tersebut. Alhasil, FA kembali terancam denda dan bisa mendapat hukuman yang lebih berat. Namun yang pasti, insiden memalukan itu telah berdampak buruk pada pencalonan Inggris Raya dan Republik Irlandia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2030.
UEFA has charged the English FA over a pitch invasion, objects thrown, Italy’s anthem being jeered & fireworks.
UEFA has also appointed an ethics & disciplinary inspector to conduct a wider investigation into the actions of fans inside & outside Wembley at the #euro2020 final pic.twitter.com/EoYWaeqZi5
— Rob Harris (@RobHarris) July 13, 2021
5. Rasisme
Terakhir, kekalahan Inggris di final Euro 2020 tidak hanya menimbulkan kericuhan dan kriminalitas, tetapi juga tindakan rasisme. Seperti yang kita tahu, Inggris kalah dalam babak adu penalti. 3 dari 5 penendang mereka gagal melaksanakan tugasnya.
Keep your heads up, lads.
You’re the future of England.
Protect them. We will need them.
True England fans won’t abuse them. #ThreeLions #ENG pic.twitter.com/aevKAXwhGH
— talkSPORT (@talkSPORT) July 11, 2021
Kebetulan, ketiganya adalah pemain kulit hitam. Mereka adalah Jadon Sancho, Marcus Rahsford, dan Bukayo Saka. Seusai final, ketiganya langsung jadi korban pelecehan rasial. Kolom komentar media sosial mereka langsung dibanjiri ujaran kebencian dan perundungan rasial. Keluarga mereka juga jadi sasaran sumpah serapah fans yang menganggap ketiganya sebagai biang kerok kekalahan Inggris.
Inilah buruknya iklim suporter di sepak bola Inggris. Usai kalah, mereka fokus mencari biang kerok kegagalan. Minim evaluasi dan siapa saja yang dianggap bersalah akan mereka serang dengan ujaran rasis.
Sancho, Rashford, dan Saka adalah korban terbarunya. Miris. Padahal, ketiganya adalah pemain muda inspiratif dalam skuad The Three Lions. Rashford yang berusia 23 tahun, menyumbang 200 juta poundsterling dan menggalang dana hingga 20 juta poundsterling untuk menyediakan makanan di tiap pekannya bagi anak-anak yang rentan kelaparan di Inggris tahun lalu.
Marcus Rashford’s mural since Monday ⏩ pic.twitter.com/Mm6dFXB8Xj
— B/R Football (@brfootball) July 13, 2021
Jadon Sancho yang berusia 21 tahun, membuka lapangan sepak bola baru bagi mereka yang berada di pinggiran kota London. Sementara Bukayo Saka yang masih berusia 19 tahun adalah wajah sepak bola masa kini dan telah membantu berbagai komunitas lokal.
Hanya ada satu quote yang pantas untuk menanggapi kelakuan fans yang rasis terhadap 3 pemain muda Inggris tersebut, dan kami meminjam quote tersebut dari pernyataan tegas kapten The Three Lions, Harry Kane.
“Jika kamu melecehkan siapa pun di media sosial, kamu bukan penggemar Inggris dan kami tidak menginginkanmu.”
Three lads who were brilliant all summer had the courage to step up & take a pen when the stakes were high. They deserve support & backing not the vile racist abuse they’ve had since last night. If you abuse anyone on social media you’re not an @England fan and we don’t want you. pic.twitter.com/PgskPAXgxV
— Harry Kane (@HKane) July 12, 2021
Tak kalah tegasnya, perdana menteri Inggris, Boris Johnson juga mengutuk pelecehan rasis yang dihadapi timnas Inggris, khususnya yang diarahkan kepada Rashford, Sancho, dan Saka.
“Kepada mereka yang telah mengarahkan pelecehan rasis pada beberapa pemain, saya katakan ‘Shame on you’. Saya harap Anda akan merangkak kembali ke bawah batu tempat di mana Anda muncul,” kata Boris Johnson dikutip dari LBC.com.
KARMA says… @BorisJohnson turns up at #Euro2020Final and @England LOSE ….. @MarcusRashford @OfficialTM_3 @England pic.twitter.com/eXHArLmmgG
— Dr J #FBPE 🌊💙💯🏴🇯🇴🇺🇸🇮🇪🇪🇺 (@DrJoeMcCarthy) July 15, 2021
Itulah rangkaian dosa Inggris selama Euro 2020. Dosa-dosa inilah yang menjadi alasan Inggris belum pantas menjadi juara. Ada banyak hal yang harus mereka perbaiki, khususnya sikap dan kelakuan media dan fans mereka yang kerap merugikan The Three Lions.
***
Sumber Referensi: Goal, SportBible, CityAM, Inews, BBC, WalesOnline, LBC