Justin Kluivert: Terbuang di Roma, Bersinar di Bournemouth, dan Peluang Bela Timnas Indonesia

spot_img

Pernahkah terpikirkan betapa sulitnya jadi Al, El, dan Dul? Pasti beban banget ya jadi anak dari dua musisi top, Ahmad Dhani dan Maia Estianty. Menurut El, Dul jadi yang paling terdampak. Karena dia yang paling getol menekuni dunia musik. Karya Dul selalu dibanding-bandingkan dengan karya ayahnya. Alhasil, Dul memutuskan untuk keluar dari manajemen milik Dhani dan memproduksi musik sendiri.

Nah, hal-hal semacam ini juga terjadi di dunia sepakbola, terutama di Eropa. Beban yang sama juga dipikul oleh anak pelatih Timnas Indonesia, Justin Kluivert. Menekuni karir sepakbola seperti Patrick Kluivert, Justin selalu dihadapkan standar tinggi, yakni ayahnya sendiri. Namun, pemain yang katanya bisa main buat Timnas Indonesia itu perlahan membuktikan diri.

Justin membuktikan bahwa dirinya bisa keluar dari bayang-bayang Patrick. Lantas, bagaimana kisahnya? 

Dari Ajax

Melengkingkan tangisan pertama di salah satu kota bernama Zaandam, Justin Dean Kluivert mulai menekuni sepakbola saat usianya baru menginjak enam tahun. Bermula dari klub kecil SV Diemen, Justin menggunakan koneksi ayahnya untuk bergabung dengan akademi Ajax pada tahun 2007.

Meski berstatus pemain titipan, Ajax sama sekali tidak mengistimewakan anak dari Patrick Kluivert tersebut. Jasa-jasa ayahnya selama berseragam Ajax tak akan pernah cukup untuk membeli tiket “free pass” menuju skuad utama. Justin dituntut untuk menemukan jalan kesuksesannya sendiri. Ia harus bersaing dengan puluhan, bahkan ratusan anak-anak yang juga punya mimpi menjadi pesepakbola profesional.

Setidaknya membutuhkan waktu sembilan tahun bagi Justin untuk bisa menembus skuad utama Jong Ajax. Ya, itu masih tim cadangannya Ajax. Setelah hanya delapan pertandingan bersama Jong Ajax, Justin langsung menarik perhatian pelatih tim utama, Peter Bosz. Justin diminta langsung berlatih di skuad utama. Meski begitu, ia tak langsung mendapatkan menit bermain.

Diminati Banyak Klub

Kesempatan pertama Justin adalah masuk skuad Ajax yang akan menghadapi FC Twente Desember 2016. Kala itu, skuad yang dibawa Ajax memang sedikit dan didominasi oleh pemain-pemain muda. Seperti yang kita ketahui, mengorbitkan pemain muda dari akademi memang sudah jadi tradisi bagi Ajax. 

Justin Kluivert akhirnya debut di laga melawan PEC Zwolle pada Januari 2017. Saat itu, Justin membantu timnya menang 3-1. Ia masuk menggantikan Amin Younes yang ditarik menit 39. Setelah laga itu, menit demi menit mulai diberikan oleh Peter Bosz.

Tanggung jawab Justin meningkat di musim 2017/18. Saat itu, dirinya menggantikan peran Amin Younes yang mengalami cedera peradangan di bagian lutut. Akhir tahun 2017, Ajax sudah ditangani oleh Erik ten Hag. Meski demikian, Justin tetap menjadi pilihan utama. Sebab, Amin yang baru pulih dari cedera justru diskors akibat bersitegang dengan Ten Hag.

Di bawah asuhan Erik, Justin yang masih berusia 18 tahun mulai menunjukan bakatnya. Ia mencatatkan 10 gol dari 30 penampilan di Eredivisie. Performanya itu membuat Justin dianugerahi penghargaan NXGN. Itu penghargaan untuk pesepakbola U-19 terbaik di dunia. Tak heran, banyak klub-klub papan atas yang langsung menggoda Justin.

Dari mulai AC Milan, Inter Milan, Juventus, Barcelona, hingga Liverpool dan Manchester United, semua ngantri. Mereka memandang Justin sebagai talenta potensial saat itu. Namun, dari sekian banyaknya klub yang menunjukan ketertarikan, Justin justru memilih AS Roma sebagai kelanjutan karirnya. 

Tersisih di Roma

Awalnya terasa aneh, kenapa harus AS Roma di saat ada Juventus dan Barcelona yang baru saja meraih gelar di musim 2017/18? Justin berpikir bahwa Roma adalah pilihan yang bijak. Dikutip dari Eurosport, daripada pindah ke MU atau Barcelona, tekanan di Roma tak terlalu tinggi. Tak memikul beban terlalu besar di usia muda akan bagus bagi perkembangan karirnya. 

Sayangnya, Kluivert hanya bisa berencana, tapi Paulo Fonseca yang menentukan. Karir Justin di Roma justru mengkis-mengkis. Tahun pertama saat ditangani oleh Eusebio Di Francesco dan Claudio Ranieri, Justin menjadi pilihan utama di skuad Roma. Meskipun yaaa, kontribusinya belum besar.

Namun, setelah Paulo Fonseca hadir pada tahun 2019 semuanya berubah. Beda pelatih, beda selera. Fonseca justru mendatangkan dua pemain sayap sekaligus di bursa transfer 2020/21. Pedro dari Chelsea, sedangkan Stephan El Shaarawy dari Shanghai Shenhua. Terpinggirkan, alhasil Justin dipinjamkan ke RB Leipzig tahun 2020. 

Di Bundesliga, Justin mengalami masa-masa yang tak begitu bagus. Dalam 27 penampilan untuk Leipzig, Justin hanya mencetak empat gol dan memberikan satu assist. Media Goal bahkan menyebut ini sebagai penurunan drastis dari pemain yang pernah menyandang status pemain muda terbaik.

Dibuang ke Bournemouth

Masa peminjaman yang buruk membuat pelatih-pelatih selanjutnya pun ragu dengan kemampuan Justin. Pelatih setelah Paulo Fonseca, yakni Jose Mourinho lebih parah lagi. Dirinya tidak membutuhkan pemain sayap. Skema permainannya lebih mengandalkan wing back. Akhirnya Justin kembali dipinjamkan. Kali ini ke OGC Nice tahun 2021 dan Valencia tahun 2022.

Hasilnya pun sama. Menit bermainnya lumayan banyak. Tapi, belum bisa berkontribusi banyak. Ia hanya mencetak empat gol di Ligue 1 dan enam gol di La Liga. Di momen ini Justin mulai dikait-kaitkan dengan reputasi ayahnya di masa lalu. Terutama, saat dirinya dilepas permanen ke Bournemouth tahun 2023.

Justin dianggap akan berakhir sama dengan pemain-pemain muda lain yang berada dalam bayang-bayang kesuksesan ayahnya. Dengan bergabung klub gurem Inggris, kehancuran karirnya diprediksi tinggal menunggu hari. Ia mulai disejajarkan dengan Enzo Zidane, anak Zinedine Zidane. Atau Romeo Beckham, anak dari David Beckham.

Justin terpaksa menelan mentah-mentah anggapan miring tersebut. Patrick yang mengerti situasi anaknya pun terus memberikan motivasi. Dengan penuh tekad, Bournemouth dijadikan Justin sebagai tempat untuk muhasabah diri. Kali ini, tujuannya tidak muluk-muluk. Justin hanya mencari kestabilan dalam karir sepakbolanya.

Keluar dari Bayang-bayang Ayahnya

Ketika Justin Kluivert mulai pasrah dan tidak terlalu mengejar ambisinya, performanya justru mulai membaik. Pelatih Bournemouth, Andoni Iraola jadi sosok yang berperan penting. Iraola yang sudah mengamati permainan Justin sejak dirinya di Valencia paham bagaimana memaksimalkan kemampuan Justin. 

Di tangan Iraola, Justin diubah posisinya. Justin justru dipasang sebagai pemain nomor sepuluh. Posisinya persis di belakang striker. Peran baru ini tidak langsung membuahkan hasil. Perlu beberapa bulan untuk penyesuaian. Setelah musim 2023/24 dihabiskan sebagai bentuk penyesuaian, musim 2024/25 adalah panggung sebenarnya bagi Justin. 

Bermain sebagai gelandang serang, kecepatan Justin dimanfaatkan untuk menunjang transisi dari bertahan ke menyerang. Dengan posisi barunya, Justin memiliki lebih banyak kesempatan untuk terlibat dalam skema serangan. Dan terbukti, permainan Justin lebih efektif jika sebagai gelandang serang. 

Namun, yang paling kentara adalah kontribusi golnya. Sejauh ini, ia sudah mengemas 11 gol dan empat assist di semua kompetisi. Bahkan, menurut Fbref, expected goal Justin musim ini di angka 8,0. Statistik ini jadi yang tertinggi sepanjang karirnya. Tak cuma itu, dirinya juga berhasil keluar dari bayang-bayang ayahnya yang juga pernah berkarir di Inggris. 

Momennya saat bertandang ke markas Newcastle United, St. James Park. Di laga tersebut, ia mencetak hattrick yang luar biasa. Hattrick tersebut membawanya melampaui jumlah gol ayahnya dalam satu musim di Liga Inggris. Dulu, Patrick hanya mencetak 6 gol saat membela Newcastle United musim 2004/05.

Membela Timnas Indonesia?

Nama Justin Kluivert pun kembali jadi perbincangan. Media-media besar Inggris, seperti BBC dan The Athletic langsung menggoreng namanya lagi. Namun, kali ini dengan nada yang lebih positif. Bersamaan dengan kembalinya sentuhan terbaik Justin, ayahnya didapuk menjadi manajer tim nasional Indonesia.

Dari sini muncul rumor bahwa Justin akan dipanggil oleh ayahnya untuk membela Skuad Garuda. Yang jadi pertanyaan, apakah Justin memenuhi syarat untuk membela Indonesia? Menurut beberapa sumber, kakek Justin, yakni Kenneth Kluivert berasal dari Suriname. Seperti yang kita ketahui, Suriname punya kaitan yang erat dengan Indonesia.

Maka dari itu, Justin terindikasi memiliki darah Jawa. Justin juga masih memenuhi syarat jika ingin pindah federasi karena baru menjalani satu penampilan di kompetisi resmi bersama Belanda. Namun, kemungkinan untuk membela Indonesia masih samar-samar, karena garis keturunan Justin belum bisa dibuktikan.

https://youtu.be/j_FCCz0bj6A

Sumber: BBC, Sky Sport, Goal, Football Oranje, The Athletic

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru