Timnas Jerman tak pernah kehabisan striker handal. Sepanjang sejarahnya, Der Panzer punya deretan striker yang ditakuti lawan, sebut saja Gerd Muller, Karl-Heinz Rummenigge, Rudi Voller, hingga Miroslav Klose dan yang terbaru Timo Werner. Namun, ada satu striker timnas Jerman yang punya keahlian paling unik. Dialah Oliver Bierhoff.
Jerman terakhir kali menjadi juara Piala Eropa pada 1996. Di partai final melawan Republik Ceko, Oliver Bierhoff menjadi pahlawan Der Panzer berkat dua golnya. Itulah momen terbaik Bierhoff bersama Der Panzer.
Namun, perjalanan striker yang dikenal tampan pada zamannya itu tidaklah mudah. Lahir di kota Karlsruhe, Bierhoff kecil lahir dari keluarga kaya raya. Ayahnya, Rolf Bierhoff adalah seorang mantan kiper dan CEO dari perusahaan energi Jerman yang cukup besar.
Lahir dari keluarga terpandang membuat karier yunior Bierhoff berjalan sulit. Dia harus menghadapi stereotip dari teman-temannya. Sebagai anak orang kaya, Bierhoff kecil kerap mendapat cemooh.
Meski begitu, bakat sepak bola tetap mengalir dari sang ayah. Bierhoff tergolong pemuda yang berbakat. Setelah menimba ilmu sebagai seorang striker di akademi SW Essen, ia memulai karier profesionalnya di Bayer Uerdingen pada tahun 1986 saat usianya masih 17 tahun.
Oliver BIERHOFF – Bayer 05 Uerdingen 1987-88 pic.twitter.com/syqXO0gxgj
— Old School Panini (@OldSchoolPanini) April 19, 2013
Diberkati tinggi badan yang menjulang, 191 cm, Bierhoff digadang-gadang sebagai calon striker masa depan Jerman. Sayangnya, harapan itu tak mampu dijawab Bierhoff muda.
Dua musim bersama Uerdingen, Bierhoff hanya mampu mencetak 4 gol dari 31 penampilan. Kemudian, dia pindah ke Hamburg SV dan bertahan selama 2 musim sebelum kembali pindah ke Borussia Monchengladbach.
Sepertinya, Bundesliga Jerman bukan tempat yang ditakdirkan untuknya. Namun, meski hanya mampu mencetak 10 gol dari 73 penampilannya di Bundesliga, Bierhoff tetap mendapat panggilan Jerman U-21.
Bersama timnas Jerman U-21, Bierhoff justru tampil apik dengan mengemas 7 gol dari 10 penampilan. Ia juga mulai memanfaatkan keunggulan postur tubuhnya dan memperlihatkan kemampuan sundulannya yang di atas rata-rata.
Walau sempat tampil bagus di timnas kelompok usia, kritik tetap mengarah kepada Bierhoff yang dianggap gagal memanfaatkan bakatnya. Meski punya aerial ability yang bagus, Bierhoff kerap dikritik karena tak mampu menguasai bola dengan kakinya.
Setelah kegagalannya di Bundesliga, kepercayaan diri Bierhoff sempat hancur, bahkan niatan pensiun dini sempat ia pikirkan. Terus dikritik dan mendapat sentimen negatif, Bierhoff yang kala itu masih berusia 21 tahun memutuskan keluar dari Jerman. Di musim 1990/1991, klub Liga Austria, Austria Salzburg memberinya kesempatan.
Jauh dari sorotan media Jerman, Bierhoff mampu tampil lepas. Ia berhasil membawa klubnya finish di posisi lima. Tak cuma itu, Bierhoff sukses menunjukkan kemampuannya dengan mampu mencetak 23 gol dari 31 penampilan.
Performa yang menawan di Liga Austria membuat Bierhoff kembali mendapat tawaran di klub besar. Kala itu, Inter Milan datang menawar Bierhoff dengan mahar 400 ribu paun. Ironisnya, Bierhoff langsung didepak usai kedatangan Corrado Orrico, pelatih baru Inter di musim 1991/1992.
Bierhoff kemudian terbuang ke klub promosi, Ascoli. Musim pertamanya di Serie A berjalan buruk. Ascoli langsung terdegradasi kembali ke Serie B dan Bierhoff hanya mampu mencetak dua gol di musim pertamanya. Atas hal tersebut, pendukung Ascoli lantas mengkambinghitamkan Bierhoff.
#OnThisDay photo from Serie A, 1992.
Juventus vs Ascoli.
Oliver Bierhoff vs Jürgen Kohler. pic.twitter.com/06Mi7BzY1a
— Culture of Football Classics (@CFclassics) April 12, 2020
Walau seakan coba dibuang oleh para penggemar Ascoli, Bierhoff memutuskan untuk bertahan setelah mendapat dukungan dari para rekannya. Tak disangka, Bierhoff justru jadi pemain terbaik Ascoli di Serie B. Di musim pertamanya, dia langsung menghasilkan 20 gol.
Meski tampil bagus, Bierhoff gagal mengangkat Ascoli ke Serie A. Selama 3 musim, Bierhoff terjebak bersama Ascoli di Serie B. Namun, dia menjelma jadi idola suporter. Mencetak 49 gol dari 124 penampilannya untuk Ascoli, Bierhoff kemudian pindah ke Udinese seiring dengan terdegradasinya Ascoli ke Serie C.
Bierhoff dibeli oleh Udinese yang kala itu baru promosi ke Serie A dengan mahar 1 juta paun. Alberto Zaccheroni, pelatih Udinese saat itu adalah sosok dibalik transfer Bierhoff. Di bawah asuhan Mr. Zac, Bierhoff langsung dipercaya sebagai ujung tombak tim.
Lewat polesan Zaccheroni, bakat Bierhoff mulai terasah dan mekar. Di Serie A musim 1995/1996, Bierhoff sukses mencetak 17 gol. Performa apiknya di Italia membuat Bierhoff mendapat panggilan pertama timnas Jerman. Saat itu, Bierhoff yang sudah berusia 27 tahun jadi bagian skuad Berti Vogts jelang Euro 1996.
Di laga keduanya bersama timnas Jerman, Bierhoff mampu mencetak 2 gol ke gawang Denmark dalam sebuah laga persahabatan. Penampilan apiknya itulah yang membuat Vogts membawa Bierhoff ke ajang Euro 1996.
Bierhoff tampil di dua laga babak grup melawan Ceko dan Rusia. Sayang, dia gagal tampil apik dan berujung jadi penghangat bangku cadangan. Kesempatan kedua akhirnya datang di laga final. Jerman yang terdesak setelah ketinggalan 1 gol, memasukkan Bierhoff di menit ke-69.
Empat menit berselang, Bierhoff yang baru masuk sebagai pemain pengganti sukses menyamakan kedudukan. Memanfaatkan sepakan bebas Christian Ziege, Bierhoff yang memakai nomor punggung 20 datang menyambut umpan tersebut dengan sundulan kepala.
Gol dari Bierhoff itu membuat laga berlanjut ke babak perpanjangan waktu. Di menit ke-95, Jerman yang mengandalkan duet Klinsmann dan Bierhoff mendapat peluang bagus di depan gawang Ceko. Klinsmann lalu mengirim umpan kepada Bierhoff. Pemain Udinese itu lalu menguasi bola sebentar sebelum melepas sepakan kaki kiri yang berbuah golden goal untuk timnas Jerman.
#TBT – 20 years ago today Oliver Bierhoff’s golden goal won #GER the EURO 1996 title. pic.twitter.com/9B6FDrjF99
— 🇺🇸 FC Bayern US 🇨🇦 (@FCBayernUS) June 30, 2016
Laga pun berakhir untuk kemenangan 2-1 Jerman atas Ceko. Bierhoff yang masuk sebagai pemain pengganti langsung dielu-elukan pendukung Jerman. Momen itu sekaligus jadi titik balik karier Bierhoff. Dari pemain yang terus disudutkan hingga sempat berniat pensiun dini, Bierhoff menjelma jadi raja udara timnas Jerman.
Tahun-tahun berikutnya, Bierhoff bertransformasi jadi andalan Der Panzer. Ia bahkan ditunjuk sebagai kapten tim usai Jurgen Klinsmann pensiun di tahun 1998. Bierhoff jadi ujung tombak Jerman di ajang Euro 2000, Piala Dunia 1998 dan Piala Dunia 2002.
Setelah membawa Jerman duduk sebagai runner-up Piala Dunia 2002, Bierhoff memutuskan pensiun dari tim nasional. Sepanjang kariernya, Bierhoff tampil sebanyak 70 kali dan menyumbang 37 gol untuk Der Panzer.
Sementara itu, di level klub, Bierhoff mencapai puncak kariernya di tahun 1998. Dia menjelma sebagai seorang target-man yang berbahaya. Selain membawa Udinese tampil ganas, Bierhoff sendiri sukses mengakhiri musim 1997/1998 dengan gelar top skor Serie A berkat 27 golnya.
Oliver Bierhoff 1998.
Udinese Calcio.© Bongarts/Getty Images pic.twitter.com/XF1jOONUZm
— Olympia (@olympia_vintage) March 22, 2018
Setelah 3 musim berseragam Udinese, Bierhoff mengikuti jejak pelatihnya, Alberto Zaccheroni ke AC Milan. Kala itu, striker timnas Jerman tersebut direkrut dengan harga fantastis, 11 juta paun. Seakan berjodoh dengan Zaccheroni, Bierhoff mampu meneruskan performa apiknya bersama rival abadi Inter itu.
Bierhoff langsung memberi dampak positif. Di musim pertamanya berseragam rossoneri, dia langsung menghasilkan 19 gol di Serie A. Uniknya, 15 gol di antaranya Bierhoff hasilkan dari sundulan kepala. Sebuah rekor yang hingga detik ini belum ada tandingannya.
Tak hanya itu, berkat kegemilangan Bierhoff, Milan berhasil mendapat scudetto di musim 1998/1999. Seakan mengulang memori final Euro 1996, Bierhoff jadi penentu kemenangan Milan di pertandingan terakhir lewat hattrick-nya ke gawang Empoli yang membuat rossoneri melewati Lazio di puncak klasemen Serie A.
Scudetto bersama Milan adalah trofi satu-satunya Bierhoff di level klub. Setelah kesuksesan itu, Bierhoff bertahan di Milan selama 2 musim berikutnya. Selama membela rossoneri, dia mencetak 44 gol dari 119 penampilannya di semua ajang.
Oliver Bierhoff. 119 games, 44 goals.
Milan
Serie A: 1998–1999 🏆Excellent in the air and in the right place at the right time. A traditional striker who was a textbook “target man”. pic.twitter.com/GtQvJNcQ9b
— Remember1899 (@storiadimilano) June 30, 2020
Setelah itu, ia menyebrang ke AS Monaco. Setahun bersama tim Ligue 1 Prancis itu, Bierhoff kembali ke Italia dengan seragam Chievo. Bierhoff hanya semusim bersama Chievo sebelum memutuskan pensiun di akhir musim 2002/2003 saat usianya sudah 35 tahun.
Bierhoff boleh saja hanya mencetak 7 gol di musim tersebut. Namun, ia mengakhiri kariernya dengan sangat indah. Di laga terakhirnya, Bierhoff sukses mencetak 3 gol ke gawang Juentus. Meski gagal membawa Chievo menang, namun hattrick Bierhoff sukses mencuri perhatian sekaligus jadi akhir manis perjalanan kariernya.
Kini, pria kelahiran 1 Mei 1968 itu akan genap berusia 53 tahun di tahun ini. Sudah sejak 2004 lalu, ia jadi manager dan direktur teknik timnas Jerman. Dialah sosok dibalik layar dari keberhasilan Der Panzer menjuarai Piala Dunia 2014.
Bierhoff adalah contoh striker yang mampu mengatasi kesulitan dan menjawab keraguan serta cemoohan dengan prestasi. Tak diberkahi kecepatan, Bierhoff mengakali keterbatasannya dengan bermain efisien.
Dari seorang pemuda yang dicemooh oleh pendukungnya sendiri, Oliver Bierhoff sukses mengakhiri kariernya sebagai pahlawan, baik bagi timnas negaranya maupun bagi klub yang ia bela.
***
Sumber Referensi: CNN Indonesia, AC Milan, Liputan 6, These Football Times


