Mimpi Sepak bola Arab Saudi dan Bayang-bayang Kegagalan China

spot_img

Kemenangan Timnas Arab Saudi atas Argentina di Piala Dunia 2022 lalu bukan hanya mengejutkan, tetapi juga sulit untuk dinalar. “Itu hanya tonggak sejarah yang kami tandai,” komentar Menteri Olahraga Arab Saudi, Pangeran Abdulaziz bin Turki al-Saud tentang kemenangan itu.

Dengan nada yang agak sedikit sombong dia menambahkan, “Jika Anda menempatkan sumber daya yang tepat di belakangnya, Anda dapat mencapai hal-hal yang tidak mungkin.” Benar. Arab Saudi sudah menempatkan sumber daya yang tepat.

Timnasnya pun bisa mengalahkan Argentina. Hal yang nyaris tidak mungkin. Pangeran Abdulaziz juga serius ketika mengatakan itu adalah tonggak sejarah yang mereka tandai sendiri. Hari ini, di bursa transfer musim ini, tonggak sejarah yang didengungkan itu mulai mewujud ke hal yang lebih hebat.

Ekspansi Pemain Eropa ke Arab Saudi

Seperti kata Mohammed bin Salman kala berbicara di sebuah forum tahun 2018 lalu, “The new Europe is Middle East”. Rupanya rencana itu benar-benar diwujudkan. Kita tahu, Arab Saudi mulai gencar melakukan ekspansi besar-besaran di ranah olahraga, khususnya sepak bola. Sang pangeran pewaris tahta yang juga seorang milenial itu, akan membuat Arab Saudi sebagai pusat peradaban dunia.

Tidak khayal jika ia konon tidak mau mati sebelum Arab Saudi memimpin peradaban dunia. Ia pun mencoba memulainya dari sepak bola dengan mendatangkan tak sedikit pemain top Eropa. Karim Benzema, N’Golo Kante, Kalidou Koulibaly, Edouard Mendy, dan Ruben Neves contohnya.

Ia ingin menjadikan Arab Saudi sebagai kiblat sepak bola. Menggeser posisi Eropa selama ini. Bersamaan dengan itu, Pangeran Mohammed bin Salman membantu Arab Saudi supaya menjadi tujuan bisnis, pariwisata modern, dan rekreasi dengan proyek yang dinamis sambil terus berinovasi sepanjang jalan.

Mohammed bin Salman juga akan mendorong populasi Arab Saudi yang makin gemuk untuk berbondong-bondong menonton acara olahraga. Menurut Macrotrends, populasi Kerajaan Arab Saudi tiap tahunnya mengalami peningkatan. Tahun 2023 saja ada sekitar 36,9 juta manusia hidup di Arab Saudi. Angka itu meningkat dari 36,4 juta tahun lalu. Dengan tingkat pertumbuhannya 1,48%.

Sindiran UEFA

36,9 juta umat manusia di Arab Saudi dilihat sebagai pasar yang menjanjikan oleh Pangeran Mohammed bin Salman. Dengan itu, impian menjadikan Arab Saudi peradaban sepak bola dengan mengimpor pemain bintang bukan sesuatu yang sulit digapai. Namun, justru menjadi masalah bagi Eropa. UEFA boleh jadi memandang Arab Saudi sebagai saingan baru.

Presiden UEFA, Aleksander Caferin menyindir keras rencana Arab Saudi tersebut. “Arab Saudi akan menjadi China baru,” kata Caferin. Dikutip The Guardian, lulusan Universitas Ljubljana, Slovenia itu berkomentar, sistem membeli pemain di ujung kariernya bukanlah sistem yang mengembangkan sepak bola.

Caferin mengatakan, apa yang dilakukan Arab Saudi adalah kesalahan yang sama seperti apa yang dilakukan China. Dengan kata lain, ambisi Arab Saudi menjadi pusat sepak bola justru akan menemui kuburannya sendiri dengan sistem semacam itu. Benarkah?

Yang Diterapkan China

Caferin tidak salah. China memang pernah menerapkan sistem yang hampir mirip dengan Arab Saudi. Hampir mirip berarti tidak sepenuhnya mirip. Sepintas kalau dilihat dari permukaan, sistem yang dipakai Arab Saudi sama seperti yang digunakan Tiongkok. Negara sama-sama ikut campur dalam urusan sepak bola. 

Hanya saja di Arab Saudi, pangeran yang turun tangan. Apa yang terjadi di China, presiden mereka, Xi Jinping yang terjun ke lapangan. Mulanya, presiden dari Partai Komunis itu berhasrat ingin memajukan sepak bola China. Dengan tiga keinginan: lolos ke Piala Dunia untuk kedua kalinya, menjadi tuan rumah, dan akhirnya memenangkannya.

Tujuan itu selain ambisius juga tidak sadar diri. Tetapi Jinping tidak berhenti memoles diri. Lewat rencana itu, Jinping digambarkan media-media sebagai sosok yang akan memajukan sepak bola China. Sekolah-sekolah diperintahkan untuk memasukkan sepak bola ke dalam kurikulum.

Mengutip media Jepang, Japan Times, Jinping juga mengalokasikan miliaran dolar untuk pembangunan puluhan ribu lapangan. Ia juga mendorong agar perusahaan besar bergegas untuk berinvestasi ke klub-klub profesional di Liga China. Lalu menimbunnya dengan pemain impor. Para pebisnis besar, sebagian dari mereka adalah pengembang properti akhirnya terlibat.

Meroket Lalu Tenggelam

Miliaran dolar digelontorkan. Perusahaan-perusahaan dari China juga mendaftar sebagai sponsor FIFA. Orang-orang kaya di China berhasil mengubah divisi teratas Liga China menjadi Liga Super. Senjatanya pemain-pemain top di pasar global. Para pemain yang sebelumnya sama sekali tidak menginginkan bermain di China, akhirnya malah terpikat dengan gaji tinggi. 

Pemain seperti Tevez, Oscar, Ramires, Mascherano, Paulinho, Anelka, sampai Drogba ramai-ramai hijrah ke China. Klub berstatus raksasa pun muncul, seperti Guangzhou Evergrande dan Jiangsu FC. Pengeluaran pun meledak. Masing-masing klub China menghabiskan dana empat kali lebih banyak dari klub-klub Korea dan Jepang.

Di kemudian hari, regulator sepak bola China merasa ini tidak beres. Pajak transfer pun diberlakukan setelah musim 2016/17. Rem semacam ini pada waktunya justru memperlambat ekonomi. Perusahaan properti yang banyak mengakuisisi klub malah terlilit utang. Masalah makin runcing karena muncul kasus-kasus korupsi. Pemain seperti Tevez juga hanya menganggap bermain di China sebagai liburan.

Ia kurang mempromosikan Liga China. Puncaknya, pandemi Covid-19 menenggelamkan seluruh rencana itu. Sepak bola China hancur. Timnasnya kering prestasi. Sebagian klubnya seperti Guangzhou Evergrande, Jiangsu FC, Chongqing FC, dan klub yang pernah dilatih Manuel Pellegrini, Hebei China Fortune kalau tidak gulung tikar ya karam.

Rencana Arab Saudi Lebih Matang

Kegagalan China itulah yang membayangi mimpi besar sepak bola Arab Saudi. Namun, apakah kerajaan tidak sadar akan hal itu? Mohammed bin Salman sudah terlatih untuk bersiasat. Ingat bagaimana ia bisa terhindar dari dugaan terlibat kasus pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi?

Arab Saudi, dalam konteks rencana ini, punya posisi lebih baik dari China. Mereka bisa memanfaatkan aliran dana dari perusahan yang dikelola sang pangeran, Public Investment Fund (PIF). PIF mengeluarkan dana 500 miliar poundsterling atau kira-kira Rp9,7 kuadriliun demi rencana ini. Itu nyaris lima kali lipat yang dikeluarkan oleh China (155 miliar poundsterling).

Pembangunan Liga Pro Saudi Arabia juga akan dipelopori empat tim raksasa. Al-Hilal dan Al-Nassr di Riyadh dan dua raksasa Jeddah, Al-Ittihad dan Al-Ahli. Empat tim itu 75% sahamnya ditopang oleh PIF yang juga sudah mengakuisisi Newcastle United. Targetnya Liga Pro Saudi Arabia bisa masuk 10 besar global dalam hal pendapatan, pada tahun 2030 mendatang.

Memoles Citra

Kemudian, ini yang mungkin tidak dilakukan China. Memoles citra. Arab Saudi mengerti sekali, tanpa citra perkembangan sepak bola kurang menggigit. Arab Saudi sudah memperoleh citranya usai mengalahkan Argentina di Piala Dunia 2022. Prestasi tim nasionalnya juga bagus.

Nah, jika pemain bintang yang didatangkan China lenyap begitu saja, tidak dengan Arab Saudi. Cristiano Ronaldo yang diboyong Al-Nassr, misalnya, telah memberi pengaruh besar. Ia tidak berhenti mempromosikan Arab Saudi ke pengikutnya di media sosial. Ronaldo sampai hari bahkan masih menjadi media darling.

Ingat bagaimana Al-Ittihad berhasil mendatangkan Karim Benzema? Semua tertuju pada transfer itu. Apalagi Benzema baru saja meraih Ballon d’Or. Itu baru di dalam negeri. Belum citra yang sudah dibangun di luar. Misalnya, siapa yang akan mengira Newcastle United akan kembali ke Liga Champions? Dan siapa yang bakal menduga itu terjadi setelah PIF mengakuisisi?

Tidak Semuanya Cerah, tapi Bisa Diatasi

Rencana-rencana itu tampak menjanjikan. Tapi percayalah, tidak semua cerah. Di antara empat tim pelopor sebenarnya dikelola dengan cara buruk. Al-Nassr dan Al-Ittihad kabarnya bahkan memiliki utang 300 juta poundsterling (Rp5,8 triliun) pada 2018 dan membuat mereka tidak bisa tampil di Liga Champions Asia.

Namun, Mohammed bin Salman langsung turun membereskan masalah itu. Di Arab Saudi juga ada 107 kasus gaji yang belum dibayar. Tetapi itu berhasil ditutupi dengan sangat rapi. Tentu saja berkat gelontoran dana dari kerajaan. Apakah tidak akan ada korupsi?

Sistem pemerintahan monarki atau kerajaan yang diterapkan Arab Saudi sebenarnya juga riskan memunculkan kasus korupsi. Beberapa pengamat juga mengatakan sistem monarki malah rawan korupsi. Akan tetapi, sekali lagi, semua itu ditutup dengan rapi dan sistemik.

Well, terlalu pagi mengklaim bahwa Arab Saudi tidak akan bernasib seperti China. Kita hanya bisa menunggu sekaligus menyaksikan. Apakah pada tahun 2030 kereta sepak bola Arab Saudi benar-benar akan tiba di stasiun keberhasilan?

Sumber: TheGuardian, ModernDiplomacy, JapanTimes, TheAthletic, OnlySports, SCMP, MacroTrends

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru