Habis sudah perjalanan salah satu klub tertua di Italia, Genoa. Rossoblu harus menelan pil pahit usai gagal mempertahankan eksistensinya di Serie A. Genoa terdegradasi ke Serie A, menyusul hasil minor dalam beberapa laga terakhir yang sulit diterima hati seluruh penggemarnya.
Genoa takluk atas rivalnya, Sampdoria 1-0. Meski mendapat belas kasihan dari Juventus dengan membiarkan mereka menang tipis 2-1. Namun, kekalahan atas Napoli tak dapat dihindari. Il Partenopei mencukur Genoa lewat tiga gol tanpa balas di Stadion Diego Armando Maradona. Pertandingan terakhir il Grifone kalah dari Bologna 1-0.
Rossoblu hanya bisa mengumpulkan 28 poin, dan itu memaksa mereka terdegradasi ke Serie B. Jelas ini kenyataan pahit yang harus diterima oleh para fans. Bahkan bukan hanya fans Genoa, tapi boleh jadi penikmat sepakbola Italia.
Kita tahu, bahwa Genoa memiliki sejarah di sepakbola Italia yang lebih daripada luar biasa. Rossoblu juara 9 kali edisi Serie A, meski itu sebelum memasuki era 2000-an.
Namun, sebagai salah satu klub tertua yang lahir tahun 1893, memberi penghormatan pada Genoa dan memberi ucapan perpisahan hangat pada mereka yang akan meninggalkan Serie A, sah-sah saja. Apalagi ini adalah pertama kalinya mereka terdegradasi setelah 15 tahun bertahan di Serie A.
Tentu 15 tahun bukan waktu yang sebentar. Itu adalah waktu yang lebih dari cukup untuk mengatakan bahwa perjalanan mereka di Serie A, setelah terakhir kali promosi tahun 2007, bukan perjalanan gampang. Genoa mesti tertatih-tatih, melewati masa-masa sulit, sampai akhirnya mereka kalah dengan keadaan.
Daftar Isi
Hasil Buruk
Sulit untuk mengatakan bahwa Genoa sebetulnya tak pantas terdegradasi musim ini. Sebab, dari performa Genoa di awal musim, tak ada satu pun yang membuat kita tersenyum bahagia. Alih-alih menyunggingkan senyum bahagia, Genoa justru mengajak semua orang untuk tersenyum getir.
Hampir tak ada hasil positif yang diraih Genoa dari awal musim. Semuanya bahkan berjalan gontai. Performa Genoa boleh dikatakan bukan hanya inkonsisten, tapi juga buruk. Mereka praktis hanya memenangi 4 laga dari 38 pertandingan.
Selama musim ini, Genoa sudah menelan 18 kali kekalahan, dan berbagi angka 16 kali. Klub yang bermarkas di Luigi Ferraris itu hanya sanggup mencetak 27 gol. Catatan gol tersebut bahkan menjadi yang terburuk selama lima musim terakhir.
Jika kita melihat statistik lain, misalnya expected goal, Genoa mengalami penurunan yang lumayan signifikan. Musim ini, nilai expected goal (xG) Genoa, menurut FBref, hanya di angka 36,8. Sementara musim sebelumnya, nilai expected goal Genoa mencapai 37,8.
Tentu ini menandakan betapa sulitnya Genoa dalam mencetak gol. Hal itu juga menjadi pertanda bahwa lini depan Genoa memang sangatlah tumpul.
Pemain yang Didatangkan Tidak Berguna
Padahal Genoa, pada musim ini, terutama pada pertengahan musim kemarin sudah menambah amunisi demi selamat dari zona degradasi. Seperti Albert Gudmundsson yang datang dari AZ Alkmaar. Genoa juga sudah mendatangkan gelandang tengah Leverkusen, Nadiem Amiri dan gelandang Brondby IF, Martin Frendup.
Soal lini depan, sebetulnya Genoa sudah mendatangkan striker, seperti Roberto Piccoli yang dipinjam dari Atalanta dan Kelvin Yeboah yang datang dari klub Liga Austria, Sturm Graz. Sayangnya pemain-pemain tadi tak membantu banyak, terutama para pemain depan mereka.
Piccoli yang dipinjam dari Atalanta tak sanggup menyumbangkan satu pun gol. Ia bahkan hanya bermain sebanyak 5 kali setelah berseragam Genoa. Pemain lain seperti Yeboah juga tak membantu banyak. Ia lebih seperti penghias skuad saja.
OFFICIAL: Genoa have signed striker Kelvin Yeboah from Sturm Graz for €6.5m. pic.twitter.com/5VsBwWEay1
— Transfer News Central (@TransferNewsCen) January 8, 2022
Yeboah sudah bermain 17 kali di Serie A. Namun, ia sebagai seorang pemain depan yang harusnya mencetak gol, justru hanya bisa menyumbangkan 2 asis. Sayangnya pemain yang baru datang, yang tidak bisa memberikan manfaat yang krusial, juga tak diimbangi dengan pemain lawas.
