Belum ada olahraga yang bisa menandingi pamor sepak bola. Setidaknya hingga saat ini. Pasalnya, olahraga tim yang konon berasal dari tanah Britannia ini tumbuh liar bagaikan gulma. Saking tersebarnya permainan ini, setiap tempat sampai punya ciri khas dan gaya permainannya sendiri.
Orang Belanda yang hidup di wilayah yang sempit, memiliki tendensi untuk memanfaatkan segala ruang yang tersedia, maka lahir lah totaalvoetbal yang memiliki dogma bahwa setiap ruang harus dimanfaatkan untuk memenangkan pertandingan.
Sementara di Italia, tanah yang sejak dahulu kala menjadi pusat peradaban Eropa, telah melampaui segala kebutuhan dasarnya. Mereka membutuhkan seni. Mereka butuh keindahan guna menyempurnakan hasratnya sebagai manusia. Oleh karena itu, kita pernah hidup dengan jargo Beauty of Serie A sebagai identitas dari sepak bola Italia.
Kala itu, Italia terkenal dengan permainan indah yang ditopang dengan lini belakang yang kokoh. Dari Giovanni Trapattoni hingga Paolo Maldini, dari Giacinto Facchetti hingga Leandro Bonucci, Italia bisa berbangga diri dengan bek-bek tangguhnya. Namun, dari semua itu, tak ada yang bisa mendekati Alessandro Nesta. Dia adalah representasi paripurna Beauty of Serie A. Sebab apa? Sebab, dia adalah satu-satunya pemain yang tak hanya kokoh, tapi juga punya tekel yang indah.
Daftar Isi
Darah Itu Biru, Bukan Merah!
Hari itu adalah 19 Maret 1976. Seorang bayi mungil seberat 4,1 kg telah lahir dari rahim Maria Laura di sebuah rumah sakit di Roma. Giuseppe dan dua anaknya, Fernando dan Katia, sumringah menyambut kedatangan sang anggota keluarga baru. Sebagai peresmiannya, bayi laki-laki itu dinamani Alessandro. Sejak saat itu, Sandro resmi bergabung ke keluarga kecil Giuseppe Nesta.
Keluarga Giuseppe tinggal di Cinecitta, sekitar 20 menit arah tenggara dari ikon kota Roma, Kolesseum. Dengan bekerja sebagai pegawai kereta api, Giuseppe menghidupi keluarga kecilnya. Seluruh kebutuhan keluarganya masih bisa ia tercukupi. Termasuk menyekolahkan Sandro kecil ke sekolah sepak bola terdekat, US Cinecitta. Hal ini dilakukannya sesuai anjuran dari dokter yang merekomendasikan Sandro kecil untuk aktif berolahraga.
Seperti semua warga lokal Roma lain, Giuseppe tahu ada aturan tak tertulis yang harus dipatuhi di sana. Aturan tersebut adalah memilih identitas tambahan, yakni biru atau merah. Biru artinya kamu akan menghabiskan seluruh hidup untuk mendukung Lazio, sebaliknya merah berarti kamu akan melakukan hal yang sama untuk AS Roma. Sebagai warga kota yang baik, Giuseppe mengikuti aturan tersebut dan ia memilih menjadi seorang Laziale.
Uniknya, sekolah tempat Sandro kecil belajar adalah antek dari AS Roma. US Cinecitta merupakan satu dari sekian klub yang jadi sarana para pemandu bakat I Lupi menjaring talenta. Termasuk Sandro. Ia tak lepas dari pantauan. Francesco Rocca, legenda sekaligus pemandu bakat AS Roma saat itu, mati-matian merayu Giuseppe agar mau melepas anaknya ke akademi AS Roma. Namun, jawaban Giuseppe selalu sama, darah mereka biru dan tak akan pernah berwarna merah.
Suatu ketika di tahun 1985, Giuseppe sedang membaca koran dan menemukan iklan mengenai seleksi untuk tim muda Lazio. Tanpa pikir panjang, ia membawa Sandro ke tempat seleksi diadakan, yakni lapangan San Basilio. Giuseppe memang tak pernah berekspektasi bahwa Sandro suatu saat harus menjadi pemain bola. Ekspektasinya hanya satu, selamanya Sandro harus tetap biru.
Mengikutsertakan Sandro ke seleksi Lazio adalah salah satu cara mewujudkan ekspektasinya. Setidaknya, memindahkannya dari antek AS Roma adalah upaya untuk mencegah pembelotan. Seperti ketiban durian runtuh, keinginan Giuseppe tersebut terwujud. Dari sekitar 300 anak, Sandro terpilih. Sejak saat itu, ia akan selamanya menjadi Laziale dan bahkan membuat nama keluarganya masuk dalam sejarah Lazio. Giuseppe tentu berbangga hati dengan putranya: Sandro. Alessandro, Nesta.
Alessandro #Nesta al canale della @UEFAcom_it:
🎙️ “Tutto è iniziato nel mio quartiere, romanista, a Cinecittà. La Roma mi vede, mi voleva prendere ma mio padre si ribella perché non voleva che andassi alla Roma. L’anno dopo sono andato alla #Lazio, facevo la mezzala”.
👇🏻— LazioSpace (@LazioSpace) March 5, 2024
Kekecewaan Piala Dunia 1990
Setelah masuk ke akademi Lazio, Nesta sebenarnya pernah dicoba bermain di banyak posisi. Salah satunya menjadi seorang striker. Namun karena para pelatih tak melihatnya cukup garang untuk menjadi mesin gol, mereka memindahkannya ke belakang, dan ternyata cocok. Di Formello, Nesta bermain dengan beberapa pemain yang kelak akan bermain di Serie A, misalnya Marco Di Vaio dan Alessandro Iannuzzi.
Meski pada akhirnya karir Nesta jauh lebih moncer dari keduanya, Nesta pernah sangat iri dengan dua rekannya tersebut. Sebab, Nesta merasa tersaingi karena dirinya tak terpilih untuk mewakili Le Aquile untuk menjadi anak gawang di Piala Dunia 1990.
Namun kegagalan itu malah melecut motivasi Nesta. Sejak saat itu, Nesta berbenah. Ia berlatih sebaik mungkin untuk jadi yang terbaik. Hingga pada akhirnya, 19 Maret 1993, Dino Zoff membayar kerja kerasnya untuk turun bermain dengan tim senior pada laga melawan Udinese.
24 years ago…my debut in @SerieA_TIM with @OfficialSSLazio …unforgettable day #memories #sslazio ⚪️🔵🇮🇹 pic.twitter.com/BtWa4wKMd8
— Alessandro Nesta (@Nesta) March 13, 2018
Mencuri Perhatian Laziali
Tak hanya dari debutnya bersama Dino Zoff, sebulan kemudian Nesta kembali menjadi pusat perhatian. April 1994, bintang Lazio, Paul Gascoigne cedera. Gazza merengek kesakitan di tempat latih karena sebuah tekel dan pelakunya adalah Alessandro Nesta. Respon para fans campur-aduk. Mereka kecewa karena pemain bintangnya cedera di sesi latihan, namun juga tertarik dengan pemuda yang berhasil menghentikan Gazza. Sehebat apa sebenarnya anak ini?
Pertanyaan mereka langsung terjawab kala Zdenek Zeman datang. Pelatih yang menangani Le Aquile sejak musim panas 1994 ini mulai memberi Nesta menit bermain yang rutin. Tak hanya itu, skema bangun serangan dari belakang yang dipakai Zeman juga makin membuat Nesta tersorot. Zeman mengubah Nesta menjadi bek yang tak hanya bisa menghentikan lawan, namun juga memainkan bola. Sebuah atribut yang sangat langka di zamannya.
A young Alessandro Nesta at Lazio. pic.twitter.com/uwywf5D8l7
— 90s Football (@90sfootball) September 16, 2020
Sven-Goran Eriksson dan Mimpi yang Kesampaian
Kejeniusan Nesta makin terlihat kala Sven-Goran Eriksson datang musim panas 1997. Pelatih legendaris asal Swedia ini malah menjadikan Nesta menjadi kapten tim. Padahal usianya baru menginjak 21 tahun. Namun, keputusan mengejutkan Eriksson ini malah membuat Nesta semakin mengerikan. Kedewasaan dan ketenangannya makin terasah seiring datangnya tanggung jawab yang ia emban.
Perlahan, trofi mulai berdatangan. Golnya di Stadio Olimpico ke gawang AC Milan menutup asa Rossoneri untuk membawa pulang trofi Coppa Italia 1998. Kemenangan ini membuat Lazio berhak tampil di Piala Winners UEFA musim berikutnya. Benar saja, di Eropa, mereka akhirnya membawa pulang trofi tersebut tahun 1999. Namun, trofi itu justru kian membuat Nesta haus. Scudetto adalah harga mutlak di tahun berikutnya.
Barulah di musim 1999/00, scudetto yang diidam-idamkan itu datang. Lazio yang berisis nama-nama seperti Sinisa Mihajlovic, Marcelo Salas, Diego Simeone, Juan Sebastian Veron, Pavel Nedved, hingga Roberto Mancini, tidak akan bermain-main lagi. Pada akhir Maret 2000, Juve sebenarnya masih jadi capolista. Namun, Lazio yang sekarang memiliki motivasi yang berbeda. Terutama bagi Nesta sebagai kapten dan warga lokal.
Ketika Juve mulai menelan kekalahan di 8 laga terakhir Serie A musim itu, Lazio malah menyapu bersih 7 laga sisa dengan kemenangan dan 1 laga berakhir imbang lawan Fiorentina. Alhasil, posisi satu akhirnya dikudeta oleh Le Aquile. Jaraknya sangat tipis, cuma satu poin. Namun, setipis apa pun jaraknya, hasil itu tetap jadi modal yang cukup bagi Nesta untuk membawa pulang scudetto.
Akhirnya, mimpi Nesta untuk menjadi jawara di Italia kesampaian. Dan yang paling penting, ia melakukannya lebih cepat dari AS Roma. Di musim itu juga Coppa Italia dan UEFA Super Cup berhasil Lazio dapatkan. Setelahnya, Nesta masih memberi sebuah trofi Supercoppa Italiana 2001.
Lazio turns 120 this year. 🎂
Have a look at this team that won the 1999/2000 Scudetto.🤩
The squad featured the likes of: Nesta, Nedved, Veron, Mancini, Simeone, Salas, Mihajlovic, Stankovic, S. Inzaghi, Boksic, Ravanelli, Sensini, Conceicao just to name a few. 😱#OptusSport pic.twitter.com/KBtTRSg8Y6
— Optus Sport (@OptusSport) January 12, 2020
Kenangan Derby della Capitale
Membicarakan Lazio tak lengkap rasanya jika tak membahas Derby della Capitale. Pada masa kejayaannya duel ini, Nesta adalah representasi sempurna Lazio. Sama halnya dengan AS Roma yang sangat mengagungkan Francesco Totti. Duel keduanya lebih sempurna ketimbang Leo Messi dan Cristiano Ronaldo sekali pun. Sebab, keduanya bermain di posisi yang saling berhadapan.
Pertemuan keduanya juga menjadi gengsi antara Formello selaku akademi Lazio dan Trigoria selaku akademi AS Roma. Bahkan, keduanya sudah sering bertemu sejak level belia. Salah satu pertemuan terseru keduanya adalah pada 2 November 1997.
Laga itu menjadi hujan kartu dari saku Pierluigi Collina. Nesta menjadi salah satu korbannya. Namun, Le Aquile yang sudah bermain tanpa Giuseppe Favalli sejak menit ke-7 malah bisa menang 3-1. Nesta tampil apik sehingga Totti dan teman-temannya tak berkutik.
Yang lebih brutal terjadi pada 12 April 1999. Laga yang menjadi sebab dari gagalnya Lazio meraih scudetto 1999. Lazio yang kala itu menjadi capolista malah kalah 3-1 dari I Lupi. Pada laga ini, Totti jadi bintang dengan 2 assist dan sebuah gol. Laga ini berjalan sangat panas sehingga Sinisa Mihajlovic dan Paulo Sergio harus dikartu merah karena berkelahi.
Beberapa saat kemudian, Lazio yang sudah tertinggal 2-1 malah harus kehilangan Nesta yang dikartu merah juga. Alhasil, hilangnya Nesta membuat Totti akhirnya menjaringkan bola ke gawang Le Aquile. Scudetto yang Nesta impikan berhasil digagalkan oleh Totti.
Nesta dan Totti sendiri sebenarnya memiliki banyak kemiripan. Jika Nesta diincar AS Roma, Totti pun hampir bergabung ke Lazio di masa kecilnya. Keduanya pun moncer berkat polesan Zdenek Zeman. Keduanya pun memilih mundur setelah Piala Dunia 2006, meski Nesta sempat menerima tawaran untuk kembali.
Namun, dari semua itu, yang membuat pertemuan keduanya sangat seru adalah kenyataan bahwa mereka adalah warga lokal Roma. Sayangnya, nasib keduanya berbeda. Jika I Lupi mati-matian menjaga Totti agar tidak pergi, Biancocelesti malah harus menjual Nesta agar tidak mati karena masalah finansial yang menggerogoti.
Alessandro Nesta and Francesco Totti. pic.twitter.com/0neUhKem4Z
— 90s Football (@90sfootball) February 1, 2023
Mahaguru Seni Pertahanan
Satu hal yang membuat Nesta spesial dari bek-bek lain adalah tekelnya. Dia memang tak mahir membawa bola sambil meliuk-liuk layaknya Zinedine Zidane, Ronaldo Nazario, hingga Rui Costa. Namun percayalah, tekel Nesta tak kalah indah dan memanjakan mata ketimbang aksi pemain-pemain tadi. Karena keindahan tekelnya ini pula, Nesta menjadi seorang mahaguru seni pertahanan.
Nesta memiliki perhitungan yang sangat presisi. Ia tahu kapan waktunya untuk berlari, kapan waktunya untuk menghalangi, dan kapan waktunya untuk menjatuhkan diri. Nesta mahir merebut bola dari kaki lawan tanpa sedikit pun berbuah pelanggaran. Apa sebabnya? Tekel Nesta sangat lembut, bahkan jika dibandingkan dengan sutera.
Pada Piala Eropa 2000, Nesta tanpa susah payah merebut bola dari Thierry Henry yang sudah siap menggocek sisi kiri. Di momen yang lebih genting, ketenangan Nesta menyapu bola yang kurang beberapa meter lagi masuk ke gawang Dida memberikannya sebuah trofi.
Yang paling fenomenal, di usianya yang sudah sangat senja, Nesta mampu menghentikan Lionel Messi yang kala itu sedang gila-gilanya. Nesta yang hampir kecolongan sekuat tenaga mengejar Messi dan dengan ketenangannya, La Pulga bisa ia tundukkan tanpa membuat wasit bersusah payah untuk meniup peluitnya.
Kehebatan Nesta di lini belakang ini lah yang pada akhirnya membuat Silvio Berlusconi tergoda untuk meminangnya. Mendengar rencana ini, Carlo Ancelotti pun meringis kegirangan. Memanfaatkan keadaan yang terjadi di Lazio, transfer ini akhirnya kejadian. Meski, sebenarnya tak pernah Nesta harapkan.
Nesta 🙅♂️#UCL pic.twitter.com/79axPzpRhI
— UEFA Champions League (@ChampionsLeague) February 8, 2024
Dekade Kejayaan
Demi menjaga Lazio dari kebangkrutan, Nesta akhirnya menerima pinangan AC Milan pada musim panas 2002. Di Milano, Nesta bergabung ke skuad superstar Silvio Berlusconi. Bayangkan saja, ada Nesta, Maldini, Costacurta, hingga Cafu di sana. Tak ayal, di musim pertamanya trofi Si Kuping Besar langsung Nesta dapatkan di AC Milan. Kita tak perlu panjang lebar untuk membahas karir Nesta di San Siro, sebab kita semua tahu bahwa karirnya di Milano sudah cukup untuk diwakilkan dengan kata “kejayaan”.
Selama 10 musim di San Siro, Nesta total mendapatkan 10 trofi, masing-masing 2 buah trofi untuk Champions League, Serie A, UEFA Super Cup, dan Supercoppa Italiana. Sementara 2 trofi sisanya adalah sebuah gelar Piala Dunia Antarklub dan Coppa Italia. Penampilan impresifnya bersama AC Milan membuat Nesta ditahbiskan sebagai salah satu bek terbaik yang pernah ada. Terlebih, di masa ini Nesta berhasil membawa Italia menjadi juara dunia.
🇮🇹👏 Maldini x Nesta. What a partnership at the back! pic.twitter.com/QMwhBR8kNj
— EuroFoot (@eurofootcom) March 29, 2024
Tawaran yang Tak Pernah Datang
Meski meraih segalanya bersama AC Milan, kecintaan Nesta pada Lazio tak pernah sedikit pun berkurang. Nesta sebenarnya selalu mengimpikan kepulangannya ke Stadio Olimpico. Pada tahun 2007, Nesta pernah menyatakan keinginannya untuk pulang kepada Massimo Oddo. Curhatan ini Nesta lakukan dengan harapan bahwa Oddo, selaku kapten Lazio saat itu, bisa menyambungkannya ke pihak manajemen Biancocelesti.
Namun sayang, tawaran itu tak pernah datang. Padahal, di tahun itu kontrak Nesta bersama AC Milan akan berakhir. “Aku tak tahu apakah Oddo menyampaikannya, mungkin saja mereka merasa gajiku terlalu tinggi. Atau mungkin pesan itu memang tak pernah tersampaikan,” ujar Nesta via Football Italia.
Alhasil, Nesta pun memilih memperpanjang kontraknya dan bermain 5 musim lagi untuk Rossoneri. Setelah dekade penuh kejayaan di San Siro berakhir, Nesta melanglang buana hingga MLS dan Liga India. Sebelum pada akhirnya gantung sepatu di tahun 2015. Kisah Nesta dengan Lazio memang telah usai sejak 2002, tapi kecintaannya terhadap Le Aquile jelas tak akan pernah usai.
#Nesta has joined Montreal Impact and he’ll wear the number 14 jersey: “I was looking for a new challenge and wanted to play in MLS”
— AC Milan (@acmilan) July 6, 2012
Sumber: Tripod, ESPN, Balotelli’s Barber, Football Italia, Lazio Stories, dan The Laziali