Sehebat Apa AC Milan Era Arrigo Sacchi?

spot_img

27 Agustus 2022 jadi hari yang berbahagia bagi seorang Arrigo Sacchi. Di hari pengundian babak grup Liga Champions musim 2022/2023 itu, Sacchi menerima penghargaan UEFA President’s Awards.

Diberikan pertama kali pada tahun 1998, UEFA President’s Awards diberikan langsung oleh Presiden UEFA kepada mereka yang memiliki pencapaian luar biasa yang melampaui sepak bola. Penghargaan tersebut adalah bentuk pengakuan atas keunggulan dan kualitas pribadi yang patut dicontoh, baik di dalam maupun di luar lapangan.

“Saya merasa sangat emosional. Saya bekerja paling keras yang saya bisa, tetapi tidak pernah berpikir saya akan menerima pengakuan seperti ini. Terima kasih,” kata Arrigo Sacchi, dikutip dari Football Italia.

Trofi-Trofi Arrigo Sacchi di AC Milan

Arrigo Sacchi mengalami masa-masa tersuksesanya sebagai pelatih saat menukangi AC Milan dari periode 1987 hingga 1991. Sacchi ditunjuk sebagai allenatore Milan usai Silvio Berlusconi yang kala itu baru setahun memiliki Milan kepincut dengan gaya taktik Sacchi saat dirinya mengantar Parma menundukkan rossoneri di ajang Coppa Italia.

Momen penunjukannya sebagai pelatih Milan saat itu cukup kontroversial. Sebab, sebelumnya Sacchi hanya melatih tim-tim gurem di level bawah sepak bola Italia dan tidak punya latar belakang sebagai pemain atau pelatih hebat.

Bahkan, sebelum memulai karier sebagai pelatih di usia 26 tahun, Arrigo Sacchi pernah jadi seorang sales sepatu. Karena hal itulah penunjukannya sebagai allenatore Milan menuai banyak kritik dan diragukan oleh pendukung Milan sendiri.

Namun, Arrigo Sacchi menjawabnya dengan sebuah quote yang kini sangat melegenda. Katanya, “saya tidak pernah menyadari bahwa untuk menjadi joki Anda harus menjadi kuda terlebih dahulu”.

Tak disangka, Arrigo Sacchi justru langsung mampu memberi kesuksesan instan. Setelah 9 tahun nirgelar, Sacchi berhasil mempersembahkan scudetto bagi Milan di musim debutnya. Musim debut Sacchi makin lengkap dengan trofi Supercoppa Italiana 1988.

Setelah sukses di tanah Italia, Arrigo Sacchi membawa AC Milan terbang lebih tinggi. Gelar Piala Champions berturut-turut di tahun 1989 dan 1990 jadi pencapaian terbesarnya. Di dua musim tersebut, Sacchi juga berhasil mempersembahkan 2 trofi Piala Super Eropa dan 2 trofi Piala Interkontinental.

Delapan trofi hanya dalam kurun waktu empat tahun jadi bukti betapa hebatnya AC Milan era Arrigo Sacchi. Apalagi, 4 trofi di antaranya merupakan trofi paling prestisius di Eropa dan hebatnya lagi itu semua didapat dalam 2 musim beruntun.

Skuad Bertabur Bintang AC Milan era Arrigo Sacchi

Sacchi tidak sendirian. Yang membuat AC Milan saat itu juga begitu disegani di seantero dunia adalah karena komposisi skuadnya yang bertabur bintang dan penuh talenta.

Di lini bertahan, gawang Giovanni Galli aman sentosa dengan adanya para bek tangguh yang dihuni Franco Baresi, Paolo Maldini, Alessandro Costacurta, dan Mauro Tassotti. Kuartet tersebut nyaris tak tergoyahkan. Salah satu hasil terbaik yang mereka torehkan adalah menjaga gawang Milan hanya kebobolan 14 gol dalam 30 pertandingan saat memenangkan scudetto 1988.

Selain 4 bek tangguh tersebut, pemain paling ikonik Milan di era Arrigo Sacchi tentu saja trio Belanda, yakni Ruud Gullit, Frank Rijkaard, dan Marco van Basten. Di bawah asuhan Arrigo Sacchi, ketiganya jadi figur krusial di masing-masing posisi.

Van Basten jadi sosok yang paling bersinar. Di bawah asuhan Sacchi, Van Basten sekali memenangi gelar top skor Serie A dan Piala Champions, serta dua kali terpilih sebagai pemain terbaik UEFA dan 2 kali meraih Ballon d’Or.

Ruud Gullit juga sekali menenangi penghargaan Ballon d’Or saat membela AC Milan. Di bawah asuhan Arrigo Sacchi, Gullit tampi subur dan jadi salah satu pemain paling serba bisa.

Sementara itu, Frank Rijkaard yang tadinya berposisi sebagai bek tengah menjelma menjadi holding midfielder kelas dunia di bawah arahan Arrigo Sacchi. Bersama Carlo Ancelotti dan Roberto Donadoni, ketiganya jadi figur krusial di lini tengah Milan kala itu.

Taktik Revolusioner Arrigo Sacchi di AC Milan

Akan tetapi, terlepas dari andil para pemainnya di atas lapangan, hal yang juga membuat AC Milan era Arrigo Sacchi disebut sebagai “the greatest teams of all time” oleh UEFA adalah karena andil besar sang allenatore meramu taktik.

Kala itu, Sacchi mendobrak pakem sepak bola Italia dengan memainkan sepak bola menyerang. Tak hanya sekedar menyerang, tetapi juga harus menghibur para penggemar. Itulah yang diinginkan Sacchi dari anak asuhnya.

Taktik Arrigo Sacchi di Milan tak sekedar bertentangan dengan gaya sepak bola Italia, tetapi juga dianggap aneh, sebab saat itu Italia masih terpaku pada Catenaccio yang ditanamkan Helenio Herrera. Tak sekedar mendobrak kultur permainan, lewat gaya menyerangnya Sacchi juga mengubah mentalitas sepak bola Italia.

Di atas kertas, Arrigo Sacchi membuat Milan bermain dengan formasi 4-4-2. Formasinya kala itu saja sangat langka di Italia dan di saat tim-tim Italia bertahan dengan sistem man-marking, Milan era Arrigo Sacchi bermain dengan sistem zonal marking. Inovasi taktiknya itulah yang membuat peran libero menghilang dan tak lagi dipakai di sepak bola modern.

Milan era Arrigo Sacchi juga bermain dengan intensitas tinggi dan garis pertahanan tinggi. Namun, jarak antara garis pertahanan dan lini tengah tidak pernah lebih dari 25 hingga 30 meter.

Arrigo Sacchi adalah orang yang mempopulerkan high pressing yang kini diterapkan oleh banyak pelatih top dunia. Tak hanya high pressing, Sacchi juga jadi inovator dari skema offside trap. Perpaduan high pressing dan offside trap itulah yang membuat Milan saat itu terlihat seperti bertahan dengan cara menyerang.

Selain itu, hal yang membuat taktik menyerang Arrigo Sacchi begitu efektif dan mematikan adalah perpindahan dan pertukaran posisi antar pemain yang cair. Sacchi tidak menyukai seorang spesialis. Ia menyukai dan mencari pemain multiguna atau dalam bahasa sekarang disebut versatile player.

Lalu, hal terpenting yang membuat taktik Arrigo Sacchi berjalan sempurna di Milan adalah kerja sama tim. Berkomitmen pada “kecerdasan kolektif”, Sacchi menginginkan 11 pemainnya aktif di setiap momen.

Taktik Arrigo Sacchi itulah yang mampu membuat lawan-lawannya kelabakan. Taktik revolusioner yang dipadukan dengan skuad bertabur bintang sukses menjadikan AC Milan era Arrigo Sacchi sebagai salah satu “the greatest teams off all time”.

Salah satu penampilan terbaik Milan di era Arrigo Sacchi adalah saat mereka menundukkan Real Madrid di semifinal Piala Champions 1988/1989. Kala itu, Madrid jauh lebih difavoritkan. Mereka tak pernah kalah di kandang dan melaju ke semifinal usai kalahkan juara bertahan, PSV.

Namun, Milan asuhan Arrigo Sacchi berhasil pulang dari Santiago Bernabeu dengan mengantongi hasil 1-1. Rossoneri kemudian menang besar 5 gol tanpa balas di leg kedua sebelum membantai Steaua Bucuresti 4-0 di partai final. Dalam perjalannya merebut trofi Piala Champions ketiganya, Milan saat itu tak pernah kalah.

Penampilan ikonik lainnya adalah saat mereka merebut trofi Piala Super Eropa 1989. Bertemu dengan Barcelona asuhan Johan Cruyff yang dihuni pemain bintang seperti Ronald Koeman, Michael Laudrup, Txiki Begiristain, hingga Luis Milla Aspas, AC Milan asuhan Arrigo Sacchi berhasil menang dengan skor agregat 2-1.

“Milan saya menunjukkan kepada semua orang bahwa lebih baik menyerang daripada diserang. Tim Milan saya brilian karena penuh dengan profesional hebat yang ingin bersama dan bersenang-senang. Sebuah kemenangan mungkin akan tetap ada di buku rekor, tetapi cara Anda mencapainya akan tetap ada di benak orang-orang,” kata Arrigo Sacchi dikutip dari UEFA.

Pengaruh Arrigo Sacchi sebagai Panutan Pelatih Top Dunia

Kuseksesan, gaya permainan, dan inovasi taktik Arrigo Sacchi di AC Milan masa itu kini jadi inspirasi bagi banyak pelatih top dunia. Beberapa pelatih top dunia yang mengakui Arrigo Sacchi sebagai role modelnya, antara lain Rafael Benitez, Jurgen Klopp, Fabio Capello, dan tentu saja Carlo Ancelotti yang dulu merasakan langsung tempaan Sacchi sebagai pelatihnya.

Selain mereka, Ralf Rangnick juga jadi salah satu pelatih yang menjadikan Arrigo Sacchi sebagai panutan. Sacchi disebut sebagai salah satu pelatih yang mempengaruhi Rangnick dalam mengembangkan taktik “gegenpressing” yang kemudian populer di tangan Jurgen Klopp, Thomas Tuchel, hingga Julian Nagelsmann.

Seperti yang dikatakan Alexander Ceferin saat menyerahkan trofi UEFA President’s Awards, filosofi permainan dan inovasi taktik Arrigo Sacchi kala itu memberi pengaruh besar kepada perkembangan sepak bola modern dan jadi pedoman bagi generasi pelatih selanjutnya. Itulah kenapa Arrigo Sacchi layak meraih penghargaan tersebut dan sangat layak disebut sebagai salah satu manajer terhebat sepanjang masa.
***
Referensi: Football Italia, Bleacher Report, UEFA, RafaBenitez, Inews, UEFA, Sportsology.

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru