Ada lebih dari selusin pemain di seluruh dunia yang menyandang julukan The Next Messi. Namun, tak ada satu pun pemain yang mampu melebihi kemampuan dan kebintangan kapten Timnas Argentina itu. Termasuk mantan punggawa Timnas Prancis, Hatem Ben Arfa.
Gelandang serang yang ngetren di pertengahan tahun 2000-an ini digadang-gadang bakal menyamai level Messi suatu saat nanti. Namun, Ben Arfa tak pernah mencapai level tersebut. Ia justru mengalami penurunan karir yang tajam setelah hengkang dari Newcastle United pada tahun 2010. Lantas, apa yang membuat karir Ben Arfa tak pernah mencapai titik maksimal?
Daftar Isi
Generasi Emas Prancis
Hatem Ben Arfa bukan orang sembarangan. Di usianya yang kala itu masih 17 tahun, Ben Arfa sudah melakoni debut profesional di klub sekelas Lyon pada tahun 2004. Namun, sebelum debutnya itu, ia sudah menjadi sorotan kala membantu Timnas Prancis U-17 memenangkan Euro U-17 beberapa bulan sebelumnya.
Ben Arfa tergabung dalam generasi emas Timnas Prancis yang kala itu berisikan pemain macam Samir Nasri, Jeremy Menez, hingga Karim Benzema. Keempatnya digembar-gemborkan bakal menjadi wajah masa depan skuad Les Blues. Sayangnya, generasi ini dianggap terkutuk. Sebab dari keempatnya tak ada yang bertahan di level tertinggi dan masuk skuad juara dunia Prancis tahun 2018.
Setelah melakoni debutnya bersama Lyon, Ben Arfa menjadi salah satu pemain muda paling dibicarakan. Pada awalnya, ia berjuang untuk mengamankan satu posisi utama di skuad Lyon yang mendominasi Ligue 1 saat itu. Lyon mendominasi dengan memenangkan tujuh trofi berturut-turut sejak 2002 hingga 2008.
Musim pembuktian Ben Arfa terjadi pada musim 2007/08 saat Florent Malouda bergabung ke Chelsea. Ia memanfaatkan kepergian Malouda untuk mendapatkan lebih banyak menit bermain guna menunjukan kemampuan sesungguhnya. Selama musim terakhirnya di Lyon, ia terlibat dalam 11 gol di Ligue 1. Berkat penampilannya itu, ia memenangkan penghargaan pemain muda terbaik di musim tersebut.
Keluar Sifat Aslinya
Rangkaian pencapaian yang luar biasa di usia muda membuat Ben Arfa bergabung ke klub asal Prancis lainnya, Marseille pada awal musim 2008/09. Bersama Les Phocéens, permainannya kian matang. Ia bahkan membantu tim untuk menjuarai Liga Prancis musim 2009/10. Namun, di sinilah sifat aslinya mulai terlihat.
Sifat angkuh dan star syndrom Ben Arfa muncul. Ia merasa kalau dirinya lah yang terbaik di lapangan. Sikapnya itu membuat suasana ruang ganti jadi tidak kondusif. Ben Arfa juga kerap tak mendengar instruksi pelatih karena merasa punya kendali penuh atas dirinya sendiri. Oleh karena itu, ia tak memiliki hubungan baik dengan pelatih Marseille saat itu, Didier Deschamps.
Setelah bersitegang dengan Deschamps, Ben Arfa mulai tersisih dari skuad Marseille. Akhirnya klub membuka pintu untuk tim lain yang berminat menggunakan jasa sang pemain. Pada Agustus 2010, Newcastle United sepakat meminjam Ben Arfa untuk semusim penuh. Namun, kontrak tersebut direvisi pada Januari 2011 menjadi transfer permanen dengan durasi hingga empat tahun ke depan.
Membaik Tapi Tetap Bermasalah
Bergabung ke Newcastle penampilannya kian meroket. Bisa dibilang ini adalah puncak karirnya dalam sepakbola. Ben Arfa tak cuma bisa bermain sebagai pemain sayap, tapi juga mengatur alur di belakang penyerang. Selama berseragam The Magpies, Ben Arfa bermain 86 kali dan mencetak 14 gol serta 15 assist.
Selain itu, Ben Arfa juga menjadi pemain paling jago dribbling di Inggris. Ia menyelesaikan 4,15 dribble per 90 menit dan itu jadi yang terbaik di Liga Inggris. Untuk catatan tersebut ia bahkan mengalahkan Eden Hazard, Raheem Sterling, dan Luis Suarez. Kita semua disuguhkan penampilannya yang menawan di setiap pertandingan.
Ben Arfa memberikan banyak momen luar biasa yang hidup dalam cerita rakyat Newcastle dan akan terus dikenang untuk waktu yang lama. Apalagi gol-gol spektakulernya melawan Bolton, Blackburn, Everton, dan sebagainya. Namun, penampilan gemilangnya tercoreng setelah sang pemain kembali bermasalah dengan pelatihnya.
Kali ini Ben Arfa berselisih dengan Alan Pardew. Namun, pihak klub berusaha menutupi kasus ini dengan hukuman denda yang aneh. Klub menghukumnya dengan larangan bermain dan sejumlah denda dengan alasan Ben Arfa kelebihan berat badan. Padahal itu akal-akalan klub aja karena Pardew sudah enggan memakai jasa sang pemain lagi.
Pengakuan dari Sang Agen
Di tengah gelagat Newcastle yang sudah nggak mau memainkannya lagi, Ben Arfa justru ngotot ingin bertahan. Karena ia merasa nyaman dan bisa mencapai potensi maksimalnya ketika bermain di Inggris. Klub yang bermurah hati pun akhirnya hanya meminjamkan sang pemain ke Hull City. Namun, itu tampaknya ide yang buruk bagi kedua belah pihak.
Bukannya sadar diri dan memperbaiki sikap, Ben Arfa justru kembali bersitegang dengan pelatih Hull City, Steve Bruce. Kabarnya, baru beberapa bulan saja pelatih Hull sudah muak dengan sifat congkak dan selalu ingin diperlakukan istimewa dari Ben Arfa. Dan itu diakui oleh mantan agennya, Frederic Guerra.
Kepada Goal Guerra pernah merinci mengapa ia merasa Hatem Ben Arfa selalu bermasalah dengan pelatihnya. Menurutnya, Ben Arfa merupakan pemain yang malas dan memiliki kepribadian buruk.
Guerra bahkan menyebut sang pemain sebagai pribadi yang tak memiliki filter di mulutnya. Ia akan mengeluarkan kata-kata tanpa memikirkan efeknya. Itulah yang membuat Ben Arfa tak disukai di ruang ganti. Sang agen juga membandingkannya dengan Benzema, pemain seangkatannya yang mau bekerja lebih keras dan mencapai kesuksesan lebih cepat daripada dirinya.
Guerra menambahkan kalau ini merupakan masalah psikologis Ben Arfa sejak kecil. Dia adalah sosok yang besar kepala dan selalu ingin dilayani bak seorang raja. Sewaktu masih muda, Ben Arfa selalu bisa mendapatkan apa yang ia mau tanpa harus susah payah bekerja terlebih dahulu. Agennya percaya kalau Ben Arfa memiliki bakat yang luar biasa. Tapi jika tak diimbangi dengan sikap dan kedisiplinan yang baik itu hanya omong kosong.
Si Paling Nganggur
Setelah rangkaian permasalahan dengan pelatih di Liga Inggris, situasi Ben Arfa kian rumit. Pasalnya Newcastle dan Hull City tak mau menampungnya lagi. Alhasil The Magpies memutus kontraknya pada Januari 2015. Setelah kontraknya tak diperpanjang, Ben Arfa sempat nganggur selama enam bulan sebelum akhirnya mendapatkan kontrak dari Nice.
Ketika bermain di Nice, beberapa pengamat bola memandang Ben Arfa sebagai pemain yang sedang membangun kembali reputasinya di kampung halaman. Bahkan berkat 17 gol dan enam assist-nya di Nice ia diangkut oleh raksasa Prancis, Paris Saint-Germain Juli 2016. Namun, lagi-lagi ia tak bisa mengontrol mulutnya.
Candaan tak sopan kepada Nasser Al-Khelaifi membuat presiden klub itu marah besar. Sebagai hukuman, Nasser menyuruh Unai Emery, pelatih PSG saat itu untuk tidak memainkannya lagi. Akhirnya Ben Arfa pun nggak main sama sekali di musim 2017/18.
Setelah konflik itu, Ben Arfa kembali nganggur lalu dapat kontrak jangka pendek dari klub lokal. Tapi kelakuannya membuat sang pemain tak bertahan lama dan akhirnya nganggur lagi. Begitu terus sampai sekarang.
Sumber: The Analyst, Goal, Daily Mail, Panditfootball