Sampai Jumpa Lagi Di Liga Inggris, Southampton! Kami Kangen Kamu Yang Dulu

spot_img

Kabar buruk tersiar dari Inggris selatan. Klub asal kota pelabuhan Inggris berjersey merah putih, Southampton akhirnya terlempar dari Liga Inggris musim ini. Degradasinya klub bentukan para pemuda gereja ini sangat disesali. Karena bagaimanapun selama ini Southampton sering memberi warna tersendiri di Liga Inggris.

Performa mereka sejak satu dekade lalu sangat dirindukan. Tak hanya soal performa dan hasil, namun dari segi pembibitan pemain muda dan strategi transfer mereka.

Degradasi Setelah 11 Tahun

Kini tepat 11 tahun sudah The Saints berada di liga kasta teratas Inggris. Dilansir Sky Sports, degradasinya Soton di Liga Inggris musim ini adalah untuk kelima kalinya. Terakhir mereka degradasi yakni pada 2008/09 silam.

Perjalanan mereka untuk promosi lagi ke Liga Inggris tak mudah. Mereka harus berjuang musim demi musim, hingga akhirnya promosi pada musim 2011/12.

Nigel Adkins adalah sosok pelatih yang membawa Soton promosi ke Liga Inggris. Pemain seperti Rickie Lambert, Morgan Schneiderlin, hingga Adam Lallana, adalah beberapa pemain yang mengantarkan The Saint promosi.

Mengejutkan Liga Inggris

Lalu bagaimana kiprah Soton selama 11 tahun di Liga Inggris? Meskipun dicap sebagai klub medioker, Soton setelah promosi ternyata banyak memberi kejutan. Terutama setelah seorang bernama Mauricio Pochettino ditunjuk sebagai pelatih pada Januari 2013.

Soton diantarkan Poch finish di posisi 8 klasemen Liga Inggris musim 2013/14. Waktu itu, banyak pemain muda yang diorbitkan Poch seperti Luke Shaw, Calum Chambers, maupun Nathaniel Clyne.

Performa mengejutkan Soton itu ternyata tak hanya semusim kala bersama Poch. Di musim berikutnya bersama Ronald Koeman pun sama. Dua musim di Liga Inggris bersama meneer Belanda itu, mereka mampu finish di posisi 7 pada musim 2014/15, dan posisi 6 pada musim 2015/16.

Di era Koeman melatih pun, lebih banyak lagi pemain potensial yang muncul. Seperti Sadio Mane, Virgil Van Dijk, Cedric Soares, hingga Dusan Tadic. Namun apa jadinya setelah para pelatih mereka seperti Pochettino maupun Koeman hengkang? The Saints ternyata masih terjaga secara performa. Ya, di tangan pelatih asal Prancis Claude Puel, mereka masih bisa finish di peringkat 8 Liga Inggris pada musim 2016/17.

Southampton Mart

Nah, di zaman tiga pelatih non Inggris itu, Soton mulai dikenal dengan “Southampton Mart”. Layaknya sebuah minimarket yang menyediakan kebutuhan pokok, para klub yang menginginkan pemain potensial, sering melirik dan datang ke Southampton.

Para pemain polesan Soton laku keras. Musim 2014/15 para pemain sperti Rickie Lambert, Luke Shaw, Adam Lallana, Calum Chambers, Dejan Lovren dibeli mahal oleh tim-tim besar seperti Liverpool, Arsenal, maupun MU. Begitu pula beberapa musim berikutnya, giliran Nathaniel Clyne, Morgan Schneiderlin, Sadio Mane, Virgil Van Dijk, maupun Dusan Tadic.

Akademi Liverpool

Ada juga julukan lain yang melekat berkat kecerdasan “Southampton Mart”, yakni sebagai “Akademi Liverpool”. Hal itu melekat karena saking banyaknya para orbitan Soton yang dibeli oleh Liverpool.

Sebut saja Rickie Lambert, Adam Lallana, Dejan Lovren, Nathaniel Clyne, Virgil Van Dijk hingga Sadio Mane. Tak dipungkiri di dalam perkembangan performa Liverpool, juga terselip andil dari para pemain tersebut.

Simbiosis mutualisme tentang hubungan mesra Liverpool dan Soton itu juga menguntungkan pihak Soton. Selain cuan, mereka juga sempat mendapat manfaat ketika mereka mudah meminjam para pemain Liverpool. Seperti apa yang terjadi pada peminjaman Danny Ings maupun Takumi Minamino.

Era Pelatih Asing Southampton

Selain itu, selama ini Southampton selalu menunjuk pelatih dari luar Inggris, termasuk sebelum era Hasenhuttl yakni Mauricio Pellegrino. Meski Pellegrino gagal dan dipecat, paling tidak jejak para pelatih non Inggris sempat mewarnai perkembangan Soton sejak promosi 2012 lalu.

Termasuk sampai pada penunjukan bekas pelatih RB Leipzig asal Austria, Ralph Hasenhuttl pada Desember 2018. Memang harus diakui sejak pelatih asal Austria itu menginjakan kakinya di St Mary’s Stadium, The Saints malah jadi melempem. Soton hanya tim medioker biasa yang tak mampu finish di 10 besar Liga Inggris lagi.

Tak hanya penurunan kualitas permainan, dalam hal mencetak pemain potensial pun Soton mengalami penurunan. Tak ada lagi para pemain Soton yang dibeli mahal oleh klub-klub besar. Lalu kenapa bisa seperti itu?

Kepemilikan Soton

Soton berubah kepemilikan dan struktur manajemen sejak mayoritas sahamnya diakuisisi oleh perusahaan Tiongkok milik Gao Jisheng sejak 2019 silam. Hal tersebut ternyata mempengaruhi kebijakan Soton.

Taipan Cina tersebut tak seglamor yang diharapkan. Awalnya pemilik Cina tersebut diharapkan jor-joran dengan uang yang dimilikinya. Namun apa yang terjadi? Hanya pemain macam Moussa Djenepo, Che Adams, Mohammed Salisu, Ibrahima Diallo, Romain Perraud, maupun Lyanco yang datang.

Harap dimaklumi juga alasan pemilik Cina tersebut. Pandemi virus corona yang melanda sempat memunculkan krisis di internal tim. Alhasil di 2022, ia langsung melepas kepemilikannya kepada Sports Republic lewat taipan Serbia bernama Dragan Solak.

Kebijakan Transfer Musim Ini

Musim ini bersama Sports Republic adalah awal perjalanan yang baru bagi The Saints. Mereka tak mau lagi dong mengulangi kesalahan yang sama dengan pemilik Cina.

Lagipula harapan akan kebangkitan kembali Soton pun seketika menyeruak, ketika pemilik menunjuk mantan scouting Brentford yang dikenal sukses dengan sistem “Moneyball”-nya yakni Rasmus Ankersen.

Namun hasilnya ternyata sama saja. Malah sang pelatih yang tak setuju bila Soton jor-joran membeli banyak pemain. Hasenhuttl memilih memanfaatkan pemain yang ada yang sudah ia bangun.

Rem Hasenhuttl itu tak mempan. Soton di bawah Sports Republic banyak mengeluarkan biaya untuk transfer musim ini. Total 63 juta euro atau hampir Rp1 triliun mereka belanjakan.

Lebih dari sepuluh pemain datang ke St Marys. Tapi pemain yang didatangkan seperti Armel Bella-Kotchap, Gavin Bazunu, Duje Caleta-Car, Carlos Alcaraz, Joe Aribo, Mislav Orsic, maupun Kamaldeen Sulemana. Pemain-pemain tersebut bukanlah pemain bintang atau yang harganya mahal.

Barangkali manajemen Soton ingin seperti era Pochettino dan Koeman. Membeli pemain yang entah dengan harga yang tidak terlalu tinggi, tapi nanti bisa dipoles dan akhirnya menghasilkan cuan.

Pemecatan Hasenhuttl

Namun apa yang terjadi? Perbedaan keinginan dari sang pelatih dan manajemen itu berbuah kekacauan. Sang pelatih malah kesusahan dan menanggung beban berat menggunakan para pemain baru yang seabrek itu.

Alhasil ketika Soton melemah dan secara hasil tak memuaskan dengan materi seabrek itu, Hasenhuttl malah jadi tumbalnya. Ia dibebastugaskan pada November 2022 dari jabatan pelatih bersama seluruh gerbong stafnya.

Pemecatan itu ternyata tak membuahkan hasil yang positif. Yang ada malah Soton tambah terpuruk ketika yang ditunjuk malah pelatih lokal, Nathan Jones. Sampai-sampai manajemen akhirnya muak dengan Nathan Jones dan kembali lagi menunjuk pelatih asing yakni Ruben Sales. Akan tetapi, semua itu sudah terlambat.

Soton sudah lama terjerumus ke lubang degradasi. Dan nahas, akhirnya mereka tak terselamatkan dan benar-benar terdegradasi musim ini. Sampai jumpa lagi Soton di Liga Inggris. Kami rindu kamu yang dulu.

Sumber Referensi : forbes, goal, transfermarkt, dailyecho

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru