Sebegitu supernya Bayern Munchen di pentas Bundesliga, ternyata tak sebanding jika di pentas Eropa. Sekuat-kuatnya Munchen di kancah Eropa, mereka ternyata selalu menemui jalan terjal merebut mahkota Liga Champions. Sejak era 2000-an awal hingga sekarang, mereka hanya meraih tiga gelar. Itupun dalam durasi penantian yang cukup lama sebagai tim yang katanya superior itu.
Daftar Isi
Pembangunan Ottmar Hitzfeld
Di era milenium, mereka baru saja meraih juara Liga Champions pada musim 2000/01. Mereka setelah terhempas menyakitkan oleh MU di final 1999, bangkit kembali bersama pelatih Ottmar Hitzfeld. Pelatih yang notabene berasal dari rival mereka, Dortmund.
Gelar itu adalah gelar keempat mereka sepanjang sejarah. Asal tahu saja, terakhir kali gelar Liga Champions mereka didapat pada 1975/76. Artinya sudah 25 tahun mereka puasa gelar.
Champions League Archives Part VI: 1974-1976—Der Kaiser Leads Bayern Munich to Greatness https://t.co/6dpBBleU8e pic.twitter.com/TABb80d5K8
— Savvas (@melosport_com) June 5, 2017
Nah, gelar keempat yang diraih oleh Giovane Elber dan kawan-kawan dari Valencia itu, menjadi obat sakit hati sekaligus balas dendam. Karena di musim sebelumnya, mereka dihentikan di semifinal oleh tim Spanyol lainnya yakni Real Madrid.
Tak dipungkiri era kejayaan Munchen yang baru dimulai kembali sejak Hitzfeld hadir. Pembangunan tim bersama Hitzfeld berjalan sukses sejak 1998 menggantikan Trapattoni. Di tangan Hitzfeld, Munchen tumbuh bersama pemain-pemain baru pembeliannya macam Effenberg, Salihamidzic, Jens Jeremies, Willy Sagnol, maupun Paulo Sergio.
Namun setelah gelar keempat Liga Champions itu diraih, Munchen tak lagi bisa dibawanya melangkah sampai ke partai puncak. Sampai akhirnya Hitzfeld pun berpisah dari Munchen pada 2004.
ON THIS DAY: In 2001, Bayern Munich won their first Champions League title in 25 years.
— Squawka (@Squawka) May 23, 2020
Oliver Kahn saved three penalties and became the first goalkeeper to be named Man of the Man in the final. 🙌 pic.twitter.com/PscVd1vyZ5
Sakit Hati Di Era Louis Van Gaal
Sampai pada akhirnya era Louis Van Gaal dimulai. Mantan pelatih AZ Alkmaar itu ditunjuk Munchen pada musim 2009/10 menggantikan Jurgen Klinsmann yang dianggap gagal total di musim sebelumnya.
Tak usah diragukan lagi sepak terjang meneer Belanda yang satu ini. Di era Van Gaal, Munchen memulai era baru dengan para pemain muda binaan klub yang mulai dipercaya. Nama seperti Thomas Muller, Holger Badstuber, sampai David Alaba adalah beberapa pemain muda yang diorbitkan Van Gaal ketika itu.
Para pemain macam Arjen Robben, Ivica Olic, maupun Mario Gomez juga telah didaratkan manajemen Munchen ke Allianz Arena. Dengan racikan ala Belanda 4-3-3, Van Gaal sukses memadupadankan skuad muda dan tua. Pembentukan duo sayap mereka Ribery dan Robben begitu menakutkan ketika itu.
Arjen Robben and Louis van Gaal at Bayern Munich, 2009 pic.twitter.com/keC6dx0ZAt
— 00sFootball (@00sfootbalI) March 7, 2022
Gelar Bundesliga pun kembali direbut dengan mudah. Sampai akhirnya Van Gaal juga membuktikan bahwa ia bisa membawa Munchen kembali ke partai puncak Liga Champions.
Harapan publik Munchen pun seketika tumpah ruah di Santiago Bernabeu. Melawan Inter yang diasuh Mourinho, Munchen menatap asa gelar kelima mereka. Namun nahas, strategi menyerang Van Gaal, harus kalah dengan permainan pragmatis Mourinho.
Dua gol Diego Milito tak mampu dibalas oleh anak asuh Van Gaal. Sebuah penantian panjang yang berakhir pilu bagi publik Munchen. Gelar kelima mereka tak dapat diraih.
Inter vs Bayern Munich
— Classic Football Shirts (@classicshirts) September 7, 2022
It's a replay of the 2010 Champions League Final which saw Inter Milan complete a famous treble under Jose Mourinho.
Inter won the final 2-0 thanks to a Diego Milito double. pic.twitter.com/ZuZYOb75p2
Tuah Pertama Jupp Heynckes Berakhir Malu
Van Gaal tak lama bersama Munchen. Ia diberhentikan di tengah jalan pada musim 2010/11. Nah, pada akhirnya pelatih kawakan Jupp Heynckes datang kembali ke Munchen pada musim 2011/12. Mulailah era baru Munchen di bawah Heynckes. Ini adalah periode keduanya kembali melatih Munchen.
Heynckes bukan sosok asing di Munchen. Ia adalah mantan striker yang sempat membawa Munchen meraih gelar ketiga mereka di Liga Champions 1976 silam. Ia di bidang kepelatihan pun pernah menggondol gelar Liga Champions ketika melatih Real Madrid pada 1998.
Juup Heynckes… juara Piala Champion 1997/98 bersama Real Madrid.. dan kemudian dipecat! pic.twitter.com/BH6xICTzZ0
— weshley hutagalung (@weshley) May 1, 2013
Tak heran jika tuahnya sangat diharapkan mampu membawa gelar kelima Liga Champions bagi Munchen. Pembangunan skuad di era Heynckes ini juga identik seperti apa yang dilakukan Van Gaal, yakni kombinasi pemain muda dan tua.
Di era Heynckes inilah pemain seperti Manuel Neuer dan juga Jerome Boateng didatangkan. Pemain muda seperti Toni Kroos pun muncul dan mulai matang di era Heynckes.
Namun apa mau dikata, tuah pertama Heynckes ternyata tak berakhir bahagia. Ia bahkan sempat dijuluki sebagai “mr runner up”. Bagaimana tidak? Di Bundesliga, DFB Pokal dan Liga Champions semuanya berakhir sebagai runner up.
Terlebih apa yang dirasakan di Final Liga Champions 2012. Ketika harapan besar gelar kelima mereka berakhir dengan sebuah rasa malu. Bagaimana tak malu, final yang dilangsungkan di markas sendiri itu sontak berubah menjadi pesta bagi sang lawan, Chelsea.
Eight years ago today, Chelsea won their first ever Champions League after beating Bayern Munich on penalties 🏆
— GOAL (@goal) May 19, 2020
What a final this was 🤩pic.twitter.com/6lCHoSqF5i
Muller dan kawan-kawan harus rela kalah lewat adu penalti di rumah mereka sendiri.
hal ini tentu sebuah pukulan besar bagi Heynckes.
Penantian 12 Tahun Lamanya Terwujud
Tapi faktanya pasca kegagalan itu, Munchen di bawah pemilik yang juga sahabat Heynckes, Uli Hoeness, masih percaya temannya itu menangani Munchen di musim berikutnya. Heynckes dianggap Hoeness adalah pelatih yang tepat dengan sentuhan sepakbola tradisional Jerman yang khas.
Kerangka tim yang dibangun Heynckes tak diubah. Neuer, Boateng, Lahm, Kroos, Muller, Ribery dan Robben masih menjadi pondasi. Penambahan pemain hanya dilakukan dengan menambal pos-pos tertentu seperti Dante di bek, Javi Martinez dan Shaqiri di tengah serta Mario Mandzukic di depan.
Justru dengan beberapa penambahan pemain itu, racikan Heynckes makin sempurna. Terbukti Munchen terlalu superior pada musim 2012/13. Di Bundesliga mereka finish dengan meyakinkan dengan selisih 25 poin dari peringkat dua. Mereka kebobolan paling sedikit, yaitu 18 kali dan dengan rentetan kemenangan terbanyak selama semusim yakni 14 kali.
Juup Heynckes, el DT del triplete de 2013, regresa al Bayern Munich. Será su 3ra. etapa al frente del club (87-91 y 11-13) pic.twitter.com/qwi1bFmme8
— Antonio Da Silva (@dasilvafutsal) October 6, 2017
Tak hanya di kancah domestik, di Eropa pun mereka mengesankan. Barcelona saja dicukur habis dengan agregat 7-0 di semifinal. Hal itu membuat Munchen makin ditakuti. Sampai pada akhirnya pembuktian mereka pun diuji di Wembley.
All German Final di Liga Champions terjadi antara Munchen vs Dortmund. Dortmund di era Jurgen Klopp tak mau begitu saja mengalah pada rivalnya itu. Perlawanan sengit di Wembley pun terjadi. Heynckes juga dengan segudang pengalaman tak mau gagal untuk kedua kalinya di final.
Benar saja, buah kesabaran skuad Munchen di dua babak akhirnya terjawab di menit 89. Gol Arjen Robben menjadikan papan skor berubah menjadi 2-1. Peluit akhir pun dibunyikan. Munchen akhirnya berbuka puasa gelar Liga Champions setelah pencariannya selama 12 tahun menemui jalan terjal.
Congrats for FC BAYERN MUNICH, UEFA Champions 2013. Great team Juup Heynckes! Lahm with The Champion's Cup pic.twitter.com/UnEn1OQsPi
— Dd (@dodi7fasha) May 25, 2013
Heynckes pun tersenyum. Ia mencatatkan rekor sebagai salah satu pemain sekaligus pelatih yang bisa meraih trofi Liga Champions dalam satu tim. Gelar kelima Munchen ini adalah buah kesabaran yang tiada henti. Mereka tak pernah menyerah meskipun jatuh sakit berkali-kali. “Mia San Mia” Bayern!
Sumber Referensi : bleacherreport, internationalchampionscup, bavarianfootball, eurosport, breakingthelines