Pemecatan Hans-Dieter Flick oleh Timnas Jerman semakin menunjukkan bahwa pelatih yang sukses di level klub belum tentu berhasil ketika melatih tim nasional. Hansi Flick meraih banyak trofi saat menukangi Bayern Munchen. Namun, modal itu tidak lantas membuatnya bisa menangani Timnas Jerman dengan mudah.
Flick dipecat karena gagal membawa Timnas Jerman ke jalur yang semestinya. Ia menjadi pelatih kesekian yang tidak menemui titik keberhasilan saat melatih tim nasional, meski bagus di level klub. Hal itu bukanlah pemandangan langka.
Masih banyak pelatih-pelatih lain yang punya nasib serupa dengan Hansi Flick. Masalahnya, mengapa bisa demikian? Mengapa kesuksesan seorang pelatih di level klub tidak bisa menjamin keberhasilannya di timnas?
Daftar Isi
Banyak yang Gagal
Jika mendaftar seluruh nama pelatih yang punya CV mentereng di klub, tapi gagal di tim nasional tentu video ini akan panjang sekali. Alih-alih demikian, kita akan mencoba menelusuri beberapa di antaranya.
Masih ingat dengan sosok Kevin Keegan? Sebelum era Eddie Howe, Newcastle juga pernah mengalami masa keemasan kala ditukangi manajer yang satu ini. Keegan adalah pelatih yang membawa Newcastle United dari divisi dua ke divisi satu sampai dipromosikan ke Liga Primer.
Kevin Keegan’s Newcastle promoted to the top flight in 1993 pic.twitter.com/xP8SgXujML
— When Football Was Better (@FootballInT80s) September 20, 2021
Toon Army juga dibawanya finis sebagai juara kedua dalam dua musim beruntun (1995/96 dan 1996/97). Keegan juga sukses saat melatih Fulham dan Manchester City. Namun, ketika melatih Timnas Inggris ia gagal total. Di EURO 2000, Inggris dibuatnya tersingkir dari babak grup.
Fabio Capello juga mengalami nasib serupa. Ia memenangkan empat gelar Serie A dan satu trofi Liga Champions bersama AC Milan. Capello juga sukses menyabet dua gelar La Liga kala menukangi Real Madrid. Di AS Roma, pelatih kelahiran Pieris ini berhasil mempersembahkan scudetto. Namun saat melatih tim nasional, Capello gagal total.
Saat melatih Inggris di Piala Dunia 2010, ia harus menelan pil pahit kalah dari Jerman 4-1 di perdelapan final. Lalu, setelah mengundurkan diri dan menukangi Timnas Rusia, Capello juga gagal. Rusia tidak lolos ke fase gugur Piala Dunia 2014 dan penampilannya goyah di EURO 2016. Ia pun dipecat.
Fabio Capello is a ‘thief’, says MP Vladimir Zhirinovsky, after Russia’s early World Cup 2014 exit pic.twitter.com/uigNYclyRv
— 360daynews (@360daynews) July 3, 2014
Timnas Biasanya Dilatih Pelatih Tua
Jose Mourinho pernah mengatakan, melatih tim nasional adalah “pekerjaan untuk orang-orang tua”. Perkataan Mourinho itu ada benarnya. Kebanyakan pelatih klub yang akhirnya melatih tim nasional adalah mereka yang sudah kenyang dengan pengalaman di level klub.
Fabio Capello misalnya. Ia menukangi Timnas Inggris dan Rusia saat kariernya bisa dikatakan sudah sampai ke ujung. Begitu pula Carlo Ancelotti yang kabarnya sudah sepakat melatih Timnas Brasil tahun depan. Carletto kini sudah berada di ujung kariernya.
Ia sudah memasuki usia pensiun sebagai pelatih. Meski tidak ada yang namanya waktu yang tepat untuk pensiun, karena sejatinya bergantung pada si pelatih dan Tuhan. Namun, semakin tua seseorang akan mempengaruhi kemampuan berpikir. Sedangkan pelatih butuh itu.
Carlo Ancelotti will become Brazil's coach when his Real Madrid contract ends in 2024, reports @geglobo 🇧🇷 pic.twitter.com/ymihRjFyyg
— B/R Football (@brfootball) June 19, 2023
Tak Punya Waktu Panjang untuk Bereksperimen
Melatih klub adalah satu hal, sedangkan melatih tim nasional adalah hal yang lain. Seorang pelatih klub pasti punya waktu yang lebih dari cukup untuk bereksperimen. Minimal dalam satu musim. Para pelatih seperti Josep Guardiola, Jurgen Klopp, sampai Mikel Arteta punya waktu untuk menyusun skuad dengan trial and error.
Mereka bisa melakukan itu sembari melihat hasilnya. Pertandingan kompetitif akan selalu ada di level klub. Jika gagal dengan satu taktik, seorang pelatih bisa mencobanya dengan taktik lain. Apabila seorang pemain dirasa tak punya kapasitas untuk mengisi satu ruang di formasinya, seorang pelatih bisa menggantikannya dengan pemain lain.
Lagi pula jika hasil eksperimennya gagal, katakanlah harus kalah di satu pertandingan di liga, hanya akan berdampak kecil. Sementara di level tim nasional, yang mana kompetisinya cuma sebentar, kalah satu laga bisa dampaknya lebih luas.
Minim Waktu Berlatih
Hal itu juga bertalian erat dengan waktu latihan yang sedikit. Berbeda di level klub yang setiap hari pelatih dan pemain bertemu. Pelatih timnas tidak sering bertemu dengan para pemainnya untuk berlatih. Mereka harus menunggu hitungan bulan atau saat ada jeda internasional.
Ya kalau si pemain bisa cepat beradaptasi dengan gaya bermain dan taktik seorang pelatih, jika tidak? Masalah lainnya, pemain ketika datang untuk berlatih bersama tim nasional belum tentu dalam kondisi bugar, sehat, dan fit. Jika yang datang adalah pemain yang ternyata cedera, tentu akan berpengaruh. Walaupun cederanya ringan.
Minim waktu berlatih itulah yang kadang bahkan membuat performa suatu timnas tidak seperti apa yang diharapkan. Barangkali yang terjadi pada Timnas Jerman di bawah Hansi Flick begitu.
BREAKING! Hansi Flick dipecat dari jabatan pelatih Timnas Jerman. Dia dianggap gagal memperbaiki tim, walaupun sudah diberi kesempatan kedua setelah hasil buruk di Piala Dunia 2022. Dua asisten Hansi, Marcus Sorg dan Danny Röhl juga dibebastugaskan.
— Spieltag Indonesia (@SpieltagIndo) September 10, 2023
Rudi Völler, Hannes Wolf, dan… pic.twitter.com/GHwAeadJ9C
Faktor Finansial
Di klub, seorang pelatih bisa menambal lubang timnya dengan terjun di bursa transfer. Atau pelatih bisa membeli pemain dengan banderol yang mahal serta gaji yang mencekik leher. Bagi tim-tim kaya seperti Manchester City, PSG, Newcastle United, Manchester United, Real Madrid, dan Barcelona itu tidak masalah.
Tapi coba bandingkan dengan pelatih timnas. Mereka harus memantau sendiri pemain-pemain yang akan dipanggil. Ini akan menjadi rumit lantaran bisa jadi ada dua pemain yang performanya sedang bagus di klub namun berbenturan dengan kuota. Jatah yang terbatas bikin pelatih timnas kadang perlu mengorbankan salah satu.
Memang, kesuksesan tim nasional tidak tergantung pada ada atau tidaknya pemain berbanderol mahal, melainkan bergantung pada soliditas tim. Nah, justru inilah masalah berikutnya. Selain tidak disokong kekuatan finansial seperti di klub, pelatih timnas juga harus mendorong para pemainnya kompak.
Manajemen Pemain Rumit
Sering kali untuk melakukannya bukan perkara gampang. Apalagi pelatih timnas akan bertemu para pemain bintang di level klub. Pelatih timnas harus mengorganisir para pemain bintang itu agar bermain utuh dalam satu tim.
Seorang pelatih timnas acap kali kesulitan melakukan hal tersebut. Ingat bagaimana Fernando Santos pernah terlibat friksi dengan Cristiano Ronaldo di Timnas Portugal? Mengelola ego para pemain bintang tidak mudah. Belum lagi para pelatih timnas juga tidak bisa intens mengontrol para pemainnya.
Fernando Santos sacked by Poland after just 5 games!
— 7 (@NoodleHairCR7) September 11, 2023
He ruined our last World Cup and God ruined his managerial career. pic.twitter.com/8ZIik3bvqk
Mereka tidak punya kendali pada pemainnya sepanjang tahun. Klub seringkali melindungi pemainnya dan bisa jadi enggan untuk melepasnya ke tim nasional. Makanya konflik antara pelatih klub dan pelatih timnas pun bisa lahir dari situ.
Tekanan Tinggi
Sudahlah tak punya waktu, tak cukup didukung finansial yang kokoh, sampai manajemen pemain yang rumit, pelatih timnas juga harus menghadapi tekanan tinggi. Hal yang sebenarnya juga dihadapi oleh pelatih klub. Namun, di level klub seorang pelatih bisa membalikkan keadaan dari situasi buruk. Lihatlah apa yang dilakukan Arsene Wenger di Arsenal dan Josep Guardiola di Manchester City.
Sementara di level timnas, seorang pelatih memikul beban semua orang dalam satu negara dan hanya punya sedikit sekali peluang untuk bangkit ketika gagal. Di tim nasional, seorang pelatih mempertaruhkan harga diri bangsa.
Fernando Santos po #ALBPOL:
— Emilian (@yasero_thfc) September 10, 2023
"They are used to it here at Poland. They don't play for something important. They don't want to play under pressure, under stress. It is easy in this way!"
"Poland story's this for 31 years, there’s the President but they never won something. Why?" pic.twitter.com/RZKTZu4WZx
Bukan hanya kepentingan satu dua orang sebagaimana yang terjadi di klub. Kecuali di negara-negara tertentu. Indonesia tidak termasuk. Nah, tekanan itulah yang bahkan membuat pelatih yang berkarib dengan tekanan di level klub akan goyang ketika mengalami hal sama saat melatih tim nasional.
Well, meski banyak pelatih yang sukses di level klub tapi gagal di timnas, ada pula pelatih yang sukses saat melatih klub maupun timnas. Marcello Lippi, Luis Aragones, Didier Deschamps, sampai Vicente del Bosque adalah contohnya. Meskipun orang seperti mereka nyaris punah. Kalau menurut kalian bagaimana?
Sumber: Sportskeeda, Quora, Sportskeeda, IndoSport, IDNTimes, Goal