AFC Wimbledon. Namanya memang asing. Namun, klub asal London, Inggris ini pernah memberi kejutan di beberapa gelaran Piala FA.
Yang terbaru terjadi pada Sabtu, 26 Januari 2019. Bertempat di stadion Kingsmeadow, sang tamu yang merupakan peserta Premier League, West Ham United tunduk atas tuan rumah AFC Wimbledon dengan skor 4-2 dalam laga babak keempat Piala FA.
Dua gol tim tuan rumah di masing-masing babak hanya mampu dibalas dua gol West Ham di babak kedua. West Ham yang kala itu dilatih Manuel Pellegrini akhirnya tersingkir dari Piala FA. Menjadi hasil menyakitkan kala mereka disingkirkan oleh kontestan League One.
Ya, AFC Wimbledon adalah kesebelasan yang berlaga di League One, divisi ketiga sepak bola Inggris. Kemenangan tim ini atas West Ham di masa lalu tentu sangat mengejutkan. Apalagi, dibanding West Ham yang berdiri sejak 1900, AFC Wimbledon baru terbentuk pada tahun 2002 lau. Jadi, siapa sebenarnya AFC Wimbledon?
Kontroversi Dibalik Pembentukan AFC Wimbledon
Sejarah terbentuknya AFC Wimbledon sangatlah kontroversial. Pada mulanya, masyarakat distrik Wimbledon, wilayah Merton di barat daya London sudah punya klub sepak bola bernama Wimbledon FC.
Wimbledon FC sendiri merupakan klub legendaris di Inggris. Dengan didukung basis penggemar yang kuat, klub ini pernah membuat kejutan kala menjadi juara Piala FA 1988 dengan mengalahkan Liverpool asuhan Kenny Dalglish.
Wimbledon FC
Great Pic Of Captain Dave Beasant Receiving The FA Cup Trophy From HRH The Princess Of Wales In 1988 pic.twitter.com/zHJ0gTgVrW— Superb Footy Pics (@SuperbFootyPics) December 20, 2020
Namun, sejarah panjang klub yang pernah dibela Dennis Wise itu redup kala Wimbledon turun ke divisi 2 pada tahun 2000. Setahun berselang, manajemen berencana memindah markas klub ke kota lain, yakni Milton Keynes yang berjarak 90 km di barat laut kota London.
Tak disangka, pada 28 Mei 2002, FA menerima keputusan panel independen klub dan mengizinkan Wimbledon FC untuk pindah homebase dan melakukan relokasi penuh ke Milton Keynes. Keputusan tersebut jelas membuat suporter berang.
Hanya berselang 6 minggu dari keluarnya izin FA, kelompok suporter Wimbledon memutuskan membentuk klub baru. Dan klub tersebut diberi nama AFC Wimbledon.
18 years ago today the decision to relocate Wimbledon FC was approved.
The same spirit that drove @AFCWimbledon‘s rebirth drives @DonsLocalAction today 💙💛#TogetherWeCan pic.twitter.com/dojklikcdd
— Dons Local Action Group (@DonsLocalAction) May 28, 2020
Ada beda pendapat soal maksud dan tujuan Wimbledon FC pindah ke kota lain. Mantan pemain Wimbledon FC, Malvin Kamara, menuturkan fakta versi klub yang ia sampaikan dalam sebuah podcast. Menurutnya, ada alasan bisnis dibalik kepindahan Wimbledon ke Milton Keynes dan suporter jadi salah satu penyebabnya.
“Selhurst Park kosong. Itu bukan model bisnis yang berkelanjutan seperti yang saya lihat. Jika kami beruntung, kami punya 2.000, mungkin 3.000 penonton di Championship. Tidak mungkin klub sepak bola mana pun dapat mempertahankan stabilitas keuangan di depan penonton seperti itu di Championship, melawan klub lain yang bermain di depan 20.000 penonton,” kata Malvin Kamara dikutip dari miltonkeynes.co.uk (28/1/2019).
Sebelum terdegradasi ke divisi dua, Wimbledon FC bermarkas di Selhurst Park, berbagi dengan Crystal Palace. Pasca terdegradasi, jumlah kehadiran penonton Wimbledon turun drastis. Alhasil, stadion menjadi sepi, pemasukan berkurang.
Hal itulah yang memicu rasa frustasi ketua Wimbledon FC saat itu, Sam Hamann hingga memutuskan untuk menjajaki kemungkinan pindah homebase. Bak gayung bersambut, Peter Winkelman ,CEO Inter MK, sebuah konsorsium pengembangan properti asal Milton Keynes tertarik mengakuisisi Wimbledon FC.
Singkat cerita, pasca diakuisisi Inter MK, Wimbledon FC berganti nama menjadi MK Dons pada tahun 2004 dan mulai berkompetisi di League One, kasta ketiga sepak bola Inggris. Sejak saat itu, Wimbledon FC telah sepenuhnya sirna dan digantikan oleh MK Dons.
Just a couple of pages from a book published by Wimbledon FC #mkdons pic.twitter.com/1zdRo9xpyp
— MKDSA Archive and Programmes (@MKDSAarchive) February 12, 2021
Meski begitu, suporter Wimbledon tetap sakit hati dan merasa dicurangi hingga sempat melakukan boikot. Kelompok suporter Wimbledon yang tergabung dalam organisasi bernama WISA atau Asosiasi Pendukung Independen Wimbledon menduga klub telah bersikap arogan dengan membuat keputusan sepihak.
Berbeda dengan MK Dons yang dapat memulai perjalanannya dari kasta ketiga, AFC Wimbledon sebagai klub yang benar-benar baru mesti memulai dari level kompetisi paling bawah, yaitu liga amatir. AFC Wimbledon bahkan mengadakan seleksi pemain besar-besaran di awal pembentukannya untuk membentuk skuadnya.
Diurus langsung oleh The Dons Trust, sebuah organisasi bentukan Asosiasi Pendukung Independen Wimbledon, AFC Wimbledon memilih Stadion Kingsmeadow yang berkapasitas 4.850 bangku sebagai kandangnya. Perjalanan AFC Wimbledon di level amatir hingga semi-profesional sungguh luar biasa.
The Dons -julukan AFC Wimbledon- memulai perjalanannya sebagai klub profesional dari kompetisi Premier Division of the Combined Counties League, divisi kesembilan sepak bola Inggris. Butuh 2 musim bagi The Dons naik kasta. Mereka jadi juara dengan catatan impresif, 42 kemenangan dan 4 kali imbang tanpa kekalahan.
Hanya semusim di Isthmian League Division One atau divisi 8 sepak bola Ingris, AFC Wimbledon langsung promosi ke Isthmian League Premier Division, divisi ketujuh sepak bola Inggris. Di divisi 8 ini, The Dons mencetak rekor 78 laga tanpa kekalahan alias unbeaten terhitung dari 22 Februari 2003 – 4 Desember 2004.
Catatan tersebut jadi rekor unbeaten terpanjang di seluruh level kompetisi sepak bola se-Britania Raya, baik level amatir maupun profesional. Meski terjadi di level bawah, belum ada tim lain yang mampu menyamai rekor AFC Wimbledon tersebut.
The Dons butuh 3 musim untuk promosi ke divisi 6. Hanya semusim di National League South, AFC Wimbledon langsung naik ke National League, divisi 5 sepak bola Inggris. Di musim 2010/2011, AFC Wimbledon finish sebagai runner-up dan memenangi play-off promosi melawan Luton Town lewat babak adu penalti.
Hasil tersebut membawa AFC Wimbledon naik kasta dari kompetisi non-liga ke divisi 4 sepak bola Inggris, League Two. Pencapaian tersebut juga spesial. The Dons hanya butuh waktu 9 tahun sejak klub didirikan untuk mendapat 5 kali promosi dan jadi klub tercepat sepanjang sejarah sepak bola Inggris yang promosi ke League Two.
Tak cuma itu saja, AFC Wimbledon bisa dibilang sebagai klub bentukan suporter paling sukses. Pasalnya, The Dons jadi satu-satunya klub Inggris yang dibentuk di abad ke-21 yang mampu promosi ke League Two. Hingga kini, belum ada yang mampu menyamai catatan tersebut.
Kini, AFC Wimbledon sudah berkompetisi di League One, divisi 3 sepak bola Inggris sejak memenangi play-off promosi melawan Plymouth Argyle di tahun 2016 lalu. Terus promosi ke level yang lebih tinggi dan terus mendapat kenaikan dukungan membuat klub merencanakan pembangunan stadion baru.
Di tahun 2017, AFC Wimbledon mulai membangun stadion baru mereka yang letaknya tak jauh dari stadion legendaris Wimbledon FC di masa lalu. Memakai nama yang sama seperti stadion lawas Wimbledon FC, Plough Lane telah resmi menjadi markas The Dons sejak dibuka pada 3 November 2020.
Just been fortunate enough to have a look round AFC Wimbledon’s new Plough Lane ground. Just 250 yards from the former ground, it has a capacity of 9,300, including some rail seats. Look out for a full feature in Groundtastic #105. pic.twitter.com/rCqgJxARoh
— Paul Groundtastic (@paul_gtastic) April 7, 2021
Plough Lane adalah stadion yang unik. Dewan wilayah Merton tak ingin Plough Lane hanya jadi stadion sepak bola biasa tanpa memberi manfaat kepada masyarakat. Akhirnya, pembangunan stadion juga diikuti dengan pembangunan 600an properti hunian, retail, dan berbagai fasilitas komunitas setempat termasuk area rekreasi yang berdiri di sekitarnya.
Inilah yang menjadikan Plough Lane unik. Stadion yang punya kapasitas maksimal 9.215 bangku penonton itu dikelilingi oleh sejumlah blok hunian permukiman masyarakat Wimbledon. Sebuah bantuk tanggung jawab nyata klub yang 100% didirikan oleh suporternya sendiri.
Imagine a women’s tournament final being held here… 👀😍
💙💛 @AFCWimbledon @afcw_ladies @KdfFoster pic.twitter.com/rly968USrw
— International Surrey Women’s Football 💙 (@IntSurreyWomen) April 9, 2021
Lalu, bagaimana dengan rivalitas AFC Wimbledon dan MK Dons?
AFC Wimbledon bisa dibilang sebagai reinkarnasi dari Wimbledon FC, sementara MK Dons sejak berganti kepemilikan dan berpindah markas bisa dibilang sebagai sebuah kesebelasan baru. Namun, karena unsur sejarah kontroversialnya di masa lalu, pertemuan dua klub ini selalu panas dan tak jarang kedua kelompok suporter terlibat insiden, baik di dalam maupun di luar stadion.
Laga kedua tim ini masuk kategori derby, bahkan termasuk derby terpanas di kompetisi Football League. Sejauh ini, keduanya sudah bertemu sebanyak 11 kali dengan pertemuan pertama terjadi pada Desember 2012.
MK Dons masih lebih unggul dengan meraih 7 kemenangan. Sementara itu, AFC Wimbledon baru memenangi 2 pertandingan saja. MK Dons juga lebih produktif dengan 17 kali membobol gawang Wimbledon. Sementara Wimbledon cuma membalasnya dengan 11 gol.
AFC Wimbledon:
2002: Club founded in a pub 🍻
2017: Beat MK Dons in League One 👏
Incredible journey! 😎 pic.twitter.com/uZeY6kc07d
— SPORF (@Sporf) March 14, 2017
Meski begitu, dengan fakta bahwa kini keduanya berada di level yang sama, yakni sama-sama berada di League One, divisi ketiga sepak bola Inggris, pertemuan antara AFC Wimbledon dan MK Dons bakal lebih sering terjadi.
Yang awalnya hanya sekadar proyek sakit hati, AFC Wimbledon justru bertransformasi jadi sebuah kesebelasan profesional yang juga dikelola dengan cara profesional, meski tim ini pada awalnya dibentuk oleh suporternya sendiri. The Dons bahkan sudah punya tim sepak bola wanita dan akademi pemainnya sendiri. Kini, AFC Wimbledon juga jadi pesaing kuat bagi MK Dons, klub yang dulu telah merebut klub kesayangan mereka dari tanah Wimbledon.
***
Sumber Referensi: PanditFootball, AFC Wimbledon, Outside Write, Football Paradise, Milton Keynes