Pemain seperti sang kapten, Domenico Criscito performanya sedang kembang kempis. Sementara, kiper senior mereka, Salvatore Sirigu juga underperform. Sirigu sudah kebobolan 59 gol, dan hanya 10 kali clean sheets.
Masuknya Investor dari Amerika
Entah berkaitan atau tidak, yang pasti Genoa yang terdegradasi ke Serie B di musim ini, sudah bukan lagi milik Enrico Preziosi. Setelah hampir 20 tahun memiliki Genoa, Enrico Preziosi menjual sebagian besar saham Genoa ke perusahaan asal Amerika Serikat, 777 Partners.
Perusahaan tersebut juga mengakuisisi klub Standard Liege dari Belgia, dan Red Star FC dari Prancis. Masuknya investor baru, harusnya bisa membuat Il Grifone tampil baik, atau setidaknya bisa terhindar dari degradasi.
Namun, 777 Partners sendiri ternyata mengalami masalah dan penolakan ketika mengakuisisi klub Prancis, Red Stars. Perusahaan tersebut mendapat kecaman oleh para pendukung, karena telah menghabiskan banyak dana, tapi sepi prestasi.
🔚 El Genoa ha confirmado que Enrico Preziosi ha presentado su dimisión como miembro del Consejo de Administración del club.
Sin embargo, no cesa en su guerra con ‘777 Partners’ según ‘La Gazzetta dello Sport’. pic.twitter.com/omVCLD7TIC
— Soy Calcio (@SoyCalcio_) May 20, 2022
Gonta-Ganti Pelatih
Menurunnya performa Il Grifone, tidak bisa tidak juga berkelindan dengan mereka yang sudah bergonta-ganti pelatih. Musim ini Genoa sudah ditukangi tiga pelatih yang berbeda. Dari Andriy Shevchenko, Abdoulay Konko, sampai yang terakhir Alexander Blessin.
Ironisnya, momentum pergantian pelatih sangat tidak tepat dan terkesan memaksakan. Pada pertengahan musim ini, Genoa sudah mendapat ancaman degradasi, namun il Grifone justru memecat sang pelatih Shevchenko.
Alasannya lumrah, karena Sheva dianggap gagal memenuhi ekspektasi. Namun, apakah manajemen Genoa tak pernah berpikir, bahwa mengganti pelatih artinya merombak ulang? Tampaknya manajemen tak peduli akan hal itu. Yang penting Genoa selamat dari degradasi.
Namun, yang terjadi, skuad il Grifone harus mengalami transisi kepelatihan dan compang-camping. Pelatih muda Genoa, Konko mengambil alih sebentar, sebelum akhirnya manajemen menunjuk Blessin. Hasilnya, mengkhawatirkan
Pelatih yang ditunjuk, Alexander Blessin memang memiliki nilai poin per game 1,07, lebih baik dari Shevchenko yang hanya di angka 0,55. Gampangnya, jika Sheva pahit-pahitnya mendatangkan kekalahan, dalam asuhan Blessin, jika Genoa gagal menang, minimal bisa meraih imbang.
Akan tetapi, kenyataannya justru Genoa benar-benar lebih sering imbang daripada menang. Dan satu poin dalam setiap pertandingan, tentu bukan ide cemerlang untuk menaikkan peringkat Genoa.
Kabar Bahagia untuk Sampdoria
Genoa yang terdegradasi ke Serie B justru adalah kabar bahagia bagi Sampdoria. Ya, Sampdoria dan Genoa adalah dua rival sekota yang sangat sengit. Orang mengenal pertandingan keduanya dengan “Derby della Lanterna”.
Musim depan, kemungkinan adanya Derby della Lanterna sangat menipis. Karena kedua klub hanya mungkin bertemu di Coppa Italia. Untuk merayakan hal itu, para tifosi Sampdoria turun ke jalan ‘menertawakan’ nasib Genoa yang terdegradasi.
Sampdoria fans mock the relegation of rivals Genoa at their home game against Fiorentina today #Sampdoria pic.twitter.com/y5Y1apk2HP
— FootballAwaydays (@Awaydays23) May 16, 2022
Para tifosi berbondong-bondong turun ke jalan. Mereka merayakan sekaligus menertawakan rivalnya yang baru saja terdegradasi, sebagaimana suporter Genoa dulu lakukan ketika Sampdoria terdegradasi tahun 2011.
Degradasinya Genoa ke Serie B, di satu sisi, oleh pihak rival menjadi keberkahan tersendiri dan sesuatu yang harus dirayakan. Namun, bagi mencintai Genoa, kabar ini adalah kabar yang menyedihkan. Kabar buruk yang tak siapa pun bisa menebak.
https://youtu.be/g5GSQBz03MY
Sumber referensi: Forbes, ForzaItalianFootball, Football Italia, CBSSports, PledgeTimes, Indosport