Kisah Si Paling Nyaris Juara, Timnas Indonesia di Piala AFF

spot_img

Siapa yang tak suka di PHP? Ya, rasa sakitnya sungguh menusuk hati. Bicara soal harapan yang tak tercapai, tentu melekat bagi perjalanan timnas sepakbola kesayangan kita.
Pasukan Garuda kini sudah lelah dengan yang namanya harapan palsu. Rasa sakit kegagalan selama enam kali final harusnya disudahi. Publik tanah air tentu sangat berharap tahun 2022 ini menjadi ajang bagi harapan juara itu terealisasi.

2000, Tahun Pertama Garuda Masuk Final Bersama Nandar Iskandar

Harapan palsu yang pertama muncul ketika timnas Indonesia pertama kali masuk final pada Piala Tiger 2000. Timnas ketika itu diasuh pelatih Nandar Iskandar.

Berada di Grup A bersama Filipina, tuan rumah Thailand, dan Myanmar, Timnas Garuda hanya mampu finish sebagai runner up di bawah sang tuan rumah.

Ada kejadian unik di fase grup, ketika timnas dibantai Thailand 4-1. Sang arsitek timnas, Nandar tiba-tiba diberhentikan oleh manajer timnas, Muhammad Zein. Hal itu sontak membuat timnas disorot media karena tanpa pelatih di tengah kompetisi. Asisten pelatih timnas, Danandjaja dan Rudi Keltjes akhirnya ditunjuk menjadi karateker.

Selama tanpa pelatih, uniknya timnas justru melaju hingga babak final dengan menyingkirkan Vietnam di semifinal. Namun, ketika bertemu dengan Thailand di final, Garuda harus menelan pil pahit. Kekalahan yang sama ketika di fase grup dengan skor 4-1 terulang.

2002, Final Paling Nyaris Bagi Timnas Untuk Jadi Juara

Harapan juara kembali muncul pada Piala Tiger edisi 2002. Tahun itu adalah final yang paling nyaris bagi timnas Indonesia meraih juara hingga detik terakhir. Indonesia bersama pelatih asing Ivan Kolev tergabung dalam Grup A bersama Vietnam, Filipina, Myanmar, dan Kamboja.

Lolos sebagai runner up grup di bawah Vietnam, Zaenal Arif dan kawan-kawan mampu menyingkirkan Malaysia di semifinal lewat gol tunggal Bambang Pamungkas. Di final, timnas Garuda kembali bertemu Thailand.

Momen dramatis terjadi, ketika Indonesia tertinggal 2-0 terlebih dahulu dari Thailand. Namun gol comeback sensasional dari pemain Persib, Yaris Riyadi dan Gendut Doni mampu menyamakan kedudukan hingga memaksa adu penalti.

Euforia kebangkitan pun memadati Gelora Bung Karno waktu itu. Namun Bejo Sugiantoro dan Firmansyah yang notabene seorang bek, tak mampu menyelesaikan adu tos-tosan tersebut.

Keberuntungan kembali berpihak kepada Thailand, Indonesia kalah 4-2. Dalam kekalahan tersebut, Ivan Kolev berkata bahwa timnas kurang berlatih adu penalti jelang laga. Kolev pun beranggapan bahwa laga itu harusnya tak sampai adu penalti, karena banyak peluang emas dari timnas yang terbuang.

2004, Fenomena Boaz dan Taktik Menyerang Peter Withe

Berlanjut ke Piala AFF 2004. Indonesia ketika itu dilatih pelatih asal Inggris bekas pelatih Thailand, Peter Withe. Bersama Withe, Indonesia menjadi fenomena tersendiri.

Mengusung pola 3-4-3 ia menciptakan trio maut mematikan dalam diri Boaz Solossa, Ilham Jayakesuma dan Elie Aiboy. Dengan pola menyerang yang agresif, terbukti timnas mencatatkan diri sebagai tim terproduktif di turnamen tersebut dengan total 24 gol.

Bergabung dengan tuan rumah Singapura, Vietnam, Kamboja dan Laos di Grup A, Garuda mampu terbang tinggi dengan lolos menjadi juara grup. Di semifinal, mereka juga mampu mempermalukan “tetangga berisiknya” Malaysia di Stadion Bukit Jalil dengan skor 1-4.

Namun di final, Indonesia kembali terjegal. Kali ini bukan Thailand, melainkan Singapura. Singapura ketika itu jadi klub yang berbau naturalisasi. Pemain seperti Agu Casmir, Daniel Bennett, maupun Itimi Dickson menjadi pilar penting anak asuh Radojko Avramovic.

Final ketiga berturut timnas Garuda itu pun berakhir tragis dengan dua kali kalah atas tim naturalisasi Singapura. Agregat 5-2 menjadi akhir perjuangan pasukan Garuda.

2010, Euforia GBK Yang Diredam Oleh Musuh Bebuyutan Malaysia

Berikutnya Piala AFF 2010. Di mana euforia berlebih ketika itu menyihir seluruh pecinta sepakbola tanah air di Gelora Bung Karno. Kali ini timnas diarsiteki pelatih asing asal Austria, Alfred Riedl. Di bawah Riedl, Indonesia menjadi kekuatan menakutkan dengan komposisi pemain baru yang dicampur dengan pemain naturalisasi seperti Cristian Gonzales.

Tampil apik di grup dengan membantai Malaysia, mengalahkan Laos, dan menyingkirkan Thailand, memunculkan optimisme berlebih bahwa Indonesia mampu meraih juara. Menghadapi Filipina di semifinal yang juga penuh dengan naturalisasi macam Younghusband bersaudara, Okto Maniani dan kawan-kawan pun mampu menghentikannya dengan agregat 2-0.

Indonesia melangkah ke partai puncak. Garuda menatap final dengan keyakinan yang berapi-api. Sebab, Indonesia akan bertemu musuh bebuyutan, Malaysia yang di fase grup sudah pernah dibantai. Maka media pun heboh, bahwa Timnas Indonesia dikabarkan seolah akan meraih trofi Piala AFF tahun 2010.

Dasar untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Nasib Indonesia di final justru kembali berujung tangis. Kemenangan 5-1 atas Malaysia dibalas di partai final. Leg pertama saja, Indonesia sudah kalah 3-0. Maka kemenangan 2-1 anak asuh Alfred Riedl jadi tak ada artinya. Indonesia kalah agregat 4-2 di final atas Malaysia. Safee Sali ketika itu menjadi aktor kejayaan Malaysia.

2016, Kesempatan Kedua Alfred Riedl Yang Hampir Jadi Kenyataan

Setelah gagal di 2012 dan 2014, Di tahun 2016, Indonesia kembali melaju ke final. Ini adalah final kelima timnas Garuda sepanjang Piala AFF.

Timnas Indonesia bisa dikatakan menjalani persiapan yang pas-pasan pada Piala AFF edisi 2016 karena baru terlepas dari sanksi FIFA. Pemilihan Alfred Riedl sebagai pelatih juga diambil di tengah keterbatasan yang ada. Mengingat di 2014, dia sudah dicap gagal total.

Bergabung dengan Thailand, Vietnam, dan Singapura di Grup A, Indonesia ketika itu hampir gugur. Namun, timnas secara dramatis mampu lolos di pertandingan terakhir hidup mati melawan Singapura lewat gol Andik dan Lilipaly.

Bertemu Vietnam di semifinal juga kembali menguras emosi publik tanah air. Unggul 2-1 kala menjadi tuan rumah di Pakansari, Indonesia dipaksa bermain hingga babak extra time di kandang Vietnam. Gol penalti Manahati Lestusen di babak tambahan akhirnya mampu mengantarkan Timnas ke final dengan agregat 4-3.

Namun, harapan palsu di final kembali terulang. Setelah nyaris juara hingga menit terakhir di tahun 2002, kini di 2016 hal itu terulang kembali. Menang 2-1 atas Thailand di Pakansari membuat satu langkah kaki Indonesia menuju ke tangga juara.

Akan tetapi, dua gol Thailand di rumah sendiri tak bisa disamakan satu gol pun oleh timnas. Hadiah kartu merah Abduh Lestaluhu yang ikonik itu juga mewarnai kekalahan timnas dengan agregat tipis 3-2.

2020, Harapan Baru Shin Tae Yong dan Generasi Muda Timnas

Di Piala AFF 2020, wajah baru timnas Indonesia dengan regenerasinya kembali mampu menuju final untuk keenam kalinya bersama Shin Tae-yong. Membantai Malaysia, Kamboja, dan Laos di fase grup menjadi bukti skuad muda Garuda patut diperhitungkan.

Indonesia jadi tim terproduktif kala itu dengan total 18 gol. Namun tak hanya itu, uniknya gol timnas tak hanya dicetak penyerang saja. Total tembakan ke arah gawangnya pun menurut statistik yang terbanyak dalam turnamen tersebut, yakni 115 tembakan ke arah gawang.

Mengalahkan tuan rumah Singapura di semifinal dengan agregat mencolok 5-3, kembali memantapkan asumsi bahwa inilah saat tepat timnas juara dengan generasi barunya.

Namun bak sebuah kutukan. Timnas Indonesia untuk keenam kalinya gagal di final. Entah apa yang terjadi pada keberuntungan timnas. Thailand kembali hadir sebagai mimpi buruk untuk ketiga kalinya bagi timnas di final. Kali ini dengan agregat telak 6-2.

https://youtu.be/hc4Jedebxno

Sumber Referensi : bola.com, bolasport, libero, kompas.com, goal, bola.kompas

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru