Sepak bola Inggris kembali tercoreng oleh isu kekerasan seksual terhadap perempuan. Kali ini yang menjadi tokoh utamanya adalah pemain muda jebolan akademi Manchester United, Mason Greenwood.
Greenwood ditangkap atas dugaan pemerkosaan dan penganiayaan terhadap pacarnya, Harriet Robson. Hal itu terungkap usai Harriet Robson men-spill kelakuan busuk Greenwood dengan menyebarkan beberapa bukti video, foto, dan rekaman audio di akun Instagram milik Harriet.
Namun, alih-alih mendapat hukuman, kini Greenwood justru berstatus bebas bersyarat. Greenwood hanya sempat ditahan beberapa hari oleh kepolisian Greater Manchester. Itu pun ketika masih dalam tahap penyidikan.
Kasus semacam itu bukan kali pertama terjadi. Sepak bola negeri Ratu Elizabeth berkali-kali diterpa kasus kekerasan seksual yang menyeret para pesepakbola. Ironisnya, Federasi Sepak bola Inggris (FA) seperti membiarkan saja isu semacam itu terulang kembali.
Bukan Kali Pertama
Mason Greenwood menambah daftar panjang pesepakbola Liga Inggris yang diduga melakukan kekerasan seksual. Sebelum Greenwood, nama-nama seperti Benjamin Mendy, Gylfi Sigurdsson hingga legenda Manchester United, Ryan Giggs sudah melakukan tindakan yang sama bodohnya.
Yang terbaru Benjamin Mendy terlihat di pengadilan Chester Crown, di mana seorang hakim memutuskan bahwa ada tuduhan baru yang dihadapkan kepada pemain internasional Prancis itu. Mendy sekarang menghadapi sembilan dakwaan, termasuk tujuh dakwaan pemerkosaan yang melibatkan enam orang korban.
Semua tuduhan terhadap Mendy terbentang dari akhir 2020 hingga Agustus 2021. Ia pun telah ditahan sejak Agustus tahun lalu dan sempat dibebaskan dengan jaminan pada awal tahun ini. Kini Mendy tinggal menunggu persidangan pada 27 Juni mendatang.
BREAKING : Benjamin Mendy baru saja dituduh dengan 1 kasus pemerkosaan lagi, sebelumnya ia sudah menghadapi dakwaan 7 kasus pemerkosaan + 1 serangan seksual. 😑
📝 @lequipe pic.twitter.com/niBQWkN0wr
— Extra Time Indonesia (@idextratime) February 2, 2022
Sama halnya dengan Ryan Giggs, manajer Wales dan mantan pemain Manchester United, juga sedang menunggu persidangan setelah penangkapannya pada November 2020 lalu.
Persidangannya seharusnya diadakan pada bulan Januari kemarin, namun ditunda hingga Agustus karena jadwal persidangan sangat penuh.
Gylfi Sigurdsson lebih biadab lagi. Gelandang Everton itu diduga kuat sebagai pelaku pelecehan seksual di bawah umur. Iya benar, itu adalah tindakan pedofilia.
Sigurdsson ditangkap oleh polisi Inggris pada Jumat 16 Juli 2021 lalu. Tetapi lucunya ia justru dibebaskan dengan jaminan. Sigurdsson pun hanya mendapat hukuman skors dari pihak Everton.
Beberapa kasus kekerasan seksual tersebut bak puncak gunung es, karena masih banyak lagi kasus yang tak terungkap kebenaranya. Entah karena ketakutan sang korban untuk melapor, relasi kuasa, atau justru hukuman yang lembek terhadap pelaku kekerasan seksual.
Respon Federasi Sepak Bola Inggris
Pada awal tahun 2017 lalu otoritas sepak bola Inggris sempat menyelidiki apakah klub membayar korban pelecehan seksual sebagai imbalan atas sikap diam dan tak mau melapor. FA memutuskan akan menindak tegas apabila suatu saat ada klub yang terbukti menyembunyikan kejahatan semacam ini dengan membungkam korban dengan sejumlah imbalan uang demi nama baik klub dan pemain yang terlibat.
Namun, FA lambat dalam merespon hal-hal semacam ini. Dalam kasus Ryan Giggs dan Benjamin Mendy saja FA seakan tutup mata dan tidak mau ikut campur terlalu dalam.
FA selaku federasi sepak bola Inggris hanya membantu memperlancar proses penyidikan yang dilakukan dengan memberikan data-data yang mereka punya. Selebihnya, mereka memasrahkan kasus tersebut kepada pihak kepolisian untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Sejauh ini saja, FA belum memberikan pernyataan resmi terkait kasus yang menimpa Mason Greenwood, padahal pemberitaan tentang Greenwood sudah viral di mana-mana. Dengan munculnya kasus baru yang melibatkan Mason Greenwood, Manchester United dan Asosiasi Sepak Bola Inggris telah mendapat kecaman serius dari Women’s Aid.
Women’s Aid memperingatkan bahwa sepak bola Inggris akan menjadi pusat perhatian dunia saat mereka menangani kasus kekerasan seksual yang dilakukan Mason Greenwood. Jika FA masih juga tak becus dalam penanganan kasus kekerasan seksual, ini bisa menjadi pukulan mematikan bagi sepak bola Inggris.
Tentunya sangat penting bagi semua lapisan masyarakat, serta para pihak berwenang, mengakui kekerasan seksual terhadap perempuan sebagai kejahatan serius. Manchester United, Asosiasi Sepak bola, dan polisi setempat harus mengambil tindakan yang sesuai dalam menangani kasus semacam ini.
Budaya Misogini Di Sepakbola Inggris
Sayangnya, kasus kekerasan seksual oleh pesepakbola ini juga karena budaya misogini yang berkembang di Inggris. Misogini merupakan istilah untuk orang yang memiliki kebencian atau rasa tidak suka terhadap wanita secara ekstrem. Hampir sebagian besar pelaku misogini adalah pria.
Perilaku ini sering dikaitkan dengan hak istimewa pria, paham patriarki, dan diskriminasi gender. Pada kasus tertentu, misogini bahkan bisa meningkatkan risiko terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual terhadap wanita. Seiring berjalannya waktu, misogini lebih populer dikenal dengan istilah seksisme.
Selain itu, budaya patriarki juga masih kental di Inggris. Perempuan di Inggris dipaksa menerima perlakuan misoginis oleh para laki-laki yang acap kali tidak menghargai perempuan.
Pada tahun 2018, selama digelarnya Piala Dunia Rusia, Pusat Nasional untuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (NCDV) Inggris, sampai-sampai menjalankan kampanye nasional yang menampilkan gambar seorang wanita berdarah dari hidungnya. Darah tersebut membentuk Salib Saint George, dengan caption “If England gets beaten, so will she”.
“If England gets beaten so does she.” This powerful campaign imagery & slogan was used by @NCDV_Official during the 2018 World Cup but is still relevant today.
Shockingly, studies show incidents of domestic violence can increase by 26% when England play, & by 38% if they lose. pic.twitter.com/dROuQXfaRv
— Lauren Townsend (@LaurenJTownsend) July 7, 2021
Kampanye ini dirancang untuk menarik perhatian pada statistik serius yang dirilis organisasi pada tahun yang sama, menunjukkan bahwa ketika Inggris bermain, kekerasan dalam rumah tangga meningkat sebesar 26%.
Angka itu melonjak menjadi 38% ketika Timnas Inggris kalah. Jadi, para seksisme ini menjadikan para wanita sebagai objek melampiaskan kekesalan atas kekalahan yang tim mereka alami.
Kekerasan terhadap perempuan sudah menjadi bahaya laten di seluruh dunia, karena bisa terjadi di mana saja. Hal itu tidak ada kaitannya dengan tempat-tempat khusus. Rumah, tempat kerja, sekolah, bahkan ranah sepak bola, nyaris tidak ada ruang aman bagi perempuan.
Sinergitas antara federasi, klub, dan para pihak berwajib sangatlah dibutuhkan. Tindakan yang dilakukan Everton dan MU untuk segera membekukan sang pemain merupakan keputusan yang cepat, tepat, mengagumkan, dan memang harus.
Namun, klub-klub yang seperti MU dan Everton tidak banyak. Masih berjibun klub-klub yang suka melindungi pelaku pelecehan seksual, apalagi kalau si pelaku adalah aset yang berharga, katakanlah superstar mereka. Nah, kalau sudah begitu, harusnya federasi sepak bola yang berperan.
Dalam kasus Greenwood, FA harusnya mulai sadar bahwa internal sepak bola Inggris bobrok. Terutama soal penanganan dan pencegahan kasus kekerasan seksual. Borok itu sudah kelihatan, FA harusnya mulai memperbaiki hal itu. Karena jika tidak, sepak bola Inggris akan mundur jauh ke belakang.
https://youtu.be/2TSqpgAOgII
Sumber: Daily Mail, Marca, Thestack, Bleacherreport