10 Musim Nggak Juara Liga Champions! Saatnya Barcelona Juara Lagi

spot_img

Kalian mungkin nggak sadar kalau Barcelona kurang lebih sudah 10 musim nggak menjuarai Liga Champions. Los Cules terakhir kali mengangkat trofi Si Kuping Gajah pada musim 2014/15 lalu. Selebihnya, Barcelona bagai kena kutukan di perempat final.

Lantas, di musim ini gimana peluang Barcelona dalam mengakhiri puasa gelar? Dengan skuad yang ada, apakah El Barca bisa juara UCL lagi? Atau harus menanti lebih lama hingga musim-musim berikutnya?

Kami telah merangkai pertanyaan-pertanyaan tersebut jadi cerita yang menarik untuk disimak. 

Momen Juara Barcelona di Liga Champions

Waktu memang kejam, tahu-tahu kita yang dulu masih haha hihi saat bocil, kini tanpa terasa harus berjuang menghadapi kerasnya kehidupan sebagai orang dewasa. Begitu juga dengan Barcelona, yang dulu tampak sangat mudah berjaya di Eropa, kini harus berdarah-darah untuk mendapat gelar juara.

Status Barcelona sebagai Raja Eropa terakhir kali didapat pada musim 2014/15. Hingga kini Mahkota itu belum lagi didapatkan oleh klub asal Catalan ini. Di musim semi itu, perjalanan Barcelona mencapai puncak boleh dibilang nggak begitu sulit.

Meskipun berada satu grup dengan para juara dari Liga Top Eropa, Barcelona yang saat itu dilatih Luis Enrique bisa melenggang mulus. Ajax Amsterdam yang jadi Raja di Eredivisie sukses dipecundangi. Paris Saint-Germain yang jadi raja di Ligue 1 dibuat menangis. Lalu ada Apoel Nicosia, penguasa divisi pertama Siprus yang gampang saja ditekuk.

Terbiasa menghadapi tim besar sejak awal, membuat Barcelona nggak kaget saat berjumpa Manchester City di 16 besar. Saat itu The Citizens yang mulai mendominasi Premier League nggak ada apa-apanya.

Di babak perempat final, nasib mempertemukan kembali Lionel Messi dkk dengan PSG. Tapi sekali lagi, Blaugrana masih terlalu digdaya untuk klub kota mode tersebut. Dua leg dan semuanya berakhir duka untuk tim asuhan Manuel Pellegrini kala itu. 

Barulah di babak semifinal, nuansa perlawanan yang cukup sengit ditunjukan oleh Bayern Munchen. Wajar, Die Roten saat itu ditangani oleh sang mantan pelatih, yakni Pep Guardiola. Hanya saja perlawanan ini nggak terjadi di dua leg. Pasalnya, saat kembali ke Camp Nou di pertemuan pertama, Guardiola yang sudah hafal setiap jengkal tempat itu malah dibuat tertunduk malu.

Anak asuhnya digilas dengan tiga gol tanpa balas. Guardiola pun mati-matian di leg kedua, tapi apa daya usaha sekuat tenaga hanya menghasilkan skor 3-2. Keunggulan agregat ini membuat Raja Bundesliga mempersilakan Barcelona untuk melangkah maju ke babak final.

Di partai puncak, El Barca ditantang Juventus. Lionel Messi dkk pun nggak begitu risau lantaran melihat kiprah Si Nyonya Tua nggak begitu meyakinkan. Di fase grup saja, Carlos Tevez cs kala itu kalah dari Olympiakos dan Atletico Madrid.

Namun sepak bola menunjukkan sisi keindahannya, saat Juventus lolos ke final usai menumbangkan sang juara bertahan Liga Champions kala itu, yakni Real Madrid. Tapi sayangnya, keberuntungan ada batas, Los Blancos bisa disingkirkan namun tidak dengan sang rival. Barcelona masih terlalu kuat untuk Juventus yang mengandalkan kekuatan fisik.

Fisik yang tangguh dari Bianconeri nggak membuat fokus Barcelona runtuh. Justru El Barca dengan cepat menghukum Juventus lewat gol cepat Ivan Rakitic di menit ke-4. Anak asuh Massimiliano Allegri kala itu sempat membalas lewat Alvaro Morata di awal babak kedua.

Sang striker memanfaatkan bola rebound hasil sepakan Carlos Tevez yang tak bisa ditangkap sempurna oleh Andre Ter Stegen. Juventus bagai berada di atas angin, skor 1-1 membuat mereka bersemangat melakukan tekanan. Carlos Tevez dan Paul Pogba memberi ancaman ke mulut gawang, namun Ter Stegen bisa menyelamatkan.

Barcelona pun menunjukkan pengalaman mereka bermain di laga-laga penting. Mereka mampu keluar dari situasi genting dan pada menit ke-68, giliran gol Luis Suarez yang membawa Barcelona kembali unggul.

Penyerang asal Uruguay itu mengoyak jala Gianluigi Buffon setelah memanfaatkan bola rebound hasil sepakan Messi yang memamerkan sihirnya lewat solo run untuk menusuk pertahanan Juventus. Si Nyonya Tua yang sering gagal di partai final pun terus berusaha menyamakan kedudukan.

Tapi ketika menit ke-72 sundulan Neymar mengoyak jala, perasaan Pasukan Bianconeri pun mendadak hampa. Namun, keberuntungan lekas-lekas menyapa, gol tersebut ternyata dianulir oleh wasit lantaran bintang Brasil melakukan handball tepat sebelum bola masuk ke gawang. Untungnya, belum ada VAR saat itu dan Juventus nggak jadi terkapar.

Sayangnya momen itu cuma cara Barcelona memberi harapan palsu. Pasalnya Neymar benar-benar mencetak gol di penghujung babak kedua. Sebuah gol yang membuat harapan Juventus sepenuhnya pupus. Alhasil, puluhan ribu fans klub kota Turin yang datang ke Olympiastadion kecewa berat. Sementara itu, ratusan ribu Cules  yang tak bisa datang ke Berlin merayakan pesta juara di Barcelona. Setiap rumah jadi semarak dan tua muda tumpah di jalanan.

Di laga final itu, Dani Alves menyebut Barcelona tampil  melayang seperti kupu-kupu dan menyengat seperti lebah. Sengatan itulah yang membuat Andrea Pirlo sampai menangis dan harus ditenangkan oleh Paul Pogba. Bahkan saat Giorgio Chiellini turun tangan, sang jendral lapangan tengah itu masih tersedu sedan dalam pelukan.

Jika Pirlo berurai air mata, lain halnya dengan Xavi Hernandez yang tersenyum bahagia. Meski masuk sebagai pemain pengganti, sang maestro jadi orang pertama yang mengangkat trofi Kuping Gajah itu.

Sebuah penghormatan untuk kontribusi besar Xavi selama hampir dua dekade membersamai Barcelona. Pasalnya di musim tersebut, Xavi sudah memutuskan pindah ke Liga Qatar bersama Al Sadd.  Musim itu jadi akhir yang sempurna bagi gelandang kelahiran Terrassa tersebut.

Lantaran Azulgrana meraih treble winner. Capaian bersejarah ini sekaligus membuktikan kalau sepeninggal Pep Guardiola tim dengan semboyan Mes Que Un Club ini menunjukan kalau Barcelona tetaplah Barcelona. 

Kiprah Barcelona di UCL Pasca Juara 

Namun setelah babak manis ini terukir, kiprah Barcelona berikutnya di Liga Champions jadi lain. Dari musim ke musim, perlahan klub yang terbentuk pada 1899 nggak lagi garang. Barcelona bak Singa tanpa surai. Masih tetap Singa hanya saja nggak menakutkan. 

Di musim 2015/16, Barcelona dibuat merana oleh Atletico Madrid di babak perempat final.  Di dua pertemuan, El Barca memang selalu unggul secara penguasaan bola hingga lebih dari 70 persen. Tapi  Los Rojiblancos menghukum mereka dengan penyelesain efektif.

Musim berikutnya ketidakberuntungan pun kembali menghinggapi, lagi-lagi Barcelona gugur di babak perempatfinal. Giliran Juventus yang balas dendam dengan agregat 3-0.

Padahal saat itu, Barcelona masih diperkuat trisula Amerika Latin yakni Lionel Messi, Luis Suarez, dan Neymar. Musim ini juga sekaligus tahun terakhir dari trio MSN, lantaran Neymar hengkang ke Paris Saint-Germain

Alhasil, dengan kekuatan skuad yang berkurang di musim 2017/18 langkah Barcelona kembali terhenti di babak perempat final. Giliran tim dari Serie A Italia lainnya yang membuat Barcelona tersungkur. Adalah AS Roma yang dinyatakan berhak ke semifinal karena unggul jumlah gol tandang.

Barulah di musim 2018/19, kutukan perempat final bisa dilewati berkat kemenangan telak atas Manchester United. Namun dominasi Barcelona atas tim Premier League harus patah saat yang dihadapi di babak semifinal adalah Liverpool. Di musim itu, The Reds tengah on fire dan setelah menang dengan agregat 4-3 atas El Barca, keluar sebagai kampiun Liga Champions.

Bukannya melangkah lebih maju, musim berikutnya justru jadi episode yang lebih pahit untuk Barcelona. Bagaimana tidak? Di babak perempat final, Luis Suarez dkk kalah dengan skor yang sangat mencolok. Bermain di Da Luz, Portugal, Barcelona babak belur dihajar delapan gol oleh Bayern Munich.

Lebih pedihnya lagi, dua gol di antaranya disumbang oleh Philippe Coutinho yang berstatus pemain pinjaman dari Barcelona. Sementara itu, Azulgrana cuma bisa cetak dua gol balasan, itu pun salah satunya berkat kecerobohan David Alaba yang membuat bola masuk ke jala sendiri. Untung saat itu nggak ada yang nonton langsung karena Covid-19. Barca nggak malu-malu amat lah. 

Nasib sial masih menempel di kerah baju Barcelona, musim 2020/21 mereka kembali mengalami kemunduran. Giliran PSG yang membuat para decul menangis di pojokan.  Agregat 5-2 untuk kemenangan Les Parisiens. Kylian Mbappe jadi aktor utama lewat empat golnya yang sensasional.

Dari musim ke musim, Barcelona sepertinya semakin lupa kalau mereka merupakan klub raksasa. Puncaknya di musim 2021/22, tahun ketika Lionel Messi menyusul Neymar ke PSG, Barcelona gagal melaju ke fase gugur. Barcelona cuma mengumpulkan tujuh poin dari  enam laga dan hasilnya cuma duduk di urutan ketiga, di bawah Bayern Munchen dan Benfica.

Rupanya, latihan jadi klub medioker pun berlanjut di musim selanjutnya. Berada satu grup lagi dengan Die Bayern kembali membuat Barcelona merana. Jumlah poin yang didapat pun sama persis yakni cuma tujuh dari enam laga. 

Beruntung, setelah dua musim beruntun gagal total, Barcelona nggak satu grup lagi dengan Bayern Munich. Kali ini mereka bisa lolos lagi ke babak perempat final. Namun saat kompetisi hanya menyisakan delapan tim inilah, entah mengapa Barcelona selalu kena apes.

Peta persaingan sebenarnya nggak banyak yang berubah tapi Barcelona masih saja tak berbenah. Pasalnya, PSG kembali jadi tim yang memukul mundur Barcelona dari kompetisi paling elit antar klub Benua Biru ini.

Kans Juara Barcelona dengan Format Baru UCL 

Selama bertahun-tahun setelah juara, penderitaan Barcelona rasanya sudah lengkap. Blaugrana pun bertekad musim 2024/25 ini harus jadi titik balik untuk melenting kembali ke puncak. Bersama Hansi Flick, Barcelona kini sudah menemukan kembali DNA juara yang sempat hilang.

Apalagi di musim ini, UEFA membuat gebrakan dengan format baru Liga Champions menggunakan sistem liga. Barcelona pun mampu lolos otomatis berkat finish kedua.

Salah satu kemenangan paling manis adalah bisa balas dendam ke Bayern Munchen. Meskipun nggak sekejam tragedi 8-2, tapi skor 4-1 sudah lebih dari cukup untuk mengembalikan marwah Blaugrana. Uniknya, Robert Lewandowski dan Hansi Flick yang dulu jadi aktor saat menggunduli Barcelona justru sekarang melakukan hal yang sama ke raksasa Bundesliga.

Ini sudah merupakan tanda-tanda alam akan kesuksesan Barcelona di musim ini. Apalagi di babak delapan besar mendatang, El Barca bakal menghadapi perwakilan Jerman lainnya, yakni Borussia Dortmund. Secara hitung-hitungan matematis, dilihat dari sudut mana pun laga yang bakal berlangsung pada pertengahan April ini bakal dimenangkan oleh Barcelona.

Nggak usah tarik jauh-jauh, di phase league Desember tahun yang lewat, kedua kesebelasan sudah saling berhadapan. Hasilnya, Barcelona menang dengan skor 3-2 di Signal Iduna Park.  

Jika mampu mengalahkan Dortmund di babak 8 besar, maka Barcelona bakal melenggang ke semifinal. Lawan mereka adalah pemenang antara laga Bayern Munchen vs Inter Milan. Nggak masalah siapa pun yang bakal jadi lawan, Barcelona siap menaklukan.

Namun akan jadi sajian yang menarik nan lezat kalau di babak semifinal, Barcelona melawan Bayern Munchen. Big match ini akan sangat menjual lantaran memori tragedi 8-2 masih belum tuntas dibalaskan.

Bakal jadi kisah sempurna jika seandainya Barcelona bisa menang lagi dengan skor sama persis di phase league. Seandainya skema ini menjadi kenyataan, maka rasa sakit atas pembantaian tempo dulu bisa mereda.

Di bagan yang lain, pada saat yang bersamaan ada 4 tim yang bakal berebut tiket ke final. Arsenal yang berhadapan dengan Real Madrid dan PSG yang bakal meladeni kuda hitam Aston Villa.

Sepak bola memang nggak bisa sepenuhnya ditebak, tapi sah-sah saja untuk mengatur skenario yang kita suka. Maka berdasarkan hitung-hitungan data yang dirilis oleh Supercomputer Opta, final Liga Champions musim ini akan mempertemukan Barcelona dan Paris Saint-Germain. Lalu di partai puncak, penyedia jasa statistik tersebut lebih mengunggulkan Barcelona untuk meraih gelar juara.

Penutup

Perjalanan Barcelona untuk kembali mengukuhkan diri sebagai Raja Eropa sudah menunjukan banyak tanda-tanda.  Ada istilah L’Histoire se Répète alias sejarah itu berulang dengan menunjukan pola-pola tertentu.

Sejarah memang seringkali berulang dengan cara yang sangat menarik. Sejauh ini Barcelona selalu juara di musim yang diawali tahun genap. 2008/09  lalu 2010/11 dan terakhir 2014/15, jika merujuk teori pengulangan historis maka musim 2024/25  ini akan menjadi milik Barcelona kembali.

Gimana football lovers, apakah kamu punya pikiran yang sama atau justru ada pandangan yang lain? Ayo kita diskusikan di kolom komentar.

https://www.youtube.com/watch?v=lF25Q9xu2lM&t=11s

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru