Jika ingin meraih sebuah kesuksesan, maka ada yang harus dikorbankan. Dan Luis Enrique berpegang teguh pada kalimat itu. Ia rela menyimpan pemain-pemain kuncinya di pertandingan Ligue 1, agar tetap fit jelang laga melawan Meriam London.
Enrique memang seambisius itu di Liga Champions musim ini. Selain karena ada tekanan dari manajemen dan publik Prancis, ada martabat yang harus tetap dijaga. Sebagai peraih treble bersama Barcelona, Enrique ingin membuktikan bahwa keberuntungan bukan satu-satunya cara untuk meraih prestasi.
Namun, sekeras apa pun usaha PSG, Arsenal ialah sang penentu nasib. Musim ini, target Arsenal cuma satu, yakni juara UCL. Tentu mereka tak akan semudah itu membiarkan PSG menang. Lantas, siapa yang akan unggul? Usaha PSG atau suratan takdir Arsenal?
Daftar Isi
Perjalanan Menuju Semifinal
Sebelum membahas peta kekuatan kedua tim, kita akan membahas sepak terjang kedua tim di Liga Champions musim ini. Di babak liga atau babak penyisihan grup, kedua tim sebelumnya pernah bertemu sekali. Tepatnya, di pekan kedua. Saat itu pasukan Mikel Arteta membuktikan diri bahwa merekalah yang lebih baik.
Arsenal juga sekali lagi membuktikan bahwa mereka jadi tim yang lebih siap menghadapi tantangan ketimbang PSG. Itu bisa dilihat dari hasil di babak penyisihan. Arsenal dengan mantap finis di urutan ketiga klasemen akhir, di bawah Liverpool dan Barcelona. Sementara PSG terlunta-lunta di urutan 15.
Situasi sulit membuat tim asuhan Luis Enrique harus melewati babak play off terlebih dahulu, sebelum akhirnya melaju ke babak 16 besar. Beruntungnya, PSG cuma menghadapi Brest, tim yang sudah puluhan kali dihadapi di kompetisi Liga Prancis. Ousmane Dembele dan kolega pun menang telak dengan agregat sepuluh gol tanpa balas.
Di fase gugur, baik PSG maupun Arsenal menghadapi tim-tim yang tak mudah untuk dikalahkan. Namun, mereka berhasil melewati tantangan tersebut. Keduanya telah mengalahkan tim-tim berlabel “calon juara”. PSG mengalahkan Liverpool dengan adu penalti, sedang Arsenal menggusur Real Madrid secara paksa dari tahta.
Keduanya sama-sama mendapat pujian, tapi Arsenal mendapat sorot lebih terang ketimbang PSG. Mengalahkan Liverpool dengan statusnya sebagai juara bertahan Liga Prancis, tak begitu sexy untuk dibahas. Sedangkan Arsenal, beuh namanya ada di mana-mana. Semua kanal berita langsung memberi Meriam London julukan sebagai “calon juara baru”.
Latar Belakang yang Sama
Selain karena mempertemukan dua tim yang menyingkirkan para calon juara, pertemuan antara PSG dan Arsenal juga semakin menarik karena memiliki latar belakang yang sama. Bukan sama-sama klub kaya yang doyan buang-buang duit ya. Arsenal jauh dari itu. Latar belakang yang dimaksud adalah sepak terjang kedua tim di Liga Champions.
Jika media-media lain menyebut Arsenal sebagai calon juara baru, mimin lebih senang menyebut mereka sebagai badut UCL. Terkesan judgemental memang, tapi setelah membaca riwayat hidup Meriam London di kompetisi Eropa, beberapa dari kalian pasti langsung sepakat dengan julukan itu.
Dalam sejarahnya, Arsenal belum pernah meraih prestasi di kompetisi Eropa. Europa League aja nggak pernah, apalagi Liga Champions. Bayangin saja, sejak pertama kali Liga Champions lahir dengan nama European Cup pada 1955, sampai dengan Gibran Rakabuming Raka naik jadi wakil presiden Indonesia, Arsenal belum meraih juara.
Laju mereka lebih sering terhenti di babak 16 besar. Bayern Munchen tercatat jadi yang paling sering mengantar Arsenal pulang ke London. Eits, tapi bukan berarti Arsenal tak pernah mencapai final. Pernah sekali pada musim 2005/06. Thierry Henry masih jaya-jayanya pas itu. Tapi boro-boro juara, Arsenal yang masih diperkuat Henry tetap aja kalah. Barcelona jadi mimpi buruk kala itu. Yang makin jengkel, setahun setelahnya, Henry malah gabung Barca dan meraih gelar UCL musim 2008/09.
Lantas, bagaimana dengan PSG? Sebelas dua belas lah ya. Mereka juga berkawan baik dengan apa itu yang dinamakan kegagalan. Sama halnya dengan Arsenal, Les Parisiens juga bolak-balik gagal di babak 16 besar atau perempat final. Barcelona jadi tim yang sering bikin PSG kerepotan.
Sempet sih mencapai final pada musim 2019/20. Tapi, saat itu Bayern Munchen dinilai terlalu perkasa bagi PSG. Itu jadi kekalahan paling menyakitkan karena PSG hanya selangkah lagi untuk mencapai apa yang sudah dicita-citakan sejak 2011. Sudah ratusan juta euro dibakar demi mencapai titik itu. Tapi apa boleh buat. Takdir berkata lain.
Kondisi Tim
PSG dan Arsenal sudah kenyang asam garam di kompetisi Eropa. Setiap kekalahan tampaknya telah dijadikan sebagai pembelajaran. Tapi, bagaimana kondisi mereka jelang pertandingan? PSG mungkin sudah tak bermandikan bintang. Sudah tak ada lagi nama-nama besar laiknya Lionel Messi atau Neymar, permainan Les Parisiens malah kayak pertamax oplosan: cair.
Mengutip Goal, PSG bahkan baru saja memecahkan rekor laga tandang. Setelah hasil imbang 1-1 melawan Nantes kemarin, PSG mencatatkan 39 pertandingan berturut-turut tanpa menderita kekalahan tandang di Ligue 1. Sebelumnya, rekor tersebut dipegang oleh AC Milan dengan runtutan 38 pertandingan. Rekor itu patah setelah bertahan selama kurang lebih 33 tahun.
Catatan menarik itu bisa jadi modal kuat bagi PSG sebelum bertandang ke Emirates Stadium. Nah, situasi berbalik malah menimpa Arsenal. Di Premier League, Arsenal sedang tak stabil performanya. Mereka hanya menang dua kali dari lima pertandingan terakhir. Yang terbaru, Meriam London bahkan ditahan imbang Crystal Palace dengan skor 2-2.
Belum lagi, Arsenal akan meladeni PSG tanpa skuad terbaiknya. Pemain-pemain macam Gabriel Magalhaes, Riccardo Calafiori, Kai Havertz, dan Gabriel Jesus kabarnya belum bisa diturunkan oleh Mikel Arteta. Ini lagi-lagi bertolak belakang dengan kondisi pemain PSG. Menurut Transfermarkt, seluruh pemain PSG berada dalam kondisi siap tempur.
Kelemahan & Keunggulan
Meski demikian, bukan berarti PSG datang tanpa kelemahan. Mencari kelemahan PSG memang sulit. Tapi, jika dipelajari lebih rinci, maka ada celah di sistem pertahanan mereka. Meskipun PSG hanya kebobolan rata-rata 0,96 gol per pertandingan di Ligue 1, mereka masih menunjukkan kerentanan saat menghadapi tekanan tinggi dari lawan.
Hal ini terlihat dalam kekalahan mereka 0-1 dari Bayern Munich di fase grup Liga Champions, di mana lini belakang PSG kesulitan menghadapi pressing intens dari lawan. Apalagi, garis pertahanan PSG cukup tinggi. Arsenal yang mengandalkan kecepatan dan serangan balik kilat jelas akan merepotkan.
Selain itu, menurut Get Football News France, Luis Enrique juga mengakui bahwa timnya acap kali kesulitan dalam mengatasi skema bola mati. Sementara bola mati adalah senjata paling ampuh yang dimiliki Arsenal.
Bermain tanpa striker, skema bola mati, entah dari tendangan bebas maupun sepak pojok dijadikan solusi jitu untuk mencetak gol. Soal sengeri apa skema bola mati Arsenal, pemain-pemain PSG mungkin bisa tanya langsung sama Thibaut Courtois. Dua kali gawangnya dijebol Declan Rice melalui free kick yang melengkung sempurna.
Tapi fans Arsenal jangan buru-buru jumawa, bek-bekmu tuh, pada ngawur mainnya. Kita tak akan lagi membahas blunder konyol William Saliba kemarin, tapi ini lebih menyeluruh. Arsenal kerap mengalami penurunan konsentrasi di babak kedua. Empat dari lima pertandingan terakhir di Premier League, yakni ketika melawan Fulham, Everton, Brentford, dan Crystal Palace, Arsenal selalu kebobolan di babak kedua.
Well, setiap tim punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Tinggal siapa yang mampu memaksimalkan kekuatan dan momentum untuk mengeksploitasi kelemahan lawan. Saat ini, angin sedang berhembus kencang ke arah Arsenal. Namun, PSG pasti tak mau kembali jadi badut UCL musim ini.
Sumber: GFNF, The Athletic, Total Football Analysis, Football Transfers


