Mengenal Regulasi Unik “50+1” di Bundesliga

spot_img

Sepak bola modern mendorong investor untuk menanamkan modalnya sebanyak yang mereka mampu. Hal itu sudah terjadi di liga-liga top Eropa. Misalnya, kita bisa melihat bagaimana Paris Saint-Germain diguyur dana segar Qatar Sport Investments yang dikomandoi Nasser Al-Khelaifi. Atau kita bisa juga melihat tim lain seperti Manchester City di Liga Inggris.

Setiap liga memang punya kebijakannya masing-masing. Jika di Inggris dan Prancis siapa saja boleh berinvestasi dan menguasai klub, di Spanyol lain lagi. Beberapa klub La Liga menerapkan sistem kepemilikan socios, di mana para penggemar yang tergabung bisa memiliki klub. Secara singkat, sistem kepemilikan di sepak bola modern acap kali dimiliki satu pihak saja.

Namun, hal itu tidak terjadi di Bundesliga. Sebab Liga Jerman menerapkan regulasi “50+1”. Regulasi yang bisa membuat klub dimiliki oleh swasta sekaligus penggemar. Jadi seperti apa sih, regulasi “50+1” tersebut? 

Sejarah Regulasi 50+1

Regulasi 50+1 sudah diterapkan oleh pengelola Liga Sepakbola Jerman sejak tahun 1998 silam. Regulasi 50+1 adalah aturan yang dirancang untuk menjaga stabilitas finansial, bukan untuk memperkaya klub. Namun, apa sih maksud dari 50+1? Udah kayak pemilu aja 50+1.

Sederhananya, saham mayoritas klub harus dimiliki oleh pihak non komersial, yaitu para fans. Jumlahnya 51% dari keseluruhan saham klub. Sementara pihak asing yang hendak berinvestasi hanya boleh mengambil alih saham sisanya, yaitu 49%. Tidak boleh lebih dari itu. Regulasi ini berlaku untuk seluruh liga di bawah naungan Bundesliga.

Dengan kata lain, pemilik hak suara mayoritas adalah pihak yang menyetorkan modal tertinggi. Namun dalam konsep regulasi Bundesliga yang satu ini, suporter jadi pemasok modal tertinggi. Penerapan regulasi ini juga untuk memastikan tidak ada klub yang dijadikan seperti sapi perah oleh para investor.

Nah, untuk persentase pembagiannya sendiri, setiap klub berbeda-beda. Bayern Munchen contohnya. Klub yang bermarkas di Allianz Stadium itu kepemilikan hak suara suporternya mencapai 82% dan sisanya dimiliki oleh investor eksternal.

Kebijakan ini sangat jitu untuk menghindari klub dari ketergantungan dengan investor asing. Jadi, ketika bertemu dengan investor modelan hanya coba-coba selama tiga sampai lima tahun saja, klub masih bisa beroperasi karena kekuatan utama berada di tangan suporter.

Tiket Jadi Murah

Regulasi ini pula yang membuat harga tiket Bundesliga tidak semahal liga Eropa lainnya. Menurut berbagai sumber, rata-rata harga tiket nonton pertandingan Bundesliga berada di angka 130 euro atau sekitar Rp2,1 juta. Itu jauh lebih murah bila dibandingkan dengan harga tiket pertandingan di lima liga top lainnya.

Contohnya saja di Premier League. Para suporter harus mengeluarkan dana minimal 300-an euro atau sekitar Rp5 jutaan hanya untuk membeli satu tiket pertandingan. Itu juga mungkin hanya pertandingan tim papan bawah. Sementara di Serie A, kabarnya tiket paling murah dimiliki oleh Empoli. Mereka menjual satu tiket dengan harga 145 euro atau sekitar Rp2,3 juta. Lebih mahal dari rata-rata harga tiket di Bundesliga.

Murahnya tiket pertandingan Bundesliga tentunya berdampak pada jumlah penonton yang hadir di stadion. Dengan kebijakan “pro suporter” itu stadion-stadion milik klub-klub Jerman selalu terisi penuh di setiap pertandingannya. Tak heran apabila penjualan tiket sangat berperan dalam keseimbangan ekonomi klub.

Power Suporter

Regulasi 50+1 yang diberlakukan oleh sepakbola Jerman, suporter pun punya pengaruh besar dan berhak menghadiri rapat tahunan pemegang saham. Misalnya, pada tahun 2021 kemarin, The Athletic melaporkan ada sekitar 100 orang suporter Bayern mendatangi markas klub untuk menyatakan ketidaksetujuan bergabung dengan European Super League (ESL).

Dengan begitu, klub tidak bisa menyepelekan keberadaan suporter. Hal ini beririsan karena kultur dan sistem sepak bola yang dirawat di Jerman sangat mengutamakan suporter. Kuatnya pengaruh suporter bahkan, dalam kasus Bayern Munchen tadi, bisa memaksa petinggi klub untuk turun jabatan. Apalagi kalau nekat bergabung dengan ESL.

Bundesliga juga memiliki istilah Fan Project. Itu merupakan sebuah forum yang mempertemukan suporter dengan pihak klub agar tetap memiliki hubungan yang baik. Para suporter dilibatkan dalam penentuan masa depan klub, pengawasan keuangan, bahkan ketika klub ingin mendatangkan pemain.

Dengan memberikan suporter kontrol yang besar, bukan berarti regulasi ini tanpa kelemahan. Model kepemilikan semacam ini membuat klub-klub di Jerman menghadapi tantangan di tengah pandemi virus corona tahun 2020 kemarin. 

Bahkan 16 dari 32 klub yang berlaga di dua kasta tertinggi Liga Jerman bahkan dilaporkan hampir bangkrut saat itu karena sepinya penonton. Sebab biasanya, dalam tiga musim sebelum pandemi, penjualan tiket Bundesliga selalu di atas 500 juta euro (Rp8 triliun) per tahun.

Pengecualian

Bagaimana Bundesliga menerapkan regulasi ini, ternyata tidak saklek-saklek banget. Operator liga memberikan pengecualian pada beberapa klub, yakni Wolfsburg dan Bayer Leverkusen. Kedua klub tersebut diberikan kelonggaran karena sudah menggunakan investor lokal yang sama selama lebih dari 20 tahun lamanya.

Bayer Leverkusen sendiri didirikan pada tahun 1904 oleh karyawan perusahaan farmasi Jerman, Bayer yang berbasis di Leverkusen. Sementara itu, Wolfsburg didirikan pada tahun 1945 oleh para pekerja pabrik kendaraan, Volkswagen. Die Wolfe didirikan tujuh tahun setelah kota Wolfsburg lahir untuk memberi wadah kegiatan positif bagi para pekerja Volkswagen.

Menurut beberapa sumber, Hoffenheim juga mendapat keistimewaan dari Bundesliga. Tapi privilege yang diterima oleh klub dirasa kurang afdol. Karena Dietmar Hopp baru mendapat izin dari Asosiasi Sepak Bola Jerman untuk menanamkan modalnya di Hoffenheim pada tahun 2015. Memang kesepakatan akan menjadi pemilik klub selama 20 tahun kedepan. Tapi ya tetap saja belum 20 tahun. 

Kalau RB Leipzig Gimana?

Lalu bagaimana dengan RB Leipzig? Klub yang satu ini memiliki cerita yang lain lagi. Setelah mendapat pengakuisisian dari minuman berenergi asal Austria, Red Bull klub ini secara tertulis mematuhi regulasi yang ada di Bundesliga. Namun, yang jadi pertanyaan siapa fans Leipzig yang notabene klub kemarin sore?

Nah, di sinilah otak bisnis Red Bull bekerja. Bundesliga hanya mengatur soal besaran persentase saham, bukan berapa suporter yang harus memegang saham. Jadi, klub yang sejatinya bernama RasenBallsport Leipzig memberikan hak suara mayoritasnya kepada 17 orang suporter. Cukup jauh apabila dibandingkan dengan Dortmund yang memberikan hak suara mayoritasnya kepada lebih dari 140 ribu suporter. 

Kabarnya, 17 orang suporter Leipzig tersebut merupakan karyawan Red Bull itu sendiri. Jadi, bisa dibilang RB Leipzig 100% milik Red Bull. Publik Jerman pun jadi membenci Leipzig karena dianggap telah merusak tradisi sepakbola mereka. Namun, Leipzig punya jawaban sendiri atas cacian itu. Mereka merasa tidak melanggar regulasi Bundesliga, karena cuma menyesuaikan diri. Cerdik bukan? Ternyata mengakali regulasi tidak hanya terjadi di Indonesia saja ya…

https://youtu.be/BfZX1bCVVd8

Sumber: Bundesliga, FFT, DW, The Flanker

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru