Jika di Kota Manchester ada derby yang mempertemukan dua klub besar, Manchester United dengan Manchester City, di kota Roma ada Derby della Capitale. Derby yang mempertemukan dua klub Ibukota Negeri Pasta, Lazio dan AS Roma.
Duel Lazio dan AS Roma bisa dibilang jadi salah satu duel terpanas yang pernah ada di Serie A. Kebencian kepada Roma adalah nilai yang dipegang kuat-kuat oleh suporter Lazio. Aturan ini juga berlaku sebaliknya. Para suporter Roma harus mampu merawat kebencian mereka kepada Lazio. Kalau perlu, kebencian terhadap rival harus lebih besar daripada cinta pada klub sendiri.
Rivalitas tanpa batas antara dua klub Ibukota Italia ini selalu menyisakan kisah menarik setiap tahunnya. Salah satu yang paling dikenal adalah peristiwa kegagalan scudetto AS Roma pada musim 2009/2010, yang mana kegagalan itu ada campur tangan dari ultras Lazio. Berikut sepenggal kisah kegagalan scudetto AS Roma 2009/2010.
Daftar Isi
Derby Della Capitale
Banyak yang meyakini bahwa akar permusuhan AS Roma dengan Lazio adalah keputusan Lazio yang menolak bergabung dengan tim-tim lain di Kota Roma. Cerita ini bermula dari zaman pemerintahan Benito Mussolini. Sang diktator ingin menghidupkan kembali kejayaan romawi kuno menggunakan klub sepakbola, sebagai alat pemersatu Kota Roma.
Penolakan Lazio berawal dari intervensi Giorgio Vaccaro. Sebenarnya Vaccaro dan Mussolini sama-sama fasis. Namun, penolakan ini membawa embel-embel status Lazio sebagai klub kalangan menengah ke atas. Identitas ini tentu sangat berlawanan dengan identitas yang dibawa Roma, mereka cenderung mewakili semangat para kaum bawah.
Lazio yang terbentuk pada 1900 mengklaim bahwa merekalah klub Roma yang sebenarnya. Dibandingkan AS Roma yang baru terbentuk pada tahun 1927 buah dari merger tiga klub kecil, Fortitudo-Pro Roma, Roma Football Club, dan Alba-Audace.
Suporter Giallorossi tentu tidak terima dengan klaim tersebut. Mereka justru mencap Lazio sebagai klub yang bukan “Roma” banget, karena identitas Lazio yang memiliki latar belakang kaum borjuis. Hal itu membuat mereka memiliki banyak suporter dari kawasan Italia Utara, seperti daerah Parioli, Prati, dan Flaminio yang dihuni oleh kalangan berduit. Yang mana itu tak menggambarkan situasi Roma saat itu.
Selain itu, regionalisme juga jadi salah satu bumbu penyedap dalam Derby della Capitale. Italia adalah tempat yang aneh, mereka begitu memuja regionalisme. Orang-orangnya lebih suka menyebut diri sebagai Roman, Sicilian, atau Tuscan, ketimbang orang Italia. Dengan situasi tersebut, kedua klub bersaing untuk menjadi satu-satunya wajah Roma bagi sepakbola Italia.
2009/2010
Momen-momen menarik yang melibatkan kedua kesebelasan juga kerap menghiasi sampul surat kabar Italia. Contohnya saja ketika laga derby terpaksa harus dihentikan pada tahun 2004, karena di tengah-tengah laga terjadi insiden kerusuhan hebat yang dipicu oleh kabar hoax di luar stadion.
Keadaan stadion yang sudah carut-marut tertutup asap dari gas air mata, membuat Francesco Totti selaku kapten AS Roma saat itu, meminta wasit dan panitia pelaksana untuk tidak melanjutkan pertandingan derby tersebut.
Berlanjut ke musim 2009/2010, peristiwa unik kembali terjadi. Musim tersebut awalnya berjalan baik bagi AS Roma. Skuad racikan Claudio Ranieri hanya menelan kekalahan sebanyak 6 kali dari 38 pertandingan yang mereka mainkan. Mereka bahkan diunggulkan untuk menjadi kampiun di atas Inter Milan asuhan Jose Mourinho.
Sedangkan keadaan rival sekota cukup memprihatinkan. Menjelang akhir musim, Lazio masih berkutat di peringkat bawah. Fokus mereka hanya menghindari degradasi dan bertahan di kasta tertinggi.
Namun, ketika melihat kejomplangan tersebut, fans Lazio jelas tak terima. Sebagai fans di stadion, para suporter seharusnya mendukung timnya untuk selalu menang. Namun, hal ini tak berlaku bagi Ultras Lazio waktu itu. Mereka dibutakan oleh kebencian dan menginginkan timnya kalah dari Inter Milan agar AS Roma tak bisa meraih scudetto.
Teror Ultras Lazio
Dalam laga yang dimainkan di Stadio Olimpico, markas Lazio, suporter tuan rumah meminta timnya mengalah dari Nerazzurri. Ketika itu Inter memang jadi pesaing kuat Roma untuk memperebutkan tahta juara Serie A. Kalau Lazio menang, besar kemungkinan Roma yang bakal menjuarai Serie A.
Permintaan suporter itu terlihat jelas dari spanduk-spanduk yang dibentangkan di sepanjang pinggir tribun. Banner yang bertuliskan bahasa Italia itu jika di artikan dengan bahasa Indonesia, kira-kira akan berbunyi “Nando, biarkan bola melewatimu, maka kami akan tetap menyayangimu.” dan “Jika Lazio unggul pada menit 80, kami serbu lapangan.”
Allenatore Inter Milan waktu itu, Jose Mourinho sampai dibuat bingung sekaligus kagum dengan kegigihan ultras Lazio yang masih merawat kebencian kepada sang rival saat mereka sendiri sedang dalam situasi yang tak aman di Serie A. Saat laga dimainkan, Lazio masih berada di peringkat 17, yang mana itu sangat dekat dengan jurang degradasi.
Ketika Walter Samuel membobol gawang Lazio, fans tuan rumah justru bersorak kegirangan layaknya merayakan sebuah kemenangan, dan skor akhir benar-benar sesuai harapan suporter Lazio.
Thiago Motta melengkapi kemenangan 2-0 atas Biancocelesti. Ultras Lazio pun merayakan kekalahan tersebut. Mereka lebih baik kalah dan terancam degradasi daripada harus melihat Roma selangkah lebih dekat dengan scudetto.
Sementara itu Direktur Olahraga Inter, Marco Branca mengaku tidak terlalu kaget dengan reaksi ultras Lazio yang sangat mencolok itu. Menurutnya, hubungan antara fans Lazio dan fans Inter berbanding terbalik dengan hubungan antar fans Roma dan Lazio. Hubungan Inter-Lazio memang cukup baik, dan itu sudah berlangsung lama, jadi mereka lebih mendukung Inter daripada Roma.
Roma Gagal Scudetto, Lazio Terhindar Dari Degradasi
Musim yang hanya menyisakan dua pertandingan, membuat Inter yang baru meraih poin penuh di kandang Lazio berhasil mempertahankan posisi mereka di puncak klasemen, dengan torehan 82 poin. Sedangkan AS Roma, meski mereka menyapu bersih dua laga tersisa dengan kemenangan, Giallorossi asuhan Claudio Ranieri tak mampu menyalip selisih dua poin dari Inter.
Inter Scudetto terakhir 2009/2010
Treble #UCL#CoppaItalia#SerieA
11 tahun puasa, buka puasa sebentar lagi. pic.twitter.com/tdJw2AG9XG— Siaran Bola Live (@SiaranBolaLive) May 1, 2021
Hasil tak menghianati usaha Ultras Lazio. Inter asuhan Jose Mourinho berhasil menjuarai Serie A musim 2009/2010, dan Lazio berhasil meloloskan diri dari jeratan degradasi. Mereka berhasil memenangkan dua laga sisa melawan Livorno dan Udinese, sehingga finis di urutan ke 12 dengan mengumpulkan 46 poin.
Pelatih AS Roma, Claudio Ranieri pun tak bisa melupakan peristiwa bersejarah ini. Musim 2009/2010 tersebut jadi satu-satunya penyesalan dalam karirnya di Italia. Ia kehilangan scudetto yang sebenarnya layak ia dapatkan.
Sumber: Thesefootballtimes, BRfootball, Goal, The Flanker