Arsenal Kalah? Ya Begini Kalau Ngerasa Udah Juara, Padahal Tim Ampas Tetaplah Ampas!

spot_img

Gol Mateta membuat Arsenal gagal menjuarai Liga Inggris, membiarkan trofi itu dipeluk Darwin Nunez. Kalau gol Fabian Ruiz sebenarnya bukan penentu. Tapi lewat gol itu, permainan Arsenal goyah. Mental yang sudah nyaris berada di titik nadir ketika menatap Parc des Princes dari luar pun anjlok di atas lapangan.

PSG asuhan Luis Enrique membuat Arsenal kembali terhempas ke inti bumi, sekaligus menyadarkan posisi mereka. Menyadarkan Arsenal dari apa?

Menatap Semifinal dengan Gagah

Apa lagi kalau bukan menyadarkan bahwa Arsenal adalah tim yang tak punya mental juara. Padahal sebelum melangkah ke semifinal, Arsenal baik-baik saja. Malah lebih baik dari PSG yang susah payah meladeni lawan-lawannya.

Langkah kaki Meriam London kian mantap juga karena, yang dikalahkan di perempat final adalah Real Madrid. Ya, sekali lagi Real Madrid. Meski kamu sudah sering mendengarnya, ini perlu ditegaskan berkali-kali. Real Madrid itu rajanya UCL.

Namun di hadapan The Gunners, Madrid tak ubahnya Preston North End. Bayangin, sekali lagi bayangin, peraih 15 UCL itu dilibas lewat agregat 1-5. Di Santiago Bernabeu, Arsenal bahkan cuma ngasih satu gol saja buat Los Galacticos.

Tak ayal keyakinan untuk minimal mencapai final, dan mungkin mengambil kesempatan meraih trofinya, membuncah. Teriakan bahwa Arsenal akan membawa Si Kuping Besar terdengar dari para fans seperti kentongan yang dipukul saat ada maling. Terlebih ada sebuah mitos yang diyakini oleh banyak orang. Mitos apa itu?

Kalau Ngalahin Madrid, Juara Katanya

Barangsiapa mengalahkan Real Madrid, konon ganjarannya adalah trofi Liga Champions. Ini bukan bunyi ayat dari kitab suci mana pun, melainkan semacam keyakinan yang terpatri pada hati seluruh fans sepak bola. Tak peduli apa agama mereka.

Dua musim lalu, Manchester City sudah membuktikan itu. Di semifinal, Manchester City menyingkirkan Real Madrid. Caranya mengagumkan. Empat gol diborong di leg kedua. Chelsea, pada musim 2020/21 juga membuktikan magis itu.

Di empat besar, Chelsea memulangkan Real Madrid setelah di leg kedua menang 2-0 dan menahan imbang di pertandingan pertama. The Blues asuhan Thomas Tuchel pun melenggang ke final dan bertemu Manchester City. Gol Kai Havertz membawa Chelsea juara untuk kali kedua.

Lewat catatan itu fans Arsenal yang bertebaran seperti laron di media sosial, terus menggebu-gebu. Keyakinan akan raihan trofi bulat sempurna. Padahal catatan tinggallah catatan. Mengalahkan Real Madrid lalu memenangkan Liga Champions, itu hanya satu dari sekian banyak jenis-jenis mitos.

Toh, apabila diperhatikan baik-baik, Arsenal tidak memenuhi syarat agar mitos itu jadi kenyataan. Chelsea dan Manchester City bisa menjadi juara setelah mengalahkan Real Madrid di semifinal. Dengar ini baik-baik, di semifinal, bukan perempatfinal.

Ada lagi nih yang membuat magis mengalahkan Real Madrid mungkin tidak bekerja pada Arsenal. Pada musim 2014/15, Juventus juga pernah mengalahkan Los Merengues di semifinal. Namun saat itu, Juve toh gagal. Di final pasukan Massimiliano Allegri diperdaya Barcelona.

Kamu ingat dong pelatih Barca saat itu? Nah, silakan kamu ambil benang merahnya sendiri. Kalau nggak ketemu benang merahnya, coba cari di toko benang. Di Tambora atau Pademangan ada. Eh di Duri Selatan juga ada ding.

Yang lebih menyedihkan lagi, Arsenal bukan hanya kalah dan tersingkir oleh PSG. Tapi mereka menahbiskan diri sebagai tim Inggris terburuk di hadapan Paris Saint-Germain. Lho, lho, lho, kok bisa begitu to, Nal?

Tim Terbapuk di Hadapan PSG

Pasukan Luis Enrique sudah menghadapi tiga tim Inggris di fase gugur Liga Champions musim ini. Tapi hanya Arsenal yang bisa bikin Pangeran Charles menutup matanya karena menahan malu. Coba ngana pikir. Arsenal diberi dua kesempatan bertemu PSG di semifinal. Dua kali, lho, kurang baik apa coba?

Tapi tak ada satu pun yang dimenangkan. Tidak di Emirates, tidak pula di Paris. Sementara dua tim Inggris lain sekurang-kurangnya sanggup memenangkan satu pertandingan. Liverpool mengalahkan PSG di Parc des Princes. Lalu ada Aston Villa, ya Aston Villa bung, yang mengalahkan PSG di Villa Park.

Lain kali kalau berkunjung ke Paris, Arsenal cukup lawan Paris FC saja. Kebetulan markasnya juga dekat dari Parc des Princes. Gimana lagi ya, lawan PSG dengan kekuatan yang dikurangi saja, Arsenal nggak bisa menang. Sebentar, kamu pasti bakal nanya, dikurangi gimana maksudnya, min?

PSG Stel Kendo

Gini lhur. Di dua kesempatan, PSG seolah-olah membiarkan Arsenal bermain apa yang mereka mau. Menguasai bola, terus melakukan tembakan ke arah gawang, dan lain sebagainya. Di leg pertama, PSG cuma mencetak satu gol. Ousmane Dembele yang mencetak gol di menit ke-4 bahkan ditarik keluar.

Kurang mulia apa coba? Kalah 1-0 doang di leg pertama, kemungkinan untuk remontada terbuka. Sangat terbuka malah. Lebih-lebih di leg kedua, PSG seakan memberi peluang agar Arsenal bisa comeback. Nanti kan kalau bisa comeback makin ngadi-ngadi itu fansnya.

Lho, memberi peluang gimana?

Jauh sebelum pertandingan, Dembele, pencetak gol di leg pertama, mengalami sedikit masalah. Ia bisa saja tidak tampil di leg kedua. Namun cedera yang dialami Dembele tampak tak serius. Walau begitu, Enrique tak memainkan Dembele sejak menit awal.

Mungkinkah Enrique hati-hati agar cedera Dembele tak makin parah? Itu mungkin saja. Tapi kalau mimin sih percaya, Enrique sedang memberi belas kasihan pada Mikel Arteta yang baru merasakan atmosfer semifinal UCL.

Andai Dembele diturunkan sejak menit awal, Arteta bakal tulang-tulung sepanjang laga. Tapi apakah dengan tanpa Dembele, Arteta tidak mencak-mencak di pinggir lapangan?

Jalannya Pertandingan

Jelas masih mencak-mencak dan keringat dingin. Lihat saja, tanpa Dembele sejak menit awal pun, Arsenal dibuat mengkis dua. The Gunners yang tak punya penyerang murni, memang terus menggempur pertahanan PSG. Tak kurang dari 19 tembakan dilepaskan. Tapi lucunya, yang mengarah ke gawang tidak sampai sepertiganya.

Hanya empat yang melayang ke gawang Gianluigi Donnarumma. Lalu ke mana 15 bola lainnya? Ada yang sampai San Marino, ada yang sampai Kebon Sirih, mungkin ada juga yang sampai ke Rengasdengklok. Oh ya, jumlah tembakan yang meleset itu termasuk satu dari Bukayo Saka.

Memasuki 10 menit terakhir, Saka yang tinggal memasukkan bola ke gawang justru mengincar atap Parc des Princes. Barangkali tujuannya bukan mencetak gol, tapi merusak lampu stadion, semata-mata agar PSG diusir dan nggak diizinkan lagi menyewa Parc des Princes.

Derasnya tembakan namun hanya empat yang mengarah ke gawang memperlihatkan bahwa pertahanan PSG begitu solid. Lini tengah yang digalang Vitinha, Joao Neves, dan Fabian Ruiz juga rancak bana. Yang menarik lagi, dua gol PSG justru datang bukan dari pemain depan. Ini membuktikan betapa cairnya permainan Les Parisiens.

Arteta Tetap Sombong

Umumnya, orang yang melakukan kesalahan akan introspeksi diri, dan memilih tidak sombong. Tapi rendah hati seolah tidak ada di kamus Mikel Arteta. Usai kalah dari PSG, saat wawancara dengan TNT Sports, Arteta masih menyebut timnya sebagai tim terbaik di Liga Champions musim ini.

Arteta boleh jadi benar. Secara gaya bermain, Arsenal mungkin salah satu yang terbaik. Kita juga perlu mengapresiasi Arteta karena berhasil bikin tim yang punya sistem, dan konsisten menerapkan sistem itu. Tapi Arteta salah jika hanya memikirkan sistem dan cara bermain.

Sebuah tim hadir untuk meraih trofi. Tapi Arsenal tak punya mental juara. Arteta belum bisa mewujudkan mentalitas itu. Kecuali ingin mempertahankan label “nyaris juara”, Arteta perlu membentuk identitas pemenang bagi Arsenal. Atau, kalau dirasa mentok, mungkin Arteta perlu mencoba melatih Bodo/Glimt saja.

Sumber: PremierLeague, UEFA, SkySports, TheAthletic, Football365, Detik

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru