Kamu boleh tidak suka tenis meja, takraw, lempar lembing, tapi kamu mustahil tidak menyukai sepakbola. Apalagi jika kamu seorang laki-laki. Kalau tidak cakap bermain bola tak masalah. Yang penting kalau diajak ngobrol tentang sepakbola setidaknya bisa nyambung.
Begitulah keadaannya. Sepakbola telah menyihir kita semua, menjelma sesuatu yang menakjubkan. Jogo bonito, tiki-taka, catenaccio, total football, bahkan yang hanya dengan long ball. Semuanya memukau. Belum lagi kalau kita sudah berbicara soal kesetiaan.
Namun, sepakbola bukanlah sepakbola kalau tidak ada pemain di dalamnya, pelatih yang mengarahkan, suporter yang mendukung, klub, sampai konglomerat yang membuat sepakbola berkembang. Sayangnya, justru mereka itulah yang membuat sepakbola ternoda.
Adalah seorang jurnalis investigasi, yang beberapa laporannya tersebar di The Guardian, CNN, BBC, sampai New York Times, Romain Molina tanpa tedeng aling-aling mengungkapkan sisi gelap sepakbola kepada seluruh dunia, yang membuatnya menjadi sorotan.
Jurnalis yang tanpa takut dibunuh atau diculik itu mengungkapkan bahwa sepakbola yang terkenal sebagai The Beautiful Games ternyata menyimpan borok. Borok itu pun akhirnya mengelupas dan membuat nyeri seluruh penggemar sepakbola. Nah, berikut adalah sisi gelap sepakbola yang harus kamu tahu dari sekarang.
Daftar Isi
Pengaturan Skor
Pengaturan skor barangkali menjadi sisi gelap dunia sepakbola yang kerap kita temukan. Tidak, maksudnya bukan dengan mudah kita temukan kasusnya, melainkan kita jumpai informasinya.
Masih ingat kasus calciopoli yang tidak hanya menggemparkan jagad sepakbola Italia, tapi juga dunia itu? Kasus yang turut menyeret klub raksasa macam Juventus, AC Milan, Fiorentina, dan Lazio yang terungkap tahun 2006.
Pada 2004/05, investigasi utusan federasi sepakbola Italia (FIGC) yang dibantu otoritas hakim dan polisi menemukan kejanggalan atas kemenangan Juventus pada musim itu. Penyelidik menemukan bahwa paling tidak ada 20 pertandingan Juventus yang “mencurigakan” dan ditengarai hasil patgulipat dengan wasit. Hal yang sama juga terjadi di musim 2005/06.
Luciano Moggi:
” The crisis in Italian football began with Calciopoli in 2006. It destroyed Calcio. Juventus, which has always been the leader of Italian football and of the national team in particular, and the results are there for all to see” pic.twitter.com/pjWWPvwZ9Y
— Forza Juventus (@ForzaJuveEN) March 25, 2022
Singkatnya, kasus itu pun terungkap. Polisi dan tim penyidik menempatkan nama mantan Direktur Umum Juventus, Luciano Moggi sebagai otak di balik calciopoli. Semua yang terlibat pun mendapat hukuman, termasuk Juventus yang didegradasi ke Serie B. Sementara, sosok Luciano Moggi tak boleh berkecimpung di dunia sepakbola seumur hidupnya.
Kasus pengaturan skor terjadi bukan hanya di Eropa. Karena situs taruhan konon menjadi yang turut mendorong hadirnya match fixing, dan kebanyakan dari mereka bergeliat secara internasional, maka kasus serupa juga ada di Asia Tenggara dan Amerika Latin.
Masih ingat kasus yang menimpa klub Liga 2 Indonesia, Perserang? Itu baru salah satunya. Jika kita mencari yang lain lagi di internet, tentu kita akan menemukan kasus serupa dengan mudahnya.
#News | 🇮🇩 Football Association of Indonesia (PSSI) has banned 5 players of Perserang Serang for 2 to 5 years due to match-fixing in Liga 2 2021.
The five Perserang players convicted by PSSI include Eka Dwi Susanto, Fandy Edy, Ivan Julyandhy, Ade Ivan Hafilah and Aray Suhendri. pic.twitter.com/4mQ5A6YJII
— ASEAN FOOTBALL (@theaseanball) November 3, 2021
Meski banyak, menemukan kasus pengaturan skor tak segampang menemukan air putih di dalam kulkas. Sebab para pelaku kerap bermain cantik. Sementara, federasi yang berkaitan lebih suka berkilah daripada berbenah.
Korupsi dan Suap
Mantan Presiden FIFA, Sepp Blatter barangkali selama hidupnya tak pernah menyangka akan bekerja dengan para pegawai yang korup. Para pegawai yang membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa selain mundur dari jabatannya tahun 2015 silam.
FIFA dituduh menerima suap senilai 150 juta dolar atau Rp2,1 triliun kurs sekarang, di mana 110 juta dolarnya berkaitan dengan penyelenggaraan Copa America 2016 di Amerika Serikat. Beberapa pejabat FIFA yang sedang kongres di Zurich dibekuk pada tahun 2015. Ini menjadi salah satu kasus suap terbesar.
The disgraced former FIFA president Sepp Blatter looks bemused as fake dollars float around him, thrown by a protester during a press conference in Zurich in July 2015. By the end of the year he had been thrown out of office amid myriad claims of corruption pic.twitter.com/et5t9fxE4T
— Historic Sports Pictures (@HistoricSports2) September 8, 2021
Nama lain yang juga terseret adalah Michel Platini, Presiden UEFA kala itu. Mengutip Tribuna, Platini disinyalir menerima uang 2 juta dolar (Rp28,7 miliar) dari kasus tersebut. Komite Etik FIFA pun melarang Platini melakukan aktivitas yang berkaitan dengan sepakbola sampai 2023 mendatang.
Sialnya, hal semacam ini tak hanya terjadi di era Sepp Blatter. Selain yang kemungkinan terjadi di level klub dan liga, katakanlah seperti kasus barcagate, FIFA era Giani Infantino juga tak lepas dari tuduhan tindak penyuapan. Pelaksanaan Piala Dunia 2018 Rusia dan Piala Dunia 2022 Qatar, misalnya.
Dua Piala Dunia tersebut penuh dengan kontroversi. Departemen Kehakiman Amerika Serikat, seperti dilansir Tribuna, mengklaim ada yang tidak beres dari dua Piala Dunia itu. Ada tuduhan bahwa pejabat FIFA disuap agar Rusia dan Qatar menjadi tuan rumah. Ironisnya tudingan itu hanya menguap begitu saja.
Perdagangan Manusia
Menjadi seorang pesepakbola adalah jalan pintas agar seseorang bisa terkenal, kaya raya, dan derajat naik seketika. Begitulah kita melihat sosok N’Golo Kante, Thomas Partey, Junior Messias, sampai Jamie Vardy. Keinginan menjadi pemain bola terkenal pun boleh jadi ada di setiap benak anak di seluruh dunia.
Anak-anak di Benua Afrika misalnya. Mereka melihat sosok Samuel Eto’o, Thomas Partey, Sadio Mane, Mohamed Salah sebagai sosok pesepakbola yang berkelas, penuh talenta, dan banjir harta.
Wajar kalau anak-anak akhirnya berminat mengikuti jejak mereka. Karena barangkali dengan menjadi pesepakbola, taraf kehidupan bakal naik dan tarif kehidupan terpenuhi.
Namun, itulah yang justru dimanfaatkan agen-agen bedebah yang mengobral masa depan demi menggaet pemain amatir, untuk kemudian menjualnya dengan harga yang sama sekali tidak pantas. Atau bahkan menjualnya sebagai budak atau mungkin pemuasan fetish seseorang belaka.
“AFCON is more important than the World Cup for Africans. They must help the African people for the organization of the CAN, and not fight against it, but Africa is not considered like the other continents. It’s reality ”
Claude Leroy #CAN2021 pic.twitter.com/mJRAlQCAdf— Qatar 2022 World cup 🌍 🏆 (@africulture10) January 21, 2022
Hal semacam itu kerap menimpa anak-anak di Benua Afrika. Dilansir Football Paradise, pemain yang mengantarkan Kamerun juara AFCON 1998, Claude Leroy mengatakan, itu terjadi karena sistem akademi di Afrika sangatlah buruk.
Ia mengatakan bahwa target agen abal-abal itu adalah menjual anak-anak dengan harga murah. “Saya berjuang melawan orang-orang seperti itu,” kata Leroy seperti dikutip Football Paradise. Beberapa laporan mengklaim lebih dari 15 ribu pemain Afrika diperdagangkan masuk Eropa setiap tahunnya.
Pelanggaran HAM
Kasus pelanggaran HAM masih menggerayangi Piala Dunia 2022 Qatar. Setidaknya, menurut laporan INews, 24.000 pekerja menderita pelanggaran HAM. Adapun pelanggaran itu berupa gaji yang tidak dibayar, tunjangan yang entah lari ke mana, sampai keselamatan kerja yang terabaikan.
Hal itu berkaitan dengan pembangunan infrastruktur penunjang Piala Dunia 2022. Qatar, meski mengklaim memiliki standar tinggi bagi pekerja terutama imigran, pada kenyataannya belum sampai sana. Pusat Sumber Daya Bisnis dan Hak Asasi Manusia, menemukan 411 kasus yang berkaitan dengan pelanggaran HAM.
Since Qatar won the World Cup bid in 2010, thousands of migrant workers have died of unexplained causes, including those building the World Cup infrastructure.
FIFA World Cup 2022 is built on human rights abuses. pic.twitter.com/EggckxQQVn
— Human Rights Watch (@hrw) March 28, 2022
Di antaranya, pekerja yang membangun Stadion Al-Bayt mengklaim tidak dibayar selama tujuh bulan. Ada lagi pekerja di Stadion Ahmed bin Ali yang mengaku dipaksa bekerja dalam situasi berbahaya.
Bahkan di Education Stadium ada pekerja yang jatuh sakit sampai meninggal lantaran stres dan kepanasan. Ada pula pekerja yang paspornya yang disita, bekerja 20 jam dengan sedikit waktu istirahat, dan masih banyak lagi penderitaan pekerja.
Isu pelanggaran HAM di sepakbola menjadi problem serius, namun kelihatannya FIFA masih tidak mempedulikan hal-hal semacam ini.
Pelecehan Seksual
Barangkali pelecehan seksual menjadi sisi gelap sepakbola yang paling sering dilakukan para pesepakbola. Mason Greenwood, Ryan Giggs, sampai Ferland Mendy adalah contohnya. Bahkan tak hanya itu, kasus pelecehan seksual juga pernah terjadi di International Centre FIFA.
Sayangnya, meski Greenwood melakukan penganiayaan dan kekerasan pada pacarnya, Ferland Mendy memukul seorang perempuan dan menunjukkan alat vitalnya, sampai Elye Wahi saat berseragam Caen, memaksa siswa sekolah menengah menanggalkan pakaianny, dan memaksanya masturbasi, kasus semacam ini tak pernah tuntas.
Elye Wahi from Montpellier got banned from the Caen Academy for obliging secondary school students masturbate in front of him in the toilets
— 𝙄𝙣𝙛𝙞𝙣𝙞𝙩𝙮 🇫🇷🏴🇧🇮🇷🇼 (@SRFC_Infinity35) November 18, 2021
Ironisnya, yang diingat dari kasus Elye Wahi adalah ia dikeluarkan dari akademi Caen karena melakukan kekerasan terhadap staf. Sungguh menjengkelkan. Mengapa hal itu terus terjadi?
Kandidat PhD dari Universitas Oxford, Ailish Saker menjelaskan alasannya di The Conversation. Dalam tulisannya itu, pelecehan seksual di sepakbola kerap terjadi lantaran hukum yang tidak memihak korban, minimnya perlindungan terhadap korban, dan korban tidak dipercaya.
Ia mencontohkan bahwa pada tahun 2018, ada 100 korban melapor ke polisi, tapi yang diterima laporannya hanya 12. Ailish juga mengkritik otoritas sepakbola, terutama klub yang tidak becus mengurus dan menjaga para pemainnya.
Hal-hal tadi memang tidak setiap hari terjadi. Tidak juga seperti Liga Inggris yang tiap pekan bermain kecuali pas libur. Namun, masalah-masalah tadi bisa menjadi masalah besar bagi sepakbola. Dunia sepakbola jadi penuh nanah yang membuat siapa pun nyeri kalau tak segera diobati.
https://youtu.be/ZcpvxfBdjCU
Sumber referensi: TheGuardian, Stuyspec, Tirtoid, AllFootballApp