Vinicius Junior berdansa di Metropolitano saat Real Madrid memenangi duel kontra Atletico Madrid pada lanjutan La Liga, dengan skor tipis 2-1. Namun, dansa Vini justru mengundang komentar rasis. Dalam sebuah saluran televisi di Spanyol, Vinicius disebut seperti monyet.
Teriakan “Vinicius adalah seekor monyet” juga menggema di luar stadion. Vini kabarnya juga mendapatkan pelecehan rasial selama 90 menit pertandingan. Tidak sampai di situ, Vini memang kerap menjadi korban rasisme.
Jogetannya untuk merayakan gol mengundang perlakuan rasisme. Presiden Asosiasi Agen Spanyol, Pedro Bravo juga melakukan hal tak etis itu. Dalam sebuah program di El Chiringuito, Bravo menyebut bahwa Vini harus mulai “berhenti seperti monyet” selama perayaan gol.
Quiero aclarar que la expresión “hacer el mono” que he mal utilizado para calificar el baile de celebración de los goles que hace Vinicius lo hecho de manera metafórica (“hacer tonterías”). Cómo mi intención no ha sido ofender a nadie pido sinceramente perdón. Lo siento ¡!
— Pedro Bravo (@PedroBravoJ) September 16, 2022
Dilansir The Athletic, ia kemudian minta maaf terkait hal itu. Lalu, Vinicius pun menanggapi dengan nada satire. “Kebahagiaan seorang kulit hitam Brazil yang menang di Eropa lebih mengganggu orang,” kata Vinicius.
Daftar Isi
Rasisme dalam Sepakbola
Kasus yang menimpa Vini hanya sebagian kecil saja masalah rasisme yang terjadi dalam sepakbola. Sebab rasisme, sebagaimana korupsi, pengaturan skor, dan pelecehan seksual termasuk sisi gelap dalam sepakbola. Entah mengapa, dengan segala intriknya, kasus rasisme ini termasuk yang sulit untuk dituntaskan.
Ian Wright & Alan Shearer send their best wishes to friend Glenn Hoddle. pic.twitter.com/I2YOdnnVl1
— BBC Sport (@BBCSport) October 29, 2018
Dalam sepakbola, kasus rasisme kerap menimpa mereka yang berkulit hitam. Apalagi jika mereka bermain di Eropa. Sebuah wawancara di BBC Sport yang juga dikutip The Conversation, pengamat sepakbola kulit putih, Alan Shearer bertanya soal diskriminasi terhadap pesepakbola kulit hitam.
Shearer menanyakan hal itu kepada mantan pesepakbola, Ian Wright. Mantan pemain Newcastle United itu bertanya ke Ian, “Apakah Anda percaya seseorang kulit hitam diperlakukan berbeda?”. Lalu, Ian Wright menjawabnya dengan yakin, “Tanpa diragukan lagi Al!”.
Diskriminasi terhadap orang kulit hitam ini menjadi sumber masalah yang di kemudian hari makin memperbesar kasus rasisme. Sebelum Vinicius, pesepakbola Inggris, Marcus Rashford juga beberapa kali mendapat perlakuan yang cenderung rasis.
Selain Rashford, pemain anyar Chelsea, Raheem Sterling juga kerap mendapat perlakuan rasis ketika berseragam Manchester City. Trent Alexander-Arnold, Ivan Toney, Anthony Martial, Davinson Sanchez, sampai sayap enerjik, Son Heung-min adalah deretan pesepakbola yang jadi korban pelecehan rasial.
Kasus Rasisme Terus Meningkat
Tak sedikit laporan yang menyebut kasus rasisme dalam sepakbola mengalami peningkatan. The Guardian melaporkan, setidaknya kasus rasisme di sepakbola meningkat 50 persen setiap tahunnya. Misal, pada musim 2017/18, kasus rasisme dalam sepakbola khususnya di Inggris dan Wales adalah 98 kasus.
Setahun setelahnya, yaitu pada musim 2018/19, kasus rasisme dalam sepakbola menjadi 152 kasus. Padahal sebelum-sebelumnya kasus rasisme, terutama yang tidak mengarah ke kekerasan mengalami penurunan. Musim 2013/14 ada 99 kasus, menurun menjadi 78 kasus pada musim 2014/15, lalu menurun lagi pada musim 2015/16 menjadi 68.
Akan tetapi, setelah musim 2015/16, trennya justru meningkat. Pada musim 2016/17, jumlah kasus rasisme dalam sepakbola menjadi 70 kasus. Itu baru kasus yang dihimpun di Inggris dan Wales, belum di negara lain. Pasalnya, menurut laporan The Athletic, kasus rasisme di Spanyol juga mengkhawatirkan. Meski laporan itu tak menyebut jumlahnya.
Stereotip Rasial
Kasus rasisme dalam sepakbola kian sulit terbendung karena dalam masyarakat sudah terbentuk stereotip rasial, terutama di negara-negara Eropa. Dosen Sosiologi dari Universitas Leicester, Paul Ian Campbell menulis sebuah artikel yang menarik di The Conversation.
Ia menulis bahwa dalam sepakbola atau bidang apa pun, orang berkulit hitam acap kali dianggap sulit berkembang. Orang kulit hitam juga sering dianggap malas, kejam, dan kurang memiliki kecerdasan intelektual dan minim karakter. Dalam tulisan itu menyebut, orang berkulit hitam punya kekuatan fisik yang lebih besar dari orang kulit putih.
Dengan kata lain, orang kulit hitam lebih cocok dengan pekerjaan kasar. Sementara soal kemampuan kognitif atau kecerdasan, orang kulit putih dianggap lebih unggul. Stereotip ini muncul dan berkembang, membuat pemain sepakbola berkulit hitam acap kali hanya dilihat sebagai pemain yang memiliki fisik kuat dan kecepatan.
For our brothers
For every black person out there
Stay strong 🖤 #racism outSterling | Rashford | Sancho | Saka | pic.twitter.com/G9bJRkSmHF
— NY bEEZY•⏱ (@carllexjr) July 12, 2021
Pengaruh Media
Stereotip itu makin meluas karena media, ironisnya justru memperkeruh keadaan. Media, suka tidak suka, menjadi biang keladi dikotomi kulit hitam dan putih kian merebak. Bahkan media bertanggung jawab atas meningkatnya kasus rasisme dalam sepakbola.
Studi baru-baru ini menemukan bahwa ada perlakuan berbeda antara pemain kulit hitam dan kulit putih di saluran televisi. Misal saja, The Conversation telah menganalisis 1.009 komentar yang muncul pada gelaran Piala Dunia 2018 yang diberikan ke pesepakbola selama 30 jam dalam liputan BBC dan ITV.
Son Heung-min has revealed he faced racism as a teenage footballer in Germany and was happy to get “revenge” when he helped knock Germany out of the 2018 World Cup 🗣 pic.twitter.com/gxpCnsal9S
— ESPN UK (@ESPNUK) July 6, 2022
Hasilnya, pemain berkulit hitam kebanyakan dipuji karena kecakapan fisik dan tubuh yang atletis. Sementara, pemain kulit putih dipuji karena kecerdasan dan karakternya. Komentar itu muncul dari komentator pertandingan. Hal itu menunjukkan pemain kulit hitam hanya akan diperhatikan soal kekuatan dan kecepatannya.
Dampak Buruk
Rasisme dalam sepakbola, yang sebagian besarnya berasal dari diskriminasi rasial sangat problematik. Perlakuan rasisme bahkan mendatangkan dampak buruk bagi pemain. Bahwa pesepakbola kulit hitam, sekali lagi, hanya akan dilihat dari kekuatan fisik dan kecepatannya.
Itulah yang pernah dialami oleh Raheem Sterling saat membela Timnas Inggris di Piala Dunia 2018. Seorang komentator sepakbola di talkSPORT dan juga mantan gelandang Wales, Vinnie Jones berkomentar, pemain seperti Sterling tidak akan bermain di Liga Inggris kalau ia tidak memiliki kecepatan.
Vinnie Jones on Raheem Sterling 🗣 “Sometimes you look at Sterling and you think, if he didn’t have that pace he’d be playing for Exeter or someone.”#ThreeLions pic.twitter.com/K2DeveTlD8
— Betfred (@Betfred) July 9, 2018
Sterling lebih layak bermain di kasta terendah Liga Inggris. Jadi, seolah-olah Sterling ini tidak memiliki kemampuan taktis dan kecerdasan dalam bermain bola. Padahal dulunya ketika bermain, Jones sendiri juga memiliki kemampuan teknis yang terbatas.
Selain di dalam lapangan, faktanya orang berkulit hitam di Inggris lebih mudah ditangkap. Orang berkulit hitam sering dilegitimasi brutal oleh negara. Bahkan pemain berkulit hitam sering dikeluarkan karena perlakuan buruk.
Kepedulian Penggemar
Selain sekelompok penggemar yang menebalkan rasisme dalam sepakbola, kenyataannya tak sedikit penggemar sepakbola yang peduli pada kasus rasisme. Mereka bahkan memiliki kekhawatiran terhadap pemain idolanya yang mendapat perlakuan rasis.
Sebuah survei yang dilakukan YouGov, yang juga dikutip Sky Sports News, sekitar 62 persen dari 1.200 penggemar sepakbola Inggris khawatir menyaksikan pemainnya terkena pelecehan rasial. Dari sini kita bisa tarik kesimpulan bahwa penggemar sepakbola juga tidak nyaman dengan rasisme.
Premier League, sementara itu cukup tegas soal rasisme. “No Room for Racism,” sebuah semangat untuk melawan rasisme di Liga Primer Inggris. Otoritas EPL akan memberikan hukuman bagi mereka yang melakukan pelecehan rasial. Tidak peduli itu perorangan atau klub.
No room for racism in Aotearoa. Haere atu, fashtrash. Don’t stay in touch xx pic.twitter.com/vYqxy9zUQF
— Pōneke Anti-Fascist Coalition (@PonekeAntifa) August 22, 2022
Hukumannya bisa denda, larangan stadion atau pertandingan tanpa penonton, pengurangan poin, penangkapan, dan lain sebagainya. Namun, bisa juga tidak ditangani sama sekali. Sementara itu, di Spanyol, rasisme kurang diperhatikan. Otoritas sepakbola Spanyol sering kali menyerahkan hukuman terkait rasisme pada wasit.
Dan tentu saja, hal semacam itu tidaklah efektif. Di samping seruan bersama untuk menolak rasisme, perlu adanya upaya serius dari otoritas sepakbola terkait untuk menangani kasus rasisme. Sebab jika tidak, kasus rasisme dalam sepakbola hanya akan seperti bola salju.
https://youtu.be/HxIJhItJ7ao
Sumber: TheGuardian, TheConversation, SkySports, Folha, BR, TheAthletic, Goal