Setiap klub sepakbola pasti punya slogan guna menggambarkan ambisi dan mimpi mereka di masa depan, tak terkecuali klub-klub Bundesliga. Contohnya saja Bayern Munchen dengan “Mia San Mia” yang artinya “Kita adalah kita.” Menurut sejarahnya, slogan tersebut melambangkan semangat atau mentalitas klub untuk terus meraih kesuksesan.
Terlihat keren bukan? Namun, makna yang sama tak dimiliki oleh SC Freiburg. Agak laen memang. Mereka justru menggunakan slogan yang biasa-biasa aja, yakni “More Than Football” atau jika diartikan adalah lebih dari sekadar sepakbola. Tidak istimewa dan terdengar mainstream. Layaknya slogan, daya pikat Freiburg di Bundesliga juga biasa-biasa saja.
Dari segi permainan, materi pemain, dan prestasi. Semuanya biasa-biasa saja. Tapi itulah tujuan utama dari klub tersebut. Loh, Gimana nih maksudnya? Freiburg nggak pengen meraih kejayaan di Bundesliga gitu? Untuk lebih jelasnya, mari kita ulas bersama.
Daftar Isi
SC Freiburg
Didirikan pada tahun 1904, klub ini awalnya dikenal sebagai klub yang bernama Freiburger Fussballverein 04. Sebelum akhirnya berganti nama menjadi Sport-Club Freiburg atau yang disingkat SC Freiburg.
Freiburg sebetulnya bukan klub terbesar di sektor Jerman Barat Daya. Dulu, masih ada Freiburger FC yang jauh lebih terkenal dan berprestasi ketimbang SC Freiburg. Namun, sejak 1970-an hingga sekarang, Freiburg telah melangkah lebih jauh dan meninggalkan Freiburger di kasta keenam liga sepakbola Jerman.
Meski berhasil mengungguli rival satu kota dan kini tampil di kasta tertinggi, Freiburg tak dikenal sebagai klub yang hebat. Bagi pecinta sepakbola Jerman, SC Freiburg barangkali hanya menjadi salah satu tim yang tidak terlalu terkenal lantaran tak punya banyak prestasi.
Maka dari itu, Freiburg tak begitu dilirik oleh para sponsor. Beberapa sponsor yang menawarkan dana besar lebih senang mendekati tim-tim papan atas yang lebih berpeluang meraih gelar. Namun, hal tersebut tak jadi masalah bagi Freiburg.
Tak Punya Ambisi
Klub yang berjuluk Breisgau-Brasilianer memang terkesan bodo amat dengan uang dan kesempatan untuk menjadi klub yang lebih berprestasi. Bahkan, beberapa masyarakat Jerman meyakini bahwa Freiburg adalah klub yang tak berambisi. Mereka hanya menjalani hidup apa adanya dan sebagaimana yang sudah ditakdirkan saja.
Jika klub-klub lain seperti Bayer Leverkusen dan Borussia Dortmund berlomba-lomba untuk menggulingkan dominasi Bayern Munchen, Freiburg justru lebih suka menyimak dari jauh. Freiburg tidak menyukai konflik dan drama. Mereka tak mau memberikan effort berlebih hanya untuk melawan klub yang levelnya jauh di atas.
Freiburg juga tak gemar belanja pemain dengan bandrol selangit. Menurut situs Transfermarkt, rekor transfer yang pernah dipecahkan oleh Freiburg hanya 10 juta euro saat mendatangkan Baptiste Santamaria dari Angers pada musim 2020/21. Mereka juga tak pernah menahan pemain apabila ingin pergi. Kita bisa lihat pemain seperti Sebastian Kehl, Roman Burki, dan Papis Cisse dilepas dengan harga murah.
Meraih banyak gelar juara memang bukan tujuan berdirinya klub ini. Stabilitas yang justru lebih diperhatikan. Jadi tak heran apabila mereka sangat menikmati proses dan perjalanan yang sedang dilalui meski tanpa gelar.
Kalau dalam budaya Jawa, Freiburg ini bisa dibilang sangat menganut falsafah, nrimo ing pandum. Yang berarti, punya sikap menerima dengan utuh terhadap apa yang telah diberikan oleh semesta. Manajemen dan petinggi klub mempercayakan nasib Freiburg kepada takdir. Mereka percaya bahwa nasib yang sudah tertakar tak akan pernah tertukar.
Didasari Oleh Ideologi “Mittelstand”
Sikap ini juga berimbas terhadap keuangan tim. Selama ini manajemen klub tak begitu memperhatikan keuntungan. Biar kecil, itu bukan masalah. Hal tersebut dipengaruhi oleh ideologi bisnis dan ekonomi yang dianut masyarakat lokal Freiburg itu sendiri, yakni Mittelstand.
Secara makna, Mittelstand bisa menimbulkan kesalahpahaman apabila sembarang diartikan ke bahasa selain bahasa Jerman. Karena sempat ada yang mengatakan bahwa Mittelstand adalah sistem yang dipakai UMKM pada umumnya. Tapi, sebenarnya Mittelstand adalah sebuah strategi perusahaan untuk bertahan hidup dengan cara tidak terlalu berambisi dalam mencapai untung.
Di Jerman sendiri, Mittelstand lebih sebagai ideologi bisnis. Jadi bukan UMKM saja, melainkan perusahaan-perusahaan milik keluarga seperti Bosch Company juga bisa masuk dalam kategori Mittelstand. Meski ideologi ini sudah banyak berkembang dan digunakan di negara lain, Mittelstand tetap memiliki hubungan erat dengan Kota Freiburg.
Karena sebagian besar pengguna ideologi ini belajar dari orang Freiburg. Penduduk lokal lebih gemar mendirikan perusahaan-perusahaan kecil dengan untung yang kecil pula. Mereka lebih senang menikmati proses berkembangnya bisnis ketimbang langsung menginvestasikan uang dalam skala besar.
Maka dari itu, mereka sangat memperhatikan stabilitas dari bisnisnya. Tidak apa untung hanya beberapa juta euro per tahun dan tidak memiliki ribuan karyawan. Yang penting bisnisnya bertahan lama dan bisa menghidupi generasi berikutnya. Nah, konsep seperti ini mirip dengan apa yang diterapkan SC Freiburg.
Ogah Naik Kasta
Para petinggi klub ingin tim berproses sebagaimana mestinya dan enggan memaksakan keadaan. Bahkan, dahulu ada rumor yang cukup unik ketika presiden klub tidak ingin timnya naik kasta ke Bundesliga. Presiden SC Freiburg kala itu, Achim Stocker ingin Freiburg berlaga di kasta kedua Liga Jerman saja.
Achim Stocker merasa timnya memang tidak pantas berada di sana. Apalagi, para penduduk Kota Freiburg memang tidak menjadikan sepakbola sebagai pilihan utama dalam berekreasi. Baginya, berlaga di Bundesliga atau kasta berapapun akan terasa sama. Bedanya jika di kasta kedua, Freiburg tidak akan bersaing dengan tim-tim raksasa.
Jarang Ganti Pelatih
Ideologi seperti ini tentu sangat menyimpang dengan klub-klub sepakbola pada umumnya. Sikap klub yang terkesan tak berambisi juga dikuatkan dengan beberapa pengambilan keputusan. Salah satunya dalam menunjuk pelatih. Berbeda dengan Bayern Munchen yang demen gonta-ganti pelatih demi meraih sukses, Freiburg justru tidak pernah punya pikiran seperti itu.
Klub yang bermarkas di Europa-Park itu sangat jarang mengganti pelatih. Sejak tahun 1991, mereka tercatat baru mengganti pelatih sebanyak tiga kali. Itu jadi jumlah yang teramat sedikit karena dalam periode yang sama, Bayern Munchen tercatat sudah mengganti pelatih lebih dari 22 kali.
Sementara itu, pelatih terlama yang pernah menangani Freiburg adalah Volker Finke dengan masa jabatan 16 tahun dari 1991 hingga 2007. Ia juga yang pertama kali menentang paham Achim Stocker dan membawa Freiburg berlaga di Bundesliga tahun 1993. Finke hengkang dari klub bukan karena dipecat, melainkan mengundurkan diri. Mungkin jika tak mengundurkan diri, Finke masih melatih Freiburg hingga akhir karirnya.
Meski tidak meraih gelar setiap musim dan pernah terdegradasi berkali-kali, manajemen tidak pernah memecat Volker Finke. Mereka yakin bahwa kesuksesan akan datang jika pihak klub tetap percaya, loyal, dan berpegang teguh dengan apa yang sudah menjadi tujuan klub.
Hal tersebut juga terjadi dengan pelatih mereka saat ini, Christian Streich yang sudah bekerja di klub sejak 1995. Meski sempat terdegradasi pada musim 2014/15 dan gagal di final DFB Pokal musim 2021/22, posisi Streich sebagai pelatih masih aman-aman saja hingga sekarang.
Bukan Tanpa Prestasi
Jika kalian bertanya mengapa Freiburg jarang berganti pelatih, maka mereka akan bertanya balik. “Mengapa harus diganti?” Cukup aneh, tapi begitulah pemahaman mereka. Jika tak berambisi untuk memenangkan gelar, ngapain harus susah payah mengganti pelatih? Memulai semuanya dari awal dengan orang baru itu melelahkan.
Tapi, jika terus begini, mereka tak akan pernah mendapatkan trofi dong? Tidak juga. Kesabaran dan rasa percaya yang terus terjaga nyatanya pernah membuahkan hasil. Hingga saat ini, Freiburg tercatat memiliki empat gelar 2.Bundesliga. Jika terus mempertahankan ideologi uniknya, Freiburg akan terus jadi salah satu tim paling kalcer di Jerman.
Sumber: Bundesliga, Sport Optus, These Football Times, Viva Goal