Prahara di Balik Pemecatan Brendan Rodgers dari Leicester City

spot_img

Resmi! Leicester City dikabarkan telah memecat manajer mereka, Brendan Rodgers setelah kekalahan 2-1 dari Crystal Palace pekan lalu. Kekalahan tersebut jadi kekalahan kelima Leicester dalam enam pertandingan terakhir di Liga Inggris. Kekalahan tersebut sekaligus menjerat sang serigala ke lembah degradasi. 

Namun, apa alasan di balik Leicester memecat pelatih yang sudah banyak berjasa dalam empat tahun terakhir? Menurut BBC, performa buruk jadi alasan utama klub dalam mengambil keputusan mendadak ini. Namun, ada yang janggal di balik pemecatan ini. Pasalnya, performa buruk The Foxes bukan murni kesalahan Rodgers. Tapi ada pengaruh dari internal klub. Benarkah demikian?

Brendan Rodgers Jadi Kambing Hitam

Pemimpin Leicester City, Aiyawatt Srivaddhanaprabha menyampaikan kalau performa Leicester musim ini sangat buruk. Ia menyebutnya, “Penampilan Leicester di bawah ekspektasi kita bersama”. Namun, performa buruk tentunya tidak hadir begitu saja.

Manajemen mengambil keputusan ketika kondisi tim dianggap sudah tak tertolong lagi. Mereka menuntut adanya kemajuan, tapi perbaikan itu tak kunjung datang. Hingga kini Leicester pun berada di urutan ke-18 klasemen sementara Liga Inggris. 

Berbagai pihak mengkambinghitamkan Brendan Rodgers. Itu wajar, karena Rodgers yang bertanggung jawab dengan strategi dan bagaimana The Foxes bermain di setiap pertandingan. 

Rodgers jadi pelatih ke-11 yang dipecat oleh tim Inggris musim ini. Dari sembilan tim terbawah Liga Inggris, hanya Nottingham Forest dan West Ham United saja yang belum memecat pelatih mereka. Padahal performanya sama saja. Bahkan bisa dibilang sebelas dua belas dengan Rodgers.

Namun, manajemen Leicester terlalu munafik apabila hanya menyerahkan semua permasalahan di pundak Rodgers. Pada dasarnya, buruknya penampilan Leicester musim ini bukan karena sang manajer seorang. Melainkan ada campur tangan ketidakbecusan manajemen dalam mengelola sebuah tim. Terutama setelah meninggalnya sang pemilik terdahulu, Vichai Srivaddhanaprabha.

Internal Leicester Memang Sudah Bobrok

Tentu tak etis apabila menyalahkan kematian seseorang sebagai penyebab bobroknya internal Leicester. Namun, kematian Vichai memang jadi penanda. Pasalnya, pada saat Vichai memegang tongkat kepemimpinan klub, Leicester dianggap sebagai tim Liga Inggris yang dikelola dengan baik saat itu. Bahkan jadi yang paling berprestasi apabila dibandingkan dengan tim-tim dengan kualitas yang hampir sama.

Setelah kematian sang bos utama, hitung mundur kehancuran Leicester pun seakan telah dimulai. Awal penyerahan kepemilikan ke sang anak berjalan lancar. Leicester masih berprestasi dengan meraih gelar FA Cup pada musim 2020/21 dan Community Shield dengan mengalahkan Manchester City tahun 2021. Tapi, semakin ke sini kok malah makin ke sana.

Di awal musim 2022/23, komentar pesimis bahkan sudah terucap dari bibir Brendan Rodgers. Menurutnya, kondisi Leicester tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Situasi klub terasa sunyi dan minim koordinasi. Dan firasat itu pun benar adanya. 

Dilansir Foxes Of Leicester, manajemen menunjukan gerak-gerik yang tidak beres. Kurangnya komunikasi dan transparansi dengan para penggemar jadi salah satu tandanya. Tim hanya menyuruh Rodgers menjawab semua pertanyaan ketika media datang. Mereka seakan lempar batu sembunyi tangan dengan keadaan tim musim ini.

Krisis Finansial

Usut punya usut ternyata memang ada yang disembunyikan oleh manajemen. Dapuran Leicester ternyata sangat buruk dalam mengelola keuangan. Tahun 2022 kemarin The Foxes dinyatakan telah menderita kerugian berada di angka 120 juta pounds atau sekitar Rp2 triliun selama tiga tahun terakhir. Bahkan, tagihan gaji Leicester membengkak jadi 192 juta pounds (Rp3,5 triliun) musim ini.

Dengan besarnya kerugian tersebut, Leicester nyaris terkena sanksi dari UEFA. Untungnya tidak jadi karena kerugian itu dinilai sebagai dampak dari Covid-19 yang menyerang pada awal tahun 2020. Meski pada akhirnya tak mendapat sanksi, situasi ini sudah cukup untuk membuat manajemen panik.

Kepanikan itu akhirnya menjalar ke sistem pengeluaran klub. Tanpa berpikir panjang, klub langsung memangkas dana transfer Brendan Rodgers di musim ini. Mungkin soal keuangan klub bukan jadi urusan Rodgers, tapi jika sudah menyangkut dana transfer, itu sudah pasti akan mengganggu kinerja sang pelatih.

Dilansir The Athletic, Rodgers mengeluhkan sistem yang diberikan klub. Mereka menuntut perubahan dan pembangunan kembali skuad tapi tak memberikan dana transfer yang cukup. Dan itulah yang membuatnya frustrasi. 

Skuad Leicester Digembosi

Setelah mendapat dana transfer yang terbatas, lagi-lagi klub menggembosi skuad Brendan Rodgers. Alih-alih mendatangkan pemain baru guna membangun kembali skuad Leicester City, manajemen klub yang takut terkena sanksi justru terlalu fokus mengurangi beban gaji dan menambah pemasukan dari penjualan beberapa pemain bintang. 

Salah satu kehilangan terbesar Leicester adalah di sektor penjaga gawang. The Foxes melepas Kasper Schmeichel ke Nice pada awal musim 2022/23.  Leicester tak hanya kehilangan seorang kiper berkelas, tapi juga kapten, panutan, dan pemain senior yang sudah membela klub selama 11 tahun. 

Selain itu, mereka juga melepas bek utama, Wesley Fofana ke Chelsea. Sebetulnya Leicester sudah meraup untung sangat besar saat melepas Fofana. Sang pemain ditebus Chelsea dengan banderol 80 juta euro atau Rp1,2 triliun. Namun, dana besar itu tidak dipakai untuk menyokong dana transfer Rodgers.

Menjual pemain bintang dan menggantinya dengan pemain muda yang lebih fresh sebenarnya sudah seperti SOP bagi Leicester. Namun, kali ini mereka sangat buruk dalam mengeksekusi strategi tersebut. Manajemen tak memberikan pengganti yang sepadan untuk Schmeichel dan Fofana. 

Leicester hanya mendatangkan Wout Faes dari Stade de Reims sebagai pengganti Fofana dan Alex Smithies dari Cardiff sebagai pengganti Schmeichel. Mereka yang datang tak memiliki kualitas yang sepadan dengan pemain yang pergi. Kiper cadangan Leicester, Danny Ward pun dianggap belum cukup untuk menggantikan peran sentral putra Peter Schmeichel tersebut di bawah mistar gawang The Foxes musim ini.

Rodgers Tetap Bertahan

Bagaimana Rodgers tidak kesal dengan sikap manajemen yang seenaknya begitu? Meski demikian, ia tetap sabar dan bertahan dengan segala keterbatasan yang ada. Dengan menurunnya performa Jamie Vardy dan Youri Tielemans, Rodgers jadi terlalu bergantung dengan satu pemain, yakni James Maddison sebagai kreator di lini tengah.

Selain itu, laga demi laga yang berakhir buruk mempengaruhi mental bermain skuad asuhan Brendan Rodgers. Dengan situasi seperti ini, sosok Rodgers sebagai manajer sangat dibutuhkan untuk memotivasi tim. Namun, karena sudah muak dengan sikap manajemen, Rodgers tak berada dalam mood terbaiknya. Alhasil intensitas komunikasi di ruang ganti pun menurun drastis.

Manajemen yang menyadari situasi kian memburuk mengambil keputusan untuk memecat Brendan Rodgers. Tapi jika dilihat dari sudut pandang lain, keputusan ini dianggap kejam. Harusnya klub lebih bisa menghargai dedikasi yang diberikan Rodgers selama ini. Mengingat sang pelatih sudah memberikan dua trofi mayor dalam empat tahun terakhir. Rodgers juga tetap sabar meski kondisi tim tengah mengalami krisis finansial dan jati diri.

https://youtu.be/-RyWVUVCIqI

Sumber: The Athletic, 90min, Fox of Leicester, Daily Mail, BBC

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru