Pep Guardiola Rela Jadi Musuh Masyarakat Demi Barcelona

spot_img

“Setiap tahun selalu ada hal baru dari sistem permainannya”, “Dia adalah pelatih paling berpengaruh dalam karier saya”, “Secara taktis, dia adalah pelatih terbaik di dunia bagi saya.”

Itu sebagian kecil dari banyaknya pujian yang dilontarkan para pesepakbola kepada sosok pelatih yang dikenal jenius, kharismatik, dan sedikit gila, Pep Guardiola.

Pelatih yang kini menangani Manchester City itu telah membangun reputasi sebagai salah satu pelatih terbaik di dunia. Beberapa rekan sejawatnya bahkan menyebut Pep sebagai orang yang mencintai sepakbola. Tak ada hari libur untuk membahas sepakbola apabila bekerja dengannya. Ia adalah seorang maniak!

Namun, segala pujian dan pencapaian yang diraihnya kini tak didapat hanya dalam semalam. Josep Guardiola Sala sudah melewati berbagai rintangan, resiko, hingga direndahkan oleh fans. Terutama saat dirinya pertama kali dipercaya untuk melatih tim secara profesional di Barcelona. Lantas, bagaimana kisah perjuangan Pep melalui itu semua di Barca?

Chapter Terakhir Sebelum Pensiun

Di penghujung karir sepakbolanya, Pep Guardiola sempat nganggur dan berada di fase dilema antara melanjutkan karir atau pensiun. Namun, pada awal tahun 2006 Pep yang memiliki ketertarikan besar terhadap dunia sepakbola akhirnya memutuskan untuk terbang ke Meksiko. Bukan untuk bersenang-senang, melainkan guna memperdalam ilmu sepakbolanya.

Yang disambanginya pun bukanlah sebuah sekolah kepelatihan atau suatu lembaga untuk mendapatkan lisensi, melainkan sebuah klub lokal bernama Dorados Sinaloa. Kedatangannya ke Dorados pun bukan sekadar study banding. Pep rela kembali merumput setelah sempat berhenti bermain bola selama kurang lebih enam bulan.

Karena dengan begitu, Pep bisa merasakan bagaimana rasanya dilatih oleh salah satu sosok yang ia kagumi sejak masih berkarir di Spanyol. Orang itu adalah Juanma Lillo. Namanya cukup asing memang. Bahkan mungkin tak setenar Graham Potter yang gagal total di Chelsea. Meski demikian, Pep tak sungkan menyebut Lillo sebagai guru.

Dari Lillo, Pep ingin membedah skema 4-2-3-1 yang kerap menjadi andalannya. Maka dari itu, jika pemain lain membawa botol minum, Pep justru lebih sering membawa buku catatan kecil beserta pensil yang sudah hampir habis teraut agar mudah menyimpannya untuk mencatat instruksi dari Lillo. Itu semua dilakukan demi mendapat ilmu sebanyak-banyaknya sebelum terjun ke dunia kepelatihan.

Pep dan Barcelona B

Setelah merampungkan masa singkatnya di Meksiko, Pep merasa kalau bekal yang didapat sudah cukup. Dirinya pun memantapkan diri untuk pensiun dan membangun karir sebagai seorang pelatih. Disaat bingung harus memulai dari mana, Pep Guardiola memanfaatkan koneksinya di Barcelona untuk menjadi jembatan menuju dunia kepelatihan.

Alhasil, usai penantian selama enam bulan, petinggi Barcelona kembali menelpon Pep untuk menawarkan jabatan pelatih di tim Barcelona B. Awalnya ia terkejut. Guardiola tak menyangka bahwa Barcelona langsung memberikan kepercayaan untuk menjadi pelatih kepala, bukan asisten pelatih terlebih dahulu. 

Tapi, masa bodoh, ini tetap jadi sebuah privilege yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Pada Juli 2007, Pep resmi menyandang status sebagai pelatih Barcelona B. Kala itu, tim muda Barcelona masih dalam kondisi yang tak stabil. Di awal kedatangan Pep, Barcelona B hanya berlaga di kasta keempat La Liga lantaran baru mengalami degradasi.

Runtuhnya Era Frank Rijkaard

Barcelona B telah membaik di bawah asuhan Pep Guardiola. Ia memenangkan tujuh dari sepuluh laga awalnya. Tak cuma itu, beberapa poin dari cara Pep melatih, membangun kedekatan, dan kemampuannya dalam menerapkan filosofi sepak bolanya sendiri juga telah jadi perhatian oleh manajemen El Barca. 

Manajemen menilai bahwa Pep memiliki potensi karir yang hebat di masa yang akan datang. Setahun kemudian, ketika Barcelona B mulai membaik, ketidakstabilan justru merambah ke skuad utama Barcelona. Tim yang kala itu masih di nakhodai oleh legenda sepakbola Belanda, Frank Rijkaard mengalami hari-hari yang sulit. 

Meski pada akhirnya finis di urutan empat besar. Dari sepuluh pertandingan terakhirnya di La Liga musim 2007/08, Rijkaard hanya mampu memberikan tiga kemenangan. Padahal dua musim sebelumnya Barca mampu mengawinkan gelar La Liga dengan Liga Champions. Praktis penurunan performa itu jadi bahan koreksi oleh manajemen di akhir musim.

Rentetan hasil buruk pun akhirnya membuat Rijkaard tak berkutik. Ia mengakui penurunan performa Barcelona kala itu adalah tanggung jawabnya. Barca dan Rijkaard pun akhirnya sepakat untuk berpisah di musim panas tahun 2008. Di tengah kekosongan jabatan pelatih, muncul ide gila dari manajemen Barcelona.

Joan Laporta yang kala itu sedang menjalani periode pertamanya menjadi presiden klub kembali menginginkan pelatih dari luar Spanyol untuk menangani klub. Opsi yang paling potensial kala itu adalah Jose Mourinho yang menuai sukses bersama Chelsea di Liga Inggris. 

Bersaing dengan Mourinho

Dewan klub pun mengadakan rapat untuk menyikapi keputusan Laporta. Mayoritas sepakat untuk memberikan posisi kepelatihan kepada Jose Mourinho. Para petinggi klub menghendaki Mourinho sebagai suksesor Frank Rijkaard karena ingin mendapatkan hasil instan setelah mengalami periode buruk musim sebelumnya.

Rencana itu terdengar sampai ke telinga legenda sekaligus mantan pelatih Barcelona, Johan Cruyff. Ia merasa kurang sreg apabila Jose Mourinho yang menangani tim utama Barcelona. Ia berpikir apa salahnya mempercayakan tim asal Catalan, kepada putra daerah Catalunya itu sendiri. Dan Pep Guardiola masuk dalam kriteria ini.

Cruyff yang masih mempunyai hubungan baik dengan Barcelona pun akhirnya ikut andil dalam pemilihan pelatih baru. Lagi-lagi, Pep Guardiola mendapat keuntungan dari kedekatannya dengan orang penting di Barca. Ya, Cruyff adalah salah satu mentor Pep. Ia mengenal Cruyff di Barcelona tahun 90-an. 

Bisa dibilang, Cruyff lah yang mengenalkan makna sebenarnya dari sepakbola kepada Pep. Berbekal kedekatan dan analisisnya selama ini, Cruyff akhirnya memunculkan nama Pep Guardiola dalam forum bursa pelatih baru Barcelona.

Menggeser Yaya Toure

Dengan segala pertimbangan, akhirnya Pep Guardiola lah yang terpilih untuk menjadi suksesor Frank Rijkaard. Sementara Jose Mourinho akhirnya dipinang Inter Milan. Ini sebuah perjudian bagi Joan Laporta. Namun, seperti kata Sutan Sjahrir, “Hidup yang tak dipertaruhkan tak akan pernah dimenangkan.”

Pep awalnya ragu apakah kapasitasnya sudah cukup untuk menangani tim sebesar Barcelona. Ia merasa kurang pengalaman. Ia merasa belum pantas menanggung beban tanggung jawab sebesar ini. Di tengah keraguan, Johan Cruyff senantiasa berada di belakang Pep untuk memberi dukungan.

Memegang kendali, Pep Guardiola mulai menganalisis kondisi tim utama Barcelona. Beberapa sektor jadi fokus utama kala itu. Ada yang ditambah, ada juga yang dikurangi. Yang mengejutkan adalah kala dirinya menyingkirkan Yaya Toure dari skuad inti. Gelandang asal Pantai Gading itu dikenal sebagai salah satu warisan berharga Rijkaard untuk Barca.

Perawakannya yang tinggi kekar bisa membantu Barcelona memenangkan banyak duel di lini tengah. Selain itu, Toure juga memiliki daya jelajah dan kemampuan distribusi bola yang begitu baik. Toure adalah salah satu gelandang dengan atribut paling lengkap yang dimiliki Barcelona kala itu. 

Meski tak langsung dijual, permainan Yaya Toure jauh menurun di tangan Pep Guardiola. Di musim 2007/08, ia tak tergantikan. Namun, di musim 2008/09, untuk mencapai 1900 menit di La Liga saja, Toure kesulitan. Toure bahkan tercatat 13 kali tak masuk rencana Pep di La Liga musim 2008/09.

Parahnya, Pep dikabarkan jarang berkomunikasi dengan Yaya Toure. Dilansir Goal, sebetulnya tak ada masalah khusus di antara mereka. Pep hanya memilih pemain yang sepenuhnya mendukung gaya permainannya. Oleh karena itu, pada akhirnya Pep berani menyingkirkan Toure dan pemain-pemain lain macam Deco dan Samuel Eto’o.

Tak heran, ketika itu terjadi Pep menuai kritik. Terlebih di pengalaman yang baru seumur jagung, Pep dianggap tak tahu filosofi bermain Barcelona. “Gimana mau sukses? Jika hanya mengandalkan pemain muda sementara pemain-pemain bintang justru disingkirkan.” Begitu kira-kira gumam salah satu fans Barca.

Mempromosikan Bocah Bernama Sergio Busquets

Disaat oknum fans Barcelona meragukan kemampuan dan pengambilan keputusannya, Pep Guardiola justru sibuk menjaring bakat-bakat terbaik yang sebelumnya pernah ia latih di Barcelona B. Salah satu yang menarik perhatian adalah Sergio Busquets. Pemuda yang kala itu masih berusia 19 tahun dipanggil untuk mengisi skuad utama Barcelona musim 2008/09.

Ya, Busquets lah yang perlahan menggantikan peran Yaya Toure di sektor tengah. Meski memiliki perawakan yang kurus ceking dan terlihat mudah untuk dijatuhkan, Pep lebih menggemari gaya bermainnya yang lebih flamboyan dan tidak grasak-grusuk. Pep menginginkan Busquets untuk mengisi posisi nomor enam. 

Posisi di mana Busquets akan berdiri di depan empat bek dan berperan sebagai pengatur ritme dan aliran bola. Jika dibandingkan dengan Toure, kontribusi Busquets tak terlihat secara kasat mata. Ia jarang mencetak gol dan jarang melakukan tekel-tekel krusial. Busquets hanya jago dalam hal memainkan bola dengan anggun.

Beberapa fans yang tak merasakan kontribusinya menganggap Busquets telah merebut posisi Yaya Toure. Lagi-lagi, kredibilitas Pep Guardiola diragukan dalam hal ini. Fans merasa bahwa Busquets terlalu muda untuk menopang lini tengah di saat Barcelona sebetulnya punya monster dalam diri Yaya Toure.

Keberadaan Busquets memang jarang diapresiasi. Namun sebenarnya apa yang dilakukan Busquets dalam pola permainan Pep Guardiola sangatlah berarti. Bahkan Busquets yang dipromosikan Pep kelak menjadi pemain yang juga dipuji mati-matian oleh Vicente del Bosque.

“Jika kamu menyaksikan pertandingan, kamu tidak akan melihat (peran) Busquets. Tapi, jika kamu menonton Busquets, kamu akan melihat keseluruhan permainan,” kata Del Bosque. Nantinya pernyataan ini akan begitu melekat pada Busquets.

Menjual Ronaldinho

Dua keputusan kontroversial itu nyatanya masih dalam hidangan pembuka sebelum memasuki keputusan yang paling diluar nalar dan membuat puluhan ribu cules jengkel dibuatnya. Sebelum pada akhirnya menyingkirkan Toure, Deco, dan Eto’o; menjual Ronaldinho di awal musim 2008/09 adalah keputusan berani yang dilakukan Pep. Bukan hanya fans yang terkejut akan hal ini, petinggi Barcelona pun demikian.

Respons negatif dan kritik keras kepada keputusan Pep memang layak untuk dilontarkan. Bagaimana tidak? Kita semua tahu bahwa The Smiling Assassin merupakan pilar penting dalam rebranding klub di bawah asuhan Frank Rijkaard. Ronaldinho adalah ikon ketika Barcelona bangkit dari keterpurukan.

Awal tahun 2000-an, Barcelona dan Ronaldinho adalah dua hal yang saling membutuhkan. Klub membutuhkan skill dan talenta Dinho di lapangan, sedangkan pemain asal Brazil itu membutuhkan Barcelona untuk menapaki puncak karirnya sebagai pesepakbola profesional. 

Ronaldinho bergelimang trofi di Barcelona. Ia meraih satu-satunya trofi Liga Champions dalam karirnya bersama Barca. Ia mendapatkan dua kali pemain terbaik versi FIFA, satu kali pemain terbaik Eropa, dan satu kali trofi individu paling bergengsi bagi pesepakbola, yakni Ballon d’Or juga kala berseragam merah biru khas Klub Catalan, bukan PSG.

Peran Ronaldinho bagi Barcelona juga lebih besar dari itu. Secara tidak langsung, ia jadi sosok yang paling berjasa dalam awal karir Lionel Messi di skuad utama Barcelona. Dinho lah yang memberikan assist agar Messi bisa mencetak gol perdananya di ajang La Liga melawan Albacete Balompie.

Namun, Pep Guardiola punya pandangan lain tentang pemain yang identik dengan rambut gondrongnya itu. Setelah berbicara empat mata dengannya, Pep langsung bisa menilai bahwa gaya hidup yang erat kaitannya dengan dunia malam serta sindrom kebintangannya bisa berdampak buruk bagi kelangsungan tim ke depannya.

Ronaldinho yang enggan berpikiran buruk pun tak menyangkal keputusan Pep yang memaksanya hengkang di musim panas 2008. Peraih gelar Piala Dunia 2002 itu pun rela menempuh perjalanan satu jam setengah menggunakan pesawat demi hijrah ke Italia dan bergabung dengan AC Milan.

Sextuple yang Bersejarah

Ya, Pep Guardiola memulai dinasti sepakbolanya dengan tidak baik-baik saja. Kritik dan hinaan yang membuat sebagian orang ragu dengan kapasitasnya bak menjadi playlist musik favorit yang menyapa telinganya setiap hari. Namun, bukan Pep Guardiola namanya jika tak bisa melewati rintangan itu

Pembenci tetap akan selalu membenci, tapi di balik itu Pep Guardiola tetap yakin bahwa apa yang dilakukannya merupakan tindakan benar. Suara-suara sumbang yang selalu mengganggu dibiarkan begitu saja olehnya. Pep lebih fokus menggodok ramuan ampuh untuk membawa klub masa kecilnya ke tangga kesuksesan.

Dan tahun 2009, barulah para haters kicep melihat prestasi Pep Guardiola. Bukan cuma satu atau dua, melainkan enam gelar sekaligus diborong oleh Pep. Dari gelar La Liga hingga Piala Dunia Antarklub, semuanya disapu bersih hanya dalam kurun waktu satu tahun. Pep rela dibenci sana-sini dan jadi musuh masyarakat demi menciptakan sejarah sextuple yang hampir mustahil terulang kembali.

Sumber: FIFA, Goal, ESPN, BR football, Man City

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru