Kita semua pasti setuju, setelah dekade 2010-an siapa yang bisa bertahan di Liga Champions hampir bisa selalu ditebak. Mereka adalah tim-tim besar yang diperkuat pemain-pemain mahal. Jadi tim-tim kecil seolah hanya jadi tim pelengkap saja. Jangankan juara, tembus 16 besar saja sudah untung.
Pada musim 2018/19, Ajax termasuk dalam tim kecil itu. Di Belanda Ajax memang jadi raksasa, tapi di Eropa lain cerita. Mereka bukanlah tim yang berisikan pemain mahal. Ajax juga tidak dilatih oleh manajer veteran Eropa. Mereka bahkan tidak bisa lolos fase kualifikasi di musim sebelumnya. Dengan fakta itu, bisa disimpulkan Ajax bukanlah tim unggulan Champions. Sampai Ten Hag mengambil alih kursi pelatih.
Ten Hag datang ke Ajax di pertengahan musim 2017/18, tepatnya pada bulan Desember 2017. Ia mewarisi skuad dari manajer sebelumnya, Marcel Kaizer. Ten Hag saat itu memang jadi nama manajer yang paling menjanjikan di Belanda. Tapi jalannya masih panjang untuk membuktikan ia pelatih yang hebat.
Meskipun dibawah Ten Hag Ajax hanya mengalami dua kekalahan di sisa musim, itu tidak menghentikan PSV dari gelar juara Eredivisie musim 2017/18. Tapi setidaknya mereka finis di peringkat kedua. Setelah mengalahkan dua lawannya di babak kualifikasi dan mengalahkan Dynamo Kiev di ronde play off, Ajax berhak mengikuti putaran final Champions League.
Daftar Isi
Perjuangan di Fase Grup
Undian grup Liga Champions menempatkan Ajax ke Grup E bersama dengan Bayern Munchen, Benfica, dan AEK Athens. Ekspektasinya tentu saja, Bayern Munchen akan melumat habis semua tim sedangkan Ajax dan Benfica akan saling sikut untuk duduk di peringkat kedua.
Ajax bisa menang mudah di pertandingan pembuka. Menjamu AEK Athens, de joden menang telak dengan skor 3-0. Dua gol dari Tagliafico dan satu gol dari Van de Beek jadi pengantar kemenangan mereka. Tapi ujian sebenarnya datang di laga setelahnya.
Pertandingan setelahnya adalah melawan Bayern Munchen. Tentu saja die roten jauh diunggulkan. Mereka punya tim berisikan pemain yang menjuarai Piala Dunia. Mereka adalah raksasa Jerman yang jadi favorit juara musim itu.
Tapi permainan menekan dari Ajax mampu menahan imbang pasukan die bayern. Hummels jadi pencetak gol pembuka di menit ke-4. Sedangkan Ajax bisa membalas di menit ke-22 lewat gol dari Mazraoui. Anak asuh Ten Hag bisa menahan Munchen tidak mencetak gol tambahan sampai pertandingan berakhir.
Hasil ini membuat tim Ajax asuhan Ten Hag mulai diperhitungkan. Jarang ada tim yang bertandang ke Allianz dan pulang dengan membawa poin. Di laga selanjutnya, mereka pun mengalahkan Benfica dengan skor tipis 1-0. Setelah itu, Ajax tidak terkalahkan di sisa pertandingan fase grup.
Imbang ketika bertandang ke markas Benfica, Kembali mengalahkan AEK Athens, dan mampu menahan imbang Bayern Munchen 3-3 di kandang. Hasil itu membuat Ajax lolos ke babak 16. Ini adalah pertama kalinya Ajax bisa lolos fase grup sejak tahun 2006.
Comeback Istimewa Bernabeu
Meskipun begitu, mereka harus puas duduk di peringkat kedua setelah kalah selisih gol dengan Bayern. Konsekuensinya adalah Ajax harus menghadapi pemuncak Grup G, Real Madrid. Banyak perdebatan muncul menjelang laga ini.
Orang-orang berpendapat kalau Madrid sendang mengalami musim yang buruk. Ditambah mereka baru mengalami perubahan pelatih. Jadi Ajax punya kesempatan bagus untuk menang.
Tapi Real Madrid tetaplah Real Madrid. Los Blancos menjuarai kompetisi ini tiga musim sebelumnya secara beruntun. Itu tetap jadi momok menakutkan untuk pasukan Erik Ten Hag. Terbukti di leg pertama, Benzema dan kolega mampu menghabisi Ajax dengan skor 2-1.
Benzema mencetak gol pertama di menit ke-60. Membuat publik Johan Cruijff Arena terdiam. Meskipun Ziyech sempat menyamakan kedudukan di menit ke-75, Marco Asensio memastikan kemenangan los merengues di menit ke-87.
Mereka kalah di kandang, dan itu menyakitkan. Tapi bagi Madrid, ini adalah pertandingan babak 16 besar biasa. Sedangkan bagi Ajax, ini adalah pertandingan bersejarah mereka. Itu jadi motivasi tambahan anak asuh Ten Hag.
Di Bernabeu, Ajax menyajikan salah satu comeback terhebat dalam sejarah Champions League. Baru tujuh menit laga berjalan, Ziyech langsung mencetak gol pembuka. Skor pun digandakan pada menit ke-18 lewat gol dari David Neres.
Di menit ke-62 giliran Tadic yang mencetak gol. Madrid sempat membalas lewat usaha dari Asensio. Tapi Ajax menutup laga lewat gol cantik di menit ke-72. Itu membuat Agregat menjadi 5-3 sekaligus melangkahkan kaki Ajax ke babak selanjutnya.
Taklukan Si Nyonya Tua
Juventus menanti di babak perempat final. Si nyonya tua dari Turin melawan para pemuda dari Amsterdam jadi tajuk laga tersebut. Setelah mengalahkan Real Madrid, Ajax punya misi untuk memupuskan harapan Cristiano Ronaldo, orang yang dulu jadi ikon Bernabeu sebelum membelot ke bianconeri.
Ten Hag memang punya keunggulan mengingat leg pertama dimainkan di Amsterdam. Artinya tim Juventus tidak akan tenang tidurnya. Sebab para pendukung Ajax menyalakan kembang api tepat di depan hotel para pemain Juve menginap.
Itu memang faktor kecil. Ajax tetap mengandalkan taktik untuk mengalahkan Juve. Melawan tim dengan pertahanan terbaik di dunia, Ten Hag menolak untuk merubah permainan mereka. Hasilnya, Ajax mendominasi Juve secara keseluruhan. Tapi pertahanan la vecchia signora terlalu kokoh. Juve beruntung mereka bisa mengakhiri laga dengan skor 1-1 berkat gol Ronaldo dan David Neres.
Ronaldo kembali bawa Juventus unggul lebih dulu di leg kedua. Tapi darah comeback sudah mengaliri anak asuh Ten Hag. Tak butuh waktu lama bagi Van de Beek untuk menyamakan kedudukan. Kemudian di babak kedua, De Ligt jadi penyelamat mereka. Dengan skor 2-1, de Amsterdammers pun melenggang ke semifinal.
Kini hanya tersisa Tottenham yang menghalangi Ajax ke partai final. Duel dua tim underdog pun tersaji di semifinal Liga Champions. Tottenham sudah menunjukan tajinya dengan mengalahkan Dortmund dan Manchester City di parta sebelumnya.
Kekalahan Tak Terduga
Tapi para penikmat bola sudah mulai percaya pada Ajax. Menjinakkan Bayern Munchen, mempermalukan Real Madrid dan menaklukan Juventus. Itu mereka lakukan hanya dalam satu musim dengan pemain seadanya. Tim-tim lain hanya bisa bermimpi punya perjalanan seperti itu.
Rasa optimis semakin menguat setelah Ajax bisa meraih kemenangan 1-0 di kandang Spurs. Mereka beruntung karena Harry Kane tidak bermain karena cedera dan Son Heung-min tidak bisa bermain karena sedang di skors. Kemenangan ini jadi modal penting di leg kedua.
Sayangnya Ten Hag mendapatkan kabar buruk sebelum leg kedua dimulai. David Neres saat itu divonis cedera dan tidak dapat mengikuti laga lawan Tottenham. Setidaknya mereka masih dibekali rasa percaya diri yang lebih setelah menjuarai Piala Liga beberapa hari sebelumnya.
Johan Cruijff Arena bergemuruh ketika Matthijs de Ligt mencetak gol pembuka hanya lima menit setelah kick off. 30 menit kemudian, Hakim Ziyech membuat agregat menjadi 3-0 hanya di babak pertama. Tottenham jelas butuh pahlawan untuk bisa lolos ke final.
Pahlawan itu ternyata adalah Lucas Moura. Ia mencetak tiga gol untuk menyamakan agregat Tottenham. Gol pertama datang di menit ke-55, kemudian ia gandakan empat menit kemudian. Ajax masih bisa lolos kalau saja Moura tidak mencetak gol di masa injury time. Tottenham pun menang dengan unggul gol tandang.
Ironis memang, perjalanan menakjubkan Ajax harus selesai di tangan tim underdog lainnya. Ditambah, Tottenham mengalahkan Ajax dengan cara comeback. Meskipun pada akhirnya mereka kalah di final lawan Liverpool. Tapi itu jadi prestasi tertinggi Tottenham di tingkat Eropa.
Untuk Ajax sendiri, perjalanan mereka juga tidak kalah menakjubkannya. Kita bisa merefleksikan kesuksesan Ajax ini dengan perjuangan Ten Hag sebagai manajer. Ia sempat mendapatkan kritikan di musim panas 2018 ketika dirinya membeli Daley Blind dan Dusan Tadic. Kedua pemain itu dianggap terlalu mahal.
Ten Hag Hidupkan Total Football
Tapi Tan Hag bisa membuktikan anggapan itu salah. Di laga leg kedua melawan Real Madrid, Tadic dapat pujian habis-habisan. Ia bahkan dapat rating 10/10 dari L’Equipe, media yang terkenal keras menilai pemain.
Selain itu, di tangan Ten Hag, aroma total football yang dulu harum dibawah Johan Cruijff kembali semerbak di Ajax. Ten Hag memainkan sepak bola yang bertumpu pada penguasaan bola, kecepatan, dan dominasi sistematis di lapangan.
Kunci dari permainan Ajax pada saat itu adalah bagaimana mereka selalu menciptakan formasi berlian di mana saja bola berada. Dengan empat pemain yang selalu berdekatan, mereka selalu punya opsi untuk mengoper bola.
Ten Hag menekankan kebebasan para gelandang seperti David Neres, Donny van de Beek, dan Hakim Ziyech untuk berkeliaran di lapangan mencari ruang. Sementara di belakang mereka ada Frenkie de Jong yang siap memberikan umpan. De Jong juga bisa bermain di mana saja. Tipe pemain penjelajah ini bisa bermain di belakang bersama bek, ataupun bersama striker di depan jika diperlukan.
Sayang sistem dari Ten Hag yang nampaknya sempurna itu, dibantu dengan bakat-bakat muda tidak mampu membawa mereka mengulangi kenangan 1995. Tapi di akhir musim 2018/19, Ajax menjuarai Eredivisie dan KNVB Cup, jadi hasil yang didapatkan dari generasi emas itu bisa dibilang tidak buruk sama sekali.
Meskipun tidak juara, perjalanan Ajax di liga Champions sungguh luar biasa. Ten Hag bisa membanggakan bagaimana timnya mengobrak-abrik liga Champions. Bayern Munchen, Real Madrid, dan Juventus jadi saksi bahwa mereka telah merusak tatanan Champions League yang ramah dengan para raksasa.
Sumber referensi: TheseFootballTimes, 90min, UEFA, Sky, Daily