Perjalanan Menakjubkan Xabi Alonso: Dari Pemain Hebat Jadi Pelatih Luar Biasa

spot_img

Agustus 2018, saat semua tim bersiap untuk melakoni laga pra-musim, Xabi Alonso berkunjung ke tempat latihan Manchester City. Ia ingin lebih dekat melihat bagaimana Josep Guardiola membangun timnya. Itu adalah untuk kesekian kalinya ia bertemu Guardiola, manajer yang ia kagumi dan ingin ditirunya.

Di sana Alonso juga bertemu Mikel Arteta, sahabat karibnya sejak kecil. Dari pertemuan itu, Xabi Alonso berpikir bahwa sepertinya tidak salah menyimpan ambisinya untuk menjadi pelatih. Bahwa menjadi pelatih adalah keputusan bagus bagi para pemain yang sudah gantung sepatu.

Alonso kelak memang mengikuti keduanya. Ia menjadi salah satu pelatih yang paling menarik perhatian belakangan ini. Namun, siapa menyangka, untuk menjadi seperti hari ini, Alonso mesti melewati fase yang terjal. Fase yang sebenarnya juga membentuknya sebagai gelandang bertahan terbaik di dunia. Bagaimana perjalanan Xabi Alonso dari pemain hebat jadi pelatih luar biasa?

Memulai Karier dari Klub Amatir

Jauh sekali sebelum Xabi Alonso menobatkan diri sebagai gelandang terbaik, klub kecil dari San Sebastian, Antiguoko FC adalah pelabuhan pertamanya. Dari sanalah ia meletakkan kemampuannya dalam sepak bola.

Lahir di Tolosa, sebuah kota di provinsi Gipuzkoa, Basque, Alonso belajar banyak tentang sepak bola melalui ayahnya, Periko Alonso yang merupakan mantan pesepakbola profesional. Alonso sudah bermain bola saat usianya masih sangat belia.

Waktu masih suka mengulum es lilin, Alonso sudah berteman dengan Mikel Arteta. Alonso dan Arteta yang sama-sama penduduk Calle Matia, menghabiskan masa kecil dengan bermain bersama di Pantai La Concha yang letaknya di utara Spanyol.

Sebagaimana banyak anak kecil di San Sebastian, menjadi pemain Real Sociedad adalah sebuah impian. Meskipun Arteta dan Alonso bersekolah di tempat yang berbeda, tapi Antiguoko FC menyatukan keduanya. Alonso dan Arteta bergabung ke tim muda.

Bermain untuk Real Sociedad

Selama berseragam Antiguoko, Xabi Alonso rupanya memiliki perkembangan yang lumayan pesat. Real Sociedad, tim impiannya, datang menjemput Alonso. Ia akhirnya bergabung ke tim muda memasuki tahun 2000. Alonso menyerap betul apa yang dipelajarinya bersama Antiguoko. Soal sepak bola, teknik, dan pemahaman permainan.

Maka dari itu, ia tidak butuh waktu lama untuk naik ke tim utama Real Sociedad. Walaupun hanya menjadi pemain cadangan. Alonso yang telaten dan punya kesabaran layaknya sufi, akhirnya menjalani debutnya di tim utama Sociedad, yakni saat melawan Logrones di Copa del Rey.

Tahun berapa umurnya saat itu? 18 tahun! Yah, Alonso bahkan sudah menjalani debutnya saat orang-orang lain di usianya masih suka berleha-leha. Namun begitu, ada aroma nepotisme dalam debut Alonso di Real Sociedad. Benar sekali, pada waktu itu pelatih Sociedad adalah Periko Alonso.

Tahun berapa umurnya saat itu? 18 tahun! Yah, Alonso bahkan sudah menjalani debutnya saat orang-orang lain di usianya masih suka berleha-leha. Kesempatan itu membuatnya lebih serius untuk menempa dirinya lagi. Meski sempat dipinjamkan ke tim divisi segunda, Eibar, Alonso membuat gebrakan saat Sociedad dilatih John Toshak.

Setelah ditunjuk jadi kapten di tangan Toshack, Alonso menaikkan performa Sociedad. Dari yang semula bertarung di zona degradasi hingga akhirnya finis di posisi ke-13 pada akhir musim 2001/02. 

Menjadi Runner-Up dan Dibeli Liverpool

Kendati bermain apik selama berseragam Real Sociedad, satu trofi pun tidak dimiliki Alonso. Prestasi terbaiknya membawa Sociedad finis di peringkat kedua liga di bawah Real Madrid pada musim 2002/03. Itu sekaligus merupakan pencapaian terbaik Sociedad sejak 1981/82.

Sociedad juga akhirnya bisa bermain di Liga Champions musim berikutnya. Bermain di level Eropa, nama Alonso kian ranum. Ia memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mempertontonkan kemampuannya. Ada yang tertarik syukur, tidak ada ya tidak ada masalah.

Lagi pula Alonso juga sudah dinobatkan sebagai pemain Spanyol terbaik oleh majalah olahraga Spanyol, Don Balon. Memang, selama bermain di Liga Champions, Sociedad tidak bisa berbuat banyak. Tapi keahlian Alonso itu membawanya ke Liverpool.

Musim 2004/05, Liverpool yang diasuh Rafael Benitez mengimpor besar-besaran pemain Spanyol. Alonso termasuk di dalamnya, bersama dengan Luis Garcia. Selama bersama The Reds, Alonso menghabiskan banyak waktunya dilatih Benitez. Ia ditempatkan sebagai gelandang bertahan.

Dalam format 4-2-3-1, Benitez menaruh Alonso sebagai salah satu pivot-nya. Ia kadang tandem dengan Steven Gerrard, di lain waktu Javier Mascherano yang jadi mitranya. Namun, Alonso punya tanggung jawab yang berbeda, menyesuaikan tandemnya. Jika bermain bersama Gerrard yang lebih menyerang, Alonso bermain lebih mengedepankan posisi.

Sementara  jika bersama Mascherano yang tangguh tapi tak bisa bermain ofensif, Alonso bermain lebih ke depan. Dengan kemampuan adaptif inilah, Alonso akhirnya menjadi kunci Liverpool menjuarai Liga Champions musim itu.

Bermain di Real Madrid dan Bayern Munchen

Salah satu yang bisa dipelajari dari permainan Alonso adalah bagaimana pemahamannya tentang taktik sepak bola. Ia bisa menyesuaikan perannya di lini tengah. Hal itu pulalah yang membuatnya tidak sulit ketika bermain dalam sistem Jose Mourinho di Real Madrid.

Tidak bisa dipungkiri, selama berseragam Los Galacticos, Alonso lebih banyak dilatih Mourinho. Pelatih asal Portugal itu punya konsep yang mirip dengan Benitez. Mourinho menaruh Alonso bersama Sami Khedira di posisi gelandang.

Jika Mesut Ozil ditugasi melayani para pemain sayap seperti Cristiano Ronaldo maupun Angel Di Maria, ia sendiri akan dilayani oleh Alonso. Madrid ala Mourinho mengandalkan transisi cepat. Alonso bisa melakukan itu. Ia bisa menjaga ritme bola agar tetap bergerak dan melakukan umpan-umpan tajam selama transisi cepat.

Tidak hanya kreator, Alonso juga bisa menjadi penahan lalu lintas serangan lawan. Karena permainan apiknya itulah ia persembahkan banyak gelar untuk El Real. Real Madrid membuatnya nyaman sampai usianya menyentuh 30 tahun. Tapi pada tahun 2014, godaan dari Bayern Munchen datang.

Sosok yang menggoda Alonso adalah Josep Guardiola, seseorang yang dia kagumi. Tak pikir panjang, Alonso mengiyakan tawaran Guardiola. Hampir semua pemain ingin dilatih Guardiola, dan Alonso jelas adalah salah satunya. Ia bertahan cukup lama di Bayern Munchen. Meski tidak meraih Liga Champions, tapi tiga gelar Bundesliga cukup buktikan kualitasnya bersama Die Roten.

Menjadi Pelatih

Tahun 2017, Alonso meninggalkan sepak bola. Ia gantung sepatu. Tapi hatinya tetap berada pada sepak bola. Maka dari itu, Alonso punya tekad kuat untuk menjadi seorang pelatih. Di Spanyol, Alonso punya reputasi yang sangat baik. Selama bermain, ia menyumbangkan dua gelar EURO dan satu trofi Piala Dunia untuk La Furia Roja.

Akan sangat mudah baginya untuk menjadi pelatih berkat reputasi tersebut. Tapi, Alonso bukan orang yang mau enaknya saja. Jika menjadi pemain ia dibantu oleh sang ayah, masa untuk menjadi pelatih, ia masih harus memanfaatkan reputasi, meskipun itu reputasinya sendiri?

Alonso memilih berjuang dari lingkup terkecil. Ia mengambil kursus kepelatihan. Dengan ilmu yang didapat dari pelatih-pelatih hebat: Guardiola, Mourinho, Rafael Benitez, Jupp Heynckes, Luis Aragones, sampai Vicente del Bosque, tidak sulit bagi Alonso untuk memperoleh lisensi kepelatihan.

Guardiola pernah bilang mantan anak asuhnya itu suatu saat akan menjadi pelatih hebat karena rasa penasarannya pada taktik. Jose Mourinho juga memprediksi hal serupa. Perkataan dua pelatih beken itu laksana doa. Alonso pada akhirnya benar-benar mengambil peran sebagai pelatih.

Dari Real Madrid Junior ke Bayer Leverkusen

Tahun 2018, atau setahun setelah pensiun jadi pemain, Alonso datang ke mantan klubnya, Real Madrid. Ia mengambil peran pelatih tim U-14. Itulah tim pertama yang dilatih Alonso. Ia memulai kariernya dengan catatan yang luar biasa. Real Madrid U-14 dibuatnya tidak terkalahkan sepanjang musim itu di liga.

Total, dari 23 laga, 22 di antaranya diraih dengan kemenangan dan satu sisanya berujung imbang. Setelah mengantarkan Real Madrid U-14 juara liga junior, Alonso melanjutkan kariernya di Real Sociedad B. Lagi-lagi mantan timnya sendiri. Walaupun sudah menjadi pelatih profesional, Alonso tidak berhenti mempelajari soal taktik.

Ia bahkan masih sering menelepon para mantan manajernya. Alonso memang ambisius soal taktik, tapi ia mengerem ambisinya untuk melatih tim besar. Maka alih-alih menerima tawaran tim besar, tim gurem Bayer Leverkusen justru yang berhasil mendapatkan jasanya.

Keberhasilannya sebagai pelatih mulai menemui jalannya. Musim lalu, walaupun tidak ada trofi yang diraih, tapi Alonso berhasil membawa Leverkusen ke semifinal Liga Eropa. Itu sekaligus merupakan pencapaian tertinggi Die Werkself di kompetisi Eropa sejak musim 2001/02, saat mereka mencapai final Liga Champions.

Nama Alonso sebagai pelatih makin ranum. Ia sudah mendapatkan kehormatannya sebagai gelandang bertahan, tapi untuk menjadi pelatih masyhur masih butuh waktu. Alonso sadar akan hal itu. Meskipun ia bisa lebih cepat untuk melakukannya.

Namun memang Alonso tidak punya nafsu besar untuk melatih tim besar. Baginya melatih tim perlu dimulai dari yang paling tidak berpotensi juara. Berjalan setapak demi setapak tidak masalah, terpenting tetap berproses.

Hal itulah yang menjadi pijakan Alonso. Maka, ketika Real Madrid datang untuk merekrutnya lebih cepat, Alonso menolak dengan halus. Bahwa ia masih harus menghormati kontraknya dengan Bayer Leverkusen. Tidak peduli betapa kecilnya tim itu jika dibandingkan dengan Real Madrid.

Sumber: LaLigaLowDown, Marca, BBC, TheAthletic, Sportskeeda, TheFlanker

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru