Rahasia Revolusi Liga Inggris Dan Imbasnya Sampai Sekarang

spot_img

Berbicara mengenai populernya Premier League sekarang ini, ternyata tidak terjadi secara kebetulan. Melainkan proses panjang yang dilakukan dan disepakati dengan belajar dari pengalaman buruk yang dialami.

Terpuruknya Liga Inggris ketika itu disadari bahwa mereka harus cepat melakukan perubahan besar demi kebangkitan citra liga di negeri Ratu Elizabeth itu. Revolusi tahun 1992 merupakan tonggak dari segala apa yang sekarang tampak di Premier League. Pondasi kokoh yang dibangun ketika itu banyak berdampak nyata dalam perkembangannya.

30 Tahun Yang Lalu

Jika kita flashback pada akhir tahun 1980-an, sepakbola Inggris mencapai titik terendah. Banyak stadion yang terbengkalai, fasilitas yang tidak memadai, hooliganisme yang marak, dan kesebelasan-kesebelasan Inggris yang dilarang tampil di kompetisi Eropa selama lima tahun setelah tragedi Heysel tahun 1985.

Kekerasan, rasisme, beberapa tragedi pilu, telah berkontribusi pada kemunduran sepakbola Inggris. Pada tahun 1989, ketika bencana lain menyerang dalam bentuk bencana Hillsborough, krisis sepakbola khususnya di Inggris semakin terpuruk.

The Football League First Division, yang sudah menjadi kompetisi tingkat teratas sepakbola Inggris sejak tahun 1888, kondisinya mau tidak mau jauh tertinggal di belakang pamor Serie A dan La Liga.

Titik balik terjadi, ketika UEFA mencabut larangan kesebelasan Inggris untuk berpartisipasi di kompetisi Eropa pada tahun 1990. Standar keselamatan stadion pun akhirnya meningkat. Yakni dengan membuat stadion-stadion di Inggris menggunakan kursi duduk, tanpa tribun berdiri pasca bencana Hillsborough.

Pada tahun 1990, Greg Dyke, yang saat itu menjadi eksekutif senior di London Weekend Television atau afiliasi dari jaringan ITV, menjanjikan dukungan keuangan yang lebih untuk memisahkan diri dari Football League.

Dan akhirnya tiga puluh tahun yang lalu, tepatnya 20 Februari 1992 sepak bola Inggris berubah secara dramatis. Ketika klub-klub mengumumkan bahwa mereka meninggalkan Football League, dan membentuk Premier League.

Mereka tidak akan menyangka bahwa mereka sedang memulai sebuah Revolusi yang akan mengubah Inggris menjadi kompetisi olahraga yang paling populer. Musim perdana Premier League dimulai pada 15 Agustus 1992, dengan 22 klub. Dan ITV menayangkan seluruh pertandingan klub-klub Premier League tersebut.

Uang Dan Investor

Tidak dipungkiri salah satu hal yang mencikal-bakali Premier League adalah bisnis. Dari tahun 1993 sampai 2016, Liga Primer telah memiliki hak sponsor utama yang dijual kepada perusahaan.

Pada awal revolusi musim 1992-1993 mereka belum mempunyai sponsor. Lalu kemudian sempat ada sponsor Carling pada musim 1993-2001. Kemudian Barclays dari 2001 sampai sekarang, bahkan mempunyai kontrak hingga 2024/25.

Selain sponsor, Premier League tak bisa dipisahkan dari benefit besar yang didapat dari hak siar televisi. Asas prinsip pembagian keuntungan Premier League yakni “50-25-25” yaitu 50% dibagi rata per klub peserta, 25% berdasarkan posisi liga akhir musim, dan 25% dibagi rata klub untuk fasilitas. Pembagian inilah yang membuat klub-klub termotivasi untuk tampil baik dan meraih posisi liga setinggi mungkin, agar pendapatan yang diperoleh juga besar.

Apalagi, sejak ditunjuknya Richard Scudamore sebagai CEO baru Premier League tahun 1998. Total pendapatan dari hak siar terus melonjak. Di tahun terakhir menjabat pada 2016, Scudamore bahkan berhasil membuat Premier League sebagai salah satu kompetisi terlaris di dunia.

Hal yang paling berpengaruh berikutnya di Premier League yakni seorang investor asing yang memutarkan uangnya untuk berbisnis di Inggris. Tidak lain salah satu orang asing pertama yang memutuskan berinvestasi di klub Inggris adalah Roman Abramovich. Ia adalah salah satu bagian penting tonggak revolusi baru Premier league.

Oligarki Rusia itu pada tahun 2003, memutuskan membeli klub sepak bola Chelsea dengan merombak The Blues secara keseluruhan dengan menjadikannya role model bisnis sepakbola modern di Inggris, dengan beberapa pembelian pemain bintangnya serta korelasi prestasi yang diraih.

Dalam perkembangannya, banyak yang mengikuti langkah Abramovich. Para pemimpin bisnis kaya dari luar Inggris mulai membeli klub-klub Premier League. Seperti halnya Manchester City dengan Uni Emirat Arab, maupun yang terkini Newcastle dengan Arab Saudi.

Investor juga datang dari Amerika yang mengakuisisi klub-klub Premier League seperti keluarga Glazer di MU, Kronke di Arsenal, maupun Henry di Liverpool. Begitupun investor-investor asing di klub-klub papan tengah maupun bawah.

Jika tujuannya Premier League sudah mengarah pada uang dan investasi, maka sepakbola Liga Inggris sekarang sudah menjadi industri sepakbola modern. Perputaran uang dijadikan sebagai konsekuensi atas penyelenggaraan Premier League.

Menjadi Liga Nomor 1 Dunia

Tak khayal dengan perkembangan industri sepakbola modern sekarang, Premier League mampu tampil gagah dengan banyaknya bertaburan pemain bintang, dan pelatih top. Hal itu membuat Premier League secara tidak langsung menjadi liga paling top nomor 1 di dunia sekarang.

Kita tahu dulu pada medio 90-an sampai 2000-an di mana Serie A lebih terdepan soal prestasi dan sisi komersial. Disusul La Liga dengan jualan rivalitas Barcelona dan Real Madrid-nya. Premier League diam-diam belajar dari sebuah pondasi awal yang dibangun sejak 1992.

Kita tahu sekarang betapa bobroknya Serie A beberapa tahun terakhir ini karena dilanda krisis maupun minimnya prestasi klubnya di kancah Eropa. Alhasil beberapa pemain top dunia, pelatih top dunia yang masih dalam pick performance kariernya enggan berlabuh ke Serie A dan lebih memilih Premier League yang lebih seksi secara prestasi, popularitas maupun gaji.

Keberadaan pelatih asing sendiri sudah menjamur di hampir semua klub Premier League sekarang. Menyadari tidak banyak pelatih lokal Inggris yang berkualitas tinggi untuk melatih klub, maka jalan keluar terbaik adalah mengimpor pelatih asing berkualitas demi meningkatnya kualitas liga itu sendiri. Dari tim Big Six, hingga klub bawah macam Soton, Crystal Palace, maupun Leeds.

Korelasinya Dengan Timnas Inggris

Namun, revolusi Premier League nyatanya juga bak pisau bermata ganda. Kecenderungan ingin tampil menjanjikan membuat klub-klub Inggris semakin gemar mendatangkan pemain yang sudah matang, terutama nama-nama impor. Kondisi ini membuat talenta-talenta lokal atau orang yang benar-benar menimba ilmu sepakbola di Inggris atau homegrown player, minim mendapat panggung untuk berkembang.

Dampak instan dari penurunan ini adalah kegagalan Premier League menyuplai pemain yang bisa jadi opsi memperkuat Timnas Inggris. Jumlah opsi yang terbatas lantas membuat The Three Lions gagal bersinar. Terbukti, sejak Premier League digulirkan, Inggris belum sekalipun merengkuh gelar Piala Dunia atau Piala Eropa.

Namun, di beberapa tahun terakhir berkat pengetatan homegrown player di klub Premier League, para pemain muda Inggris pun lahir dan menunjukan progress yang baik dalam hal regenerasi pemain.

Pemain seperti