Kabar duka datang dari Liga Spanyol, tepatnya dari LaLiga 2 atau Segunda Division. Kompetisi kasta kedua Liga Spanyol itu baru saja menyelesaikan laga jornada 41. Artinya, tinggal 1 pertandingan lagi. Namun, hasil apapun di pekan pamungkas sudah tak berarti bagi Malaga Club de Futbol.
Malaga yang sedang mengharap keajaiban harus memenangkan dua pertandingan pamungkas, sembari berharap Sporting Gijon, rival terdekat mereka, kalah di sisa pertandingan agar terhindar dari degradasi. Sayangnya, skenario terlampau indah itu tak direstui takdir.
Di laga jornada ke-41 LaLiga2, Malaga harus menelan pil pahit. Di laga yang harusnya mereka menangkan itu, Malaga justru kalah 2-1 saat bertandang ke markas Alaves. Sialnya, di laga lain, Sporting Gijon berhasil meraih 1 poin di kandang Eibar.
Hasil tersebut membuat koleksi poin Malaga terhenti di angka 43. Malaga hanya mencatat 10 kemenangan dan sudah menelan 18 kekalahan dalam 41 pertandingan. Sebuah hasil yang membuat klub yang bermarkas di La Rosaleda itu mendekam di zona degradasi, tepatnya di tangga 19 klasemen.
Kekalahan atas Alaves ditambah hasil imbang yang diraih Sporting Gijon itu telah membuat perjuangan Malaga selama 5 musim di Segunda Division berakhir dengan kegagalan. Los Boquerones dipastikan menjadi klub keempat yang terdegradasi dari Segunda Division musim ini.
Kemenangan di pekan terakhir sudah tak sanggup menyelamatkan Malaga dari pedihnya degradasi. Sebuah hasil yang membuat Malaga harus turun kasta ke Divisi 3 Liga Spanyol untuk pertama kalinya sejak 1998.
Dulu, Malaga Nyaris Menembus Semifinal UCL
Kabar dari Malaga tersebut tentu menyedihkan, apalagi ketika kita mengingat kembali kiprah klub tersebut sedekade silam. Sebelum menjadi klub yang menyedihkan seperti saat ini, Malaga dulu pernah menjadi klub yang diperhitungkan. Percaya atau tidak, Malaga bahkan pernah nyaris menembus semifinal Liga Champions Eropa.
Masa-masa indah itu terjadi di era kepelatihan Manuel Pellegrini. Malaga yang ambisius memboyong pelatih berjuluk “The Engineer” itu pada November 2010, tak lama setelah menjalani start yang buruk bersama Jesualdo Ferreira.
Dengan uang melimpah, Pellegrini menghabiskan tak kurang dari £55 juta untuk belanja pemain bintang, seperti Martin Demichelis, Willy Caballero, Julio Baptista, Joaquin, Ruud van Nistelrooy, Jeremy Toulalan, Nacho Monreal, Isco, hingga Santi Cazorla. Hasil dari investasi tersebut akhirnya Malaga petik dengan manis di tahun 2012.
Di musim 2011/2012, Malaga berhasil finish di peringkat 4 La Liga dan berhak atas tiket babak kualifikasi Liga Champions Eropa untuk pertama kalinya dalam sejarah. Los Boquerones kemudian melanjutkan kisah manisnya dengan menembus babak grup UCL usai mengandaskan Panathinaikos di partai play-off.
Tergabung di Grup C bersama AC Milan, Zenit Saint Petersburg, dan Anderlecht, Malaga yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di Liga Champions sukses membuat kejutan. Tak tersentuh kekalahan, Malaga melangkahi Milan dan lolos ke fase gugur dengan status juara grup.
Dongeng Malaga kemudian berlanjut di babak 16 besar. Dihadapkan dengan FC Porto, Malaga yang kalah 1-0 di leg pertama berhasil membalas 2-0 di leg kedua. Menang agregat 2-1, Los Boquerones lolos ke babak perempat final untuk menantang Borussia Dortmund.
Di leg pertama partai 8 besar yang digelar di La Rosaleda, Malaga berhasil menahan Dortmund 0-0. Hanya tinggal membutuhkan hasil imbang, pasukan Manuel Pellegrini di luar dugaan unggul 2-1 hingga menit ke-90 berkat gol Joaquin dan Eliseu. Sayangnya, hanya tinggal sejengkal dari partai semifinal UCL, Dortmund berhasil membalikkan kedudukan melalui gol Marco Reus dan Felipe Santana di masa injury time.
Perjalanan ajaib Malaga di UCL pun berakhir. Dan seiring dengan itu, perjalanan Malaga di kompetisi antarklub Eropa juga ikut berakhir. Euforia Malaga yang digadang-gadang bakal jadi “Manchester City-nya Spanyol” sirna bak kilat.
Melanggar aturan FFP, Los Boquerones dilarang berpartisipasi dalam kompetisi antarklub Eropa musim berikutnya, meskipun baru saja menyelesaikan liga di posisi keenam. Sejalan dengan hukuman tersebut, Manuel Pellegrini hengkang dan secara perlahan Malaga jatuh ke jurang kehancuran yang sebelumnya tak pernah terbayangkan.
Kronologi Jatuhnya Malaga
Apa yang Malaga derita hingga detik ini berawal dari krisis finansial yang mereka derita di akhir musim 2009/2010. Sebuah masalah keuangan yang membawa klub berpindah tangan dari Lorenzo Sanz ke investor asal Qatar, Sheikh Abdullah bin Nasser Al-Thani yang membeli saham mayoritas Malaga seharga €36 juta.
Hadirnya Skeikh Abdullah Al-Thani memberi harapan kepada para simpatisan Malaga. Salah satu orang terkaya di Qatar itu masih satu keluarga dengan Emir Qatar dan merupakan Wakil Presiden sekaligus pemilik saham di Doha Bank. Dengan latar belakang tersebut, wajar bila publik membayangkan Malaga bakal jadi klub sultan laiknya Manchester City di Inggris.
Selaku owner, Skeikh Al-Thani juga berani bermimpi menjadikan Malaga sebagai klub besar di Spanyol, atau bahkan sanggup mendobrak dominasi Real Madrid dan Barcelona. Hasil yang diraih Malaga di bawah asuhan Manuel Pellegrini sempat memvalidasi harapan-harapan tersebut. Namun, euforia tersebut hanya berlangsung singkat.
Setelah musim debut yang luar biasa di UCL, Malaga lagi-lagi dihadapkan dengan masalah finansial. Malaga terlilit utang. Biaya transfer dan gaji pemain yang besar, serta sedikitnya pendapatan komersial membuat mereka dikabarkan telat membayar gaji para pemainnya.
Singkat cerita, Malaga dianggap telah melanggar aturan FFP dan menjadi klub pertama di Eropa yang dilarang tampil di kompetisi yang berada di bawah naungan UEFA selama 1 musim. Tak hanya itu, Malaga juga dijatuhi denda sebesar €300 ribu.
Setelah keputusan tersebut, eksodus pemain terjadi. Sepertinya, demi mengurangi beban utang dan gaji, Malaga melego Joaquin, Jeremy Toulalan, dan Isco di musim panas 2013. Javier Saviola, Julio Baptista, dan Martin Demichelis menyusul kemudian di musim dingin 2014. Sebelumnya, pada bulan Mei 2013, Manuel Pellegrini lebih dulu memutuskan hengkang dari La Rosaleda.
Setelah periode tersebut, prestasi Malaga perlahan menurun. Jangankan lolos lagi ke UCL, untuk bersaing di papan atas La Liga saja Los Boquerones sudah tak sanggup. Di akhir musim 2013/2014, mereka hanya finish di urutan 11. Sempat finish di peringkat 9 dan 8 di 2 musim berikutnya, Malaga kembali finish di peringkat 11 pada musim 2016/2017. Puncaknya, pada musim 2017/2018, Malaga remuk redam, menjadi juru kunci dan terdegradasi dari La Liga Spanyol.
Jatuhnya Malaga ini jelas tak lepas dari kehadiran Skeikh Abdullah Al-Thani yang ironisnya dulu hadir sebagai juru selamat. Melanggar aturan Financial Fair Play menandakan kalau Al-Thani mengendalikan Malaga dengan ugal-ugalan. Di luar lapangan, bisnis Al-Thani juga gagal.
Pada 2012 silam, Al-Thani sempat menjalin kerja sama dengan BlueBay Hotels untuk sama-sama mengelola klub dan menjanjikan 49% saham Malaga. Namun, 2 tahun kemudian, kerajaan Qatar mengumumkan bahwa kesepakatan tersebut tak pernah terwujud. BlueBay kemudian menarik diri dan belakangan sang mitra bisnis berbalik menyerang Al-Thani di pengadilan.
Di periode yang sama, Al-Thani juga punya proyek bisnis yang gagal. Pada 2011 silam, ia berencana membangun kembali marina di wilayah Marbella. Dengan investasi €400 juta, proyek tersebut bakal dinamai Marina Al-Thani. Namun, proyek tersebut bermasalah dengan Al-Thani gagal memenuhi komitmen finansialnya.
Hingga akhirnya, pada Februari 2020, pengadilan regional memerintahkan pemecatan Skeikh Abdullah Al-Thani dari kursi presiden Malaga. Al-Thani diduga menggelapkan dana klub. Hasil audit berkata bahwa Al-Thani dan keluarganya berutang lebih dari €7 juta kepada klub. Kendali klub kemudian diserahkan kepada administrator yang ditunjuk oleh pengadilan.
Apa yang dialami oleh Malaga sebetulnya merupakan anomali. Biasanya, klub yang dimiliki oleh investor Timur Tengah bertransformasi menjadi klub sultan. Namun, yang terjadi di La Rosaleda justru sebaliknya.
Malaga, Riwayatmu Kini
Semenjak Skeikh Abdullah Al-Thani tak lagi menjabat sebagai presiden, kondisi keuangan Malaga sebetulnya sudah membaik dan lebih terkendali, meskipun Al-Thani masih tercatat sebagai owner. Namun, untuk kembali ke titik di mana mereka sanggup membuat kejutan lagi di Liga Champions tentu sangatlah sulit. Bahkan, untuk sekedar melepaskan diri dari Segunda Division saja tak mampu.
Selama 5 musim berkutat di divisi 2, Malaga pernah nyaris menembus promosi di musim debutnya di LaLiga 2, tepatnya di musim 2018/2019. Sayangnya, Malaga langsung kalah dari Deportivo La Coruna di semifinal play-off. Setelah itu, Malaga tak pernah lagi mendapat kesempatan, bahkan nyaris terdegradasi di musim lalu.
Musim 2022/2023 ini bisa dibilang sebagai musim terburuk Malaga di kasta kedua Liga Spanyol. Buruknya musim ini bahkan sudah terlihat sejak awal. Mereka hanya meraih 1 kemenangan dalam 6 pertandingan pembuka. Setelah menang di pekan ke-3, Malaga baru meraih kemenangan keduanya di pekan ke-11.
Meski telah ditangani 3 pelatih berbeda musim ini, bahkan sempat ditangani Pepe Mel, pelatih spesialis promosi, Malaga tak sanggup keluar dari zona degradasi sejak jornada ke-5. Ironisnya, Los Boquerones tercatat hanya 2 pekan aman dari degradasi, sisanya mereka jadi penghuni tetap zona merah.
Terdegradasinya Malaga ke Divisi 3 Liga Spanyol telah memperburuk nasib Malaga yang sudah menyedihkan selama beberapa tahun belakangan. Musim-musim penuh bencana seperti ini bisa terus berlanjut selama Malaga masih dipegang oleh Skeikh Abdullah Al-Thani yang sudah terlihat tidak peduli dengan klubnya.
Malang betul nasib Malaga. Sang presiden yang digulingkan itu selalu menolak tawaran yang masuk. Bahkan, ketika Nasser Al-Khelaifi tertarik mengambil alih, Skeikh Abdullah Al-Thani dengan konsisten menjawab: “Saya tidak akan pernah menjual Malaga”.
Semoga aja ada keajaiban yang bisa menyelamatkan Los Boquerones dari penderitaanya. Meski keajaiban tersebut berupa putusan pengadilan yang menyakitkan, para pendukung setia Malaga sepertinya tidak masalah, asal klub kesayangan mereka bisa keluar dari neraka.
Referensi: Sur in English, These Football Times, Football Espana, BBC, Sur in English.