Dibalik Terbentuknya Trio Gelandang Barca, Busquets, Xavi dan Iniesta

spot_img

Angin perubahan berhembus kencang di Catalunya pada 2003. Ketika itu klub kebanggaan kota mereka, Barcelona sedang dibangun kembali oleh meneer Belanda Frank Rijkaard.

Sebuah pondasi sistem permainan yang bersifat jangka panjang sudah ditanamkan Rijkaard sejak itu. Termasuk benih-benih sistem “trio” yang dirancang, baik gelandang maupun striker. Salah satu yang paling menarik, ikonik, dan langgeng, tentu adalah embrio trio gelandang mereka: Xavi, Sergio Busquets, dan Iniesta.

Poros 4-3-3

Embrio trio gelandang Blaugrana yang dibentuk Rijkaard, tak lepas dari pakem 4-3-3. Tiga gelandang yang saling bersinergi dan mengemban tugas yang berbeda. Dari akar itulah Barcelona mulai menanam benihnya.

Xavi sebagai gelandang muda terbaik milik Barca ketika itu diplot sebagai pemimpin trio itu oleh Rijkaard. Dia adalah jembatan antara gelandang bertahan yang ditempati oleh pemain seperti Edmilson, Thiago Motta, maupun Rafael Marquez, dengan gelandang serang mereka, Deco.

Iniesta Dan Deco

Seiring berjalannya waktu, ada fenomena pemain dari La Masia yang muncul. Selain Messi, Giovani Dos Santos maupun Bojan di pos gelandang, juga muncul pemain seperti Andres Iniesta. Iniesta dipromosikan oleh Rijkaard ke tim utama Barca dari La Masia pada musim 2004/05.

Iniesta ketika itu masih anak bawang di bawah bayang-bayang pemain baru yang didatangkan dari Porto, Deco. Sama-sama berposisi sebagai gelandang serang, Iniesta yang masih unyu-unyu itu, masih harus rela berbagi menit bermain dengan Deco.

Namun lambat laun di musim berikutnya, menit bermainnya bertambah seiring dengan performa dan skill-nya yang berkembang. Buktinya, 46 laga di seluruh kompetisi sudah ia jalani di musim 2005/06, meski tak selalu sebagai starter.

Masih ingat ketika Iniesta muncul sebagai pemain pengganti di laga final Liga Champions 2005 kala melawan Arsenal? Pemain bernomor punggung 24 itu memberi warna berbeda bagi perubahan permainan Barca di babak kedua, sehingga Barca mampu comeback dan akhirnya juara.

Duo Xaviesta

Musim berlanjut bersama Rijkaard hingga 2008. Duo Xavi dan Iniesta atau yang sering dikenal dengan “Xaviesta” mulai banyak dijodoh-jodohkan sebagai duo gelandang andalan Barca di masa depan.

Seiring Deco yang semakin menua dan makin melambat, Iniesta makin berpeluang menjadi suksesor gelandang serang Barca. Iniesta terus berupaya menunjukan kepada Rijkaard bahwa ia siap menerima tongkat estafet itu.

Dan terbukti, Xavi dan Iniesta mampu tumbuh bersama meski ketika itu banyak publik yang menyangsikan duo itu bisa menyatu. Xavi sendiri pernah berbicara, bahwa pesimisme publik itu ada.

“Bertahun-tahun banyak yang menyangsikan kami berdua bisa bermain bersama. Namun jika kini banyak yang menyebut kami duo “Xaviesta”, bukannya itu sebuah hal yang bagus?” Kata Xavi.

Transisi Dari Rijkaard Ke Pep

Sampailah pada berakhirnya era Rijkaard pada 2008. Dan kemudian datanglah seorang pelatih minim pengalaman dari Barca B bernama Josep Guardiola. Meski publik percaya kemampuan Pep ketika berhasil di Barca B, namun awalnya masih banyak juga yang ragu. Apakah ia bisa meneruskan apa yang telah Rijkaard bangun selama ini?

Manajemen Barca ternyata tak salah. Pep yang juga murid dari Cruyff, masih mengadopsi sistem yang hampir serupa dengan Rijkaard yakni 4-3-3. Artinya, keberlanjutan pembangunan Rijkaard selama ini di Barca, tak diruntuhkan oleh Pep.

Pep, Busquets Dan Yaya Toure

Dengan sistem dan akar yang sama, ditambah sentuhan dan pendekatan yang fresh, Pep mulai membangun Barca. Nah, salah satu kebijakannya yang terkenal Pep ketika itu adalah kepercayaannya kepada para pemain muda, terutama produk La Masia.

Hal inilah yang membuat seorang gelandang berbadan tinggi dan cungkring bernama Sergio Busquets muncul ke permukaan pada musim 2008/09. Busquets yang tadinya mantan anak asuh Pep di Barca B, mulai dipromosikan ke tim senior.

Posisinya sebagai seorang gelandang bertahan, ketika itu mustahil untuk menggantikan peran bintang mereka, Yaya Toure. Namun kepercayaan Pep ketika beberapa kali menempatkan Busquets sebagai starter menggusur Toure, mulai menjadi bahan perbincangan.

Toure bahkan rela beberapa kali duduk di bangku cadangan demi memberi menit bermain pada pemain bau kencur itu. Masih ingat di final Liga Champions Barcelona vs MU di Roma? Yaya Toure bahkan diplot sebagai bek tengah demi tetap mengadopsi Busquets di posisi gelandang bertahan.

Sedari awal, banyak publik yang menentang keberadaan Busquets. Karena ia dinilai lambat dan lemah dalam duel, serta rawan ketika bertahan dibanding Toure yang sudah terbukti. Namun, melihat komentar Johan Cruyff tentang debut Busquets di bawah Pep, membuat kekhawatiran itu seketika sirna.

Guru besar Pep itu mengungkapkan dalam kolomnya di El Periodico. Cruyff menulis yang intinya memuji taktik Pep dan peran Busquets. Meski masih muda, namun Cruyff menganggap Busquets secara teknik dan kecerdasan melebihi Yaya Toure.

Trio Makin Matang

Nah, sejak kepercayaan penuh Barca pada Busquets, embrio trio baru lini tengah Barca pun mulai tercium. Karena di sisi lain, duo “Xaviesta” pun makin matang di bawah gemblengan Pep seiring Deco yang selama ini menjadi bayang-bayang Iniesta telah pergi.

Trio Busquets, Xavi, Iniesta di bawah Pep pun terbentuk. Trio itu Ibarat puzzle yang berbeda namun kalau disatukan akan saling melengkapi. Sebuah perpaduan ideal dari tiga atribut berbeda dari masing-masing pemain.

Busquets sebagai pemain “nomor 6” atau single pivot persis di depan empat bek. Ia lebih berfungsi menyaring serangan, membaca permainan, serta sebagai jembatan transisi dalam menyerang dan bertahan. Ia adalah orang pertama yang membangun serangan. Ia bertugas mengalirkan bola untuk diolah lagi oleh Xavi dan Iniesta.

Sedangkan Xavi adalah metronom di antara Busquets dan Iniesta. Ia adalah tipikal gelandang box-to-box yang kreatif dan cerdas. Berfungsi menyembangkan tim dan mengontrol serangan. Ia sering disebut otak atau sang pemikir dari trio ini.

Nah kalau Iniesta, dengan naluri menyerangnya yang kuat ia berfungsi sebagai juru gedor dari trio ini. Kelincahan, skill, dan kecerdasannya dalam melakukan penetrasi ke dalam kotak penalti lawan adalah beberapa dari kekuatannya.

Ditinggal Pep

Hasilnya sempurna. Selama beberapa musim mereka gacor dan meraih beberapa gelar prestisius, baik di level klub maupun di timnas sekalipun. Karena tak dipungkiri La Furia Roja juga ketiban untung dari gacornya trio gelandang Barca ini.

Namun apa jadinya ketika trio ini ditinggal oleh sang empunya, yakni Pep? Karena setelah Pep hengkang dari Camp Nou pada 2012, publik menyangsikan trio itu akan langgeng.

Tapi sejarah membuktikan, bahwa setelah Pep hengkang pun trio itu masih gacor dan meraih banyak meraih prestasi. Termasuk ketika ketiganya masih ada dalam satu skuad ketika meraih gelar Liga Champions 2014/15 bersama Luis Enrique.

Akhir Dari Sebuah Era

Namun semua era pasti ada akhirnya. Xavi lebih dulu hengkang pasca meraih Liga Champions 2015. Disusul Iniesta pada 2018, dan kini yang terakhir pada 2023 giliran Busquets.

Era sudah berubah, namun trio itu akan selalu dikenang dunia sebagai salah satu yang terbaik di muka bumi. Trio Busquets, Xavi, dan Iniesta adalah sebuah fenomena yang mungkin akan sulit ditemukan kembali.

https://youtu.be/BTlNtu7C5UI

Sumber Referensi : bleacherreport, bleacherreport, barcauniversal

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru