Shin Tae-yong. Bukan sekadar pelatih. Ia adalah simbol harapan dan kebangkitan yang pernah hidup dalam setiap detak jantung sepakbola Indonesia. Di tangannya, Skuad Garuda yang tadinya selalu tampil malu-malu, mulai berani bermimpi. Bermimpi tampil di panggung terbesar sepakbola dunia.
Tapi kini, ada kabar mengejutkan dari utara. Belum juga move on dari STY, kita telah mendengar bahwa Timnas China tengah bersiap meminangnya. Bagi sebagian orang, ini mungkin sekadar gosip bursa pelatih. Namun bagi pecinta sepak bola Indonesia, ini menyentuh sisi yang lebih dalam.
Apalagi ketika mendengar kalau ternyata respons publik China justru negatif terhadap pelatih asal Korea Selatan itu. Hal ini menimbulkan kebingungan. Kenapa sosok murah senyum, semenyenangkan, dan se-rahat STY, justru dibenci oleh masyarakat China? Apa yang sebenarnya ada di benak fans China?
Daftar Isi
Testimoni Dari Indonesia
STY adalah pelatih yang teramat mudah untuk dicintai. Yaaa, meskipun suka marah-marah, STY tetaplah pelatih yang mampu membangun kedekatan. Ia juga memiliki hubungan batin yang baik dengan pemain serta masyarakat Indonesia.
Shin Tae-yong datang ke Indonesia bukan hanya sebagai pelatih asing dengan nama besar. Tapi sebagai sosok yang perlahan-lahan belajar memahami dan mengurai benang kusut di sepakbola tanah air. Jika kebanyakan pelatih membangun sebuah tim dari nol, maka STY ini membangun sepakbola Indonesia dari kondisi minus.
Ia tidak sekadar memberikan instruksi di lapangan, tapi juga hadir sebagai figur ayah yang mengajari anak laki-lakinya bagaimana cara menendang bola. Ia adalah mentor sekaligus sahabat bagi para pemain muda Indonesia. Ia mengerti bahwa membentuk tim bukan hanya soal taktik, tapi juga menyentuh hati mereka yang mengenakan lambang Garuda di dada.
Di balik wajah seriusnya, tersembunyi rasa hormat dan cinta terhadap Indonesia. Perasaan itu semakin terasa saat Shin Tae-yong tetap bertahan meski sempat digoyang tekanan, drama federasi, hingga hasil yang tak selalu memuaskan. Namun, yang namanya awal, pasti ada akhir. Dan romantisme Indonesia dengannya berakhir di awal tahun 2025.
Respons Negatif
Meski Shin Tae-yong sudah tak menjadi pelatih Indonesia, namanya masih tetap memiliki ruang tersendiri di relung hati para fans dan seluruh lapisan masyarakat. Dirinya bahkan membangun sebuah akademi agar tetap bisa terhubung dan berkunjung ke Indonesia. Maka dari itu, aneh saja ketika mendengar kalau publik China justru merespons negatif ketika STY diisukan bakal jadi pelatih Tim Naga.
Isu ini pertama kali menyeruak dari sejumlah media China, termasuk Sohu, yang mengabarkan bahwa Shin Tae-yong menjadi salah satu kandidat kuat pengganti Branko Ivankovic. Tak butuh waktu lama, kabar ini pun turut jadi sorotan di Indonesia dan Korea Selatan.
Meski begitu, pelatih asal Korea Selatan tersebut menegaskan belum menerima tawaran resmi dari Asosiasi Sepakbola China (CFA). Bahkan, menurut Bolasport, kemungkinan STY untuk melatih Timnas China dalam waktu dekat terus mengecil. Perkaranya masyarakat China justru menyambut isu kedatangan Shin Tae-yong dengan cara yang kurang baik.
Padahal China sedang membutuhkan pelatih secepatnya karena akan tampil di ajang East Asian Cup 2025 pada awal Juli mendatang. Masih dari sumber yang sama, kabarnya ada Sina Sports, salah satu media asal China bahkan menyatakan pandangan negatif, dengan mengatakan, “Pelatih Korea tidak boleh ditunjuk”. Mereka memiliki kecenderungan kuat terhadap egoisme kelompok.
Mereka disebut lebih menyukai pelatih asal Eropa yang dianggap lebih cocok untuk membenahi skuad nasional mereka, ketimbang orang Korea. Faktor politik dan sejarah turut memperkeruh suasana. Meski bertetangga secara geografis, hubungan antara China dan Korea Selatan tidak terlalu harmonis.
Sentimen Nasionalisme Kepada Korea
China memang punya sentimen nasional yang tinggi, terutama dengan negara-negara tetangga, terutama Korea Selatan. Nasionalisme ini tidak hanya muncul dalam urusan politik atau militer, tetapi juga sangat terasa dalam dunia olahraga dan budaya populer. Bagi banyak warga Tiongkok, kekuatan bangsa bukan hanya ditentukan di parlemen atau pasar global, tetapi juga di lapangan hijau.
Karena kedekatan geografis, persaingan ekonomi, serta dominasi Korea Selatan dalam budaya pop dan olahraga jadi perhatian masayarakat China. Sejauh ini, China, selalu ngerasa dirinya raja di Asia Timur. Mereka punya ekonomi raksasa, teknologi yang makin hari makin canggih, dan pengaruh politik yang bikin negara-negara lain harus mikir dua kali kalau mau bantah.
Nah, perkembangan Korea Selatan yang semakin pesat jadi masalah bagi China. Bukan cuma jago bikin HP dan mobil, Korea Selatan juga menyebar virus K-pop dan K-Drama ke seluruh penjuru dunia. Dari Blackpink sampai The World of the Married, semua bikin China gerah diam-diam.
Di tengah ketegangan itu, muncul nih berita Shin Tae-yong bakal latih Timnas China. Jadi logis mengapa respons fans tim nasional China agak gimana gitu. Ibaratnya, ya kayak Timnas Indonesia rekrut pelatih asal Malaysia. Ngerti kan perasaan gengsi dan sungkan yang bercampur jadi satu?
Korea Phobia
Terlebih, dalam sepakbola China seringnya kalah sama Korea Selatan. Situasi ini jadi bumbu tambahan di tengah sentimen kepada Korsel. Menurut situs Transfermarkt, China sudah saling berhadapan sebanyak 37 pertandingan sejak 1978. Dari beberapa dekade itu, China cuma pernah menang 2 kali dan imbang 12 kali. Sisanya, dimenangkan oleh Korsel.
Bukan cuma itu, China juga kerap jadi bulan-bulanan Korea Selatan. Total, dari 37 pertemuan, Korsel sudah membobol gawang Tim Naga sebanyak 57 kali. Sedangkan China cuma bisa menjebol gawang Negeri Gingseng sebanyak 28 kali. Jomplang kan? Ini baru dari statistik head to head ya, belum adu prestasi.
China baru sekali lolos ke Piala Dunia, tepatnya pada edisi 2002 di Korea Selatan dan Jepang. Itu adalah satu-satunya penampilan mereka sejauh ini. Sedangkan Korsel, sudah berpartisipasi di kompetisi sepakbola terakbar di dunia ini sebanyak 11 kali. Mereka bahkan pernah jadi tuan rumah di edisi yang juga diikuti oleh China.
Dengan adanya gap yang terlalu jauh ini, muncul istilah “Korea-Phobia” di kalangan fans China. Istilah ini mulai populer di awal 2000-an di kalangan media dan netizen China yang melihat timnya cuma jadi bulan-bulanan Korsel.
“Korea-Phobia” bukan cuma tentang skor, tapi mencerminkan mental block atau tekanan psikologis setiap kali bertemu Korea Selatan di lapangan. Istilah ini kembali muncul setelah adanya kabar bahwa Shin Tae-yong diminati oleh federasi sepakbola China. Mempekerjakan STY sebagai pelatih bisa disebut sebagai penghinaan nasional oleh media.
Kepribadian STY
Tak berhenti karena urusan sejarah, tapi juga soal persaingan budaya. Menurut CNN Indonesia, Korea Selatan dan China sempat geger mengenai asal-usul makanan tradisional, Kimchi. Netizen Korsel atau biasa disebut KNetz merasa masyarakat China “mencuri” budaya mereka dengan mengklaim Kimchi sebagai makanan khas China. Udah kayak Indonesia sama Malaysia yang rebutan batik kan?
Menurut beberapa sumber, STY tidak disukai karena punya gaya komunikasi yang tajam dan sedikit arogan. Ia tak ragu melontarkan kritik terbuka di konferensi pers. STY juga dinilai gemar meremehkan lawan. Keputusan STY yang merombak susunan pemain saat Indonesia bertandang ke China tahun lalu pun dianggap sebagai tindakan arogan.
Bagi publik China, gaya bicara seperti ini tidak sesuai dengan norma komunikasi mereka yang lebih mengedepankan keharmonisan, kesantunan, dan tidak menjatuhkan muka lawan di ruang publik. Dalam budaya China, menjaga konsep “mianzi” sangat penting, apalagi dalam konteks hubungan antarnegara.
Asing? Ya Eropa Aja!
Sentimen terhadap Korea Selatan juga dibuktikan dengan tim nasional China yang memang tak pernah menggunakan pelatih asal Korea. Dilansir situs Transfermakrt, sejak 1936, China belum pernah menggunakan pelatih Asia selain dari negaranya sendiri dan Hongkong. Sekalinya pelatih asing, ya langsung pelatih asal Eropa.
Yang dipilih pun bukan sembarangan. Tim Naga pernah dilatih oleh nama-nama beken macam Marcelo Lippi dan Fabio Cannavaro dari Italia. Jose Antonio Camacho dari Spanyol. Ada juga pelatih yang pernah diimpor dari Prancis, namanya Alain Perrin. Yang terakhir pun, yakni Branko Ivankovic berasal dari Kroasia. Jadi, ngapain juga mencederai nasionalisme demi merekrut pelatih asal Korea? Wong mereka mampu bayar pelatih top kok.
Sumber: Bolasport, Inews, Sport Detik, CNN Indonesia