Beberapa waktu lalu, dunia sepak bola digegerkan dengan pelecehan rasis yang diterima pemain muda Juventus, Moise Kean, pada laga melawan Cagliari. Ketika itu, Kean dilaporkan mendapat nyanyian bernada rasis tiap kali penyerang 19 tahun tersebut memegang bola. Karena itulah, ketika mencetak gol kedua Juventus pada menit 85, Kean melakukan selebrasi tepat di depan suporter garis keras Cagliari.
Isu rasis di Italia memang tak kunjung berakhir. Pada medio Januari 2019, bek Napoli, Kalidou Koulibaly, juga mendapat nyanyian bernada rasis saat bertandang ke markas Inter Milan. Akibat kelakuan sang suporter, La Beneamata harus menjalani dua laga kandang Liga Italia tanpa ditemani penonton.
Permasalahan rasis nampaknya terus mendarah daging dalam dunia sepakbola. Penggawa manchester City, Kyle Walker, bahkan mengatakan jika rasisme sudah ada dimana-mana.
“Kalian bisa memasang banner, kalian juga bisa memakai sebuah kaos yang bertuliskan anti rasisme. Akan tetapi, permasalahan tersebut tidak hanya berada didalam dunia sepak bola. Rasisme ada dimana-mana.”
Sepertinya apa yang dikatakan oleh Kyle Walker benar. Permasalahan ini sudah menyebar luas hingga ke seluruh penjuru bumi. Rasisme masih menjadi penyakit kronis dalam hidup manusia, tak terkecuali dalam sepakbola. Berbagai perilaku rasial tak jarang bermunculan dan beberapa pemain pernah menjadi korban seperti Patrice Evra, Suley Muntari, Dani Alves, Mario Balotelli, hingga Raheem Sterling.
Penggawa muda Chelsea, Callum Hudson-Odoi, bahkan tak luput dari ulah memalukan para supporter yang tak bermoral. Ketika menjalani laga bersama Tim Nasional Inggris, Odoi dan beberapa penggawa Inggris lainnya dilecehkan oleh para penggemar Montenegro. Dalam beberapa kesempatan, fans Montenegro menirukan suara monyet, terutama ketika Raheem Sterling mencetak gol kelima Inggris dan juga saat Danny Rose mendapat kartu kuning jelang akhir laga.
Karena kesal, Odoi mengatakan,
“Diskriminasi tak boleh terjadi di mana pun. Kita semua setara, bermain sesuai fair play. Namun, ketika kalian mendengar hal-hal semacam itu dari fans, itu tidak bisa diterima. Semoga UEFA bisa bertindak,”
“Aku dan Danny Rose mendengarnya. Mereka berteriak seperti suara monyet. Kami harus tetap menegakkan kepala dan memiliki mental kuat. Semoga Rose baik-baik saja. Kami sudah mendiksusikan hal ini, dia punya mental yang kuat. Mari kita tunggu langkah dari UEFA.”
Namun nampaknya, mendapat perlakuan rasis bukan hal biasa bagi Danny Rose. Bek Tottenham Hotspur itu ingin segera mengakhiri karier sepak bolanya dan mengaku menantikan masa pensiunnya yang akan datang enam tahun lagi.
“Aku sudah muak! Saat ini menyoal bagaimana aku memprogram diriku, aku hanya berpikir, ‘Aku masih punya lima atau enam tahun tersisa di sepakbola dan aku tak sabar untuk mengakhirinya’. Dengan melihat bagaimana upaya yang telah dilakukan sampai saat ini. Aku ingin keluar dari situasi ini.”
Hal tersebut membuktikan betapa menyakitkannya ketika seseorang mendapat perlakuan rasis. Demi mendukung gerakan anti rasisme, bintang Manchester City, Raheem Sterling, terus menyuarakan gerakan anti diskriminasi rasial. Baru-baru ini, Sterling bahkan baru saja menerima penghargaan karena dianggap vokal dalam memberantas permasalahan tersebut.
Dalam rangka memberantas rasisme, FIFA juga terus mengkampanyekan seruan “kick racism out of football”. Hal itu mengindikasikan bahwa perbuatan rasis pantas disikapi demikian. Rasisme bukan hanya mencederai sportivitas, lebih dari itu, sikap rasis sama saja merendahkan derajat kemanusiaan. Segala bentuk rasisme wajib ditendang keluar dari sepakbola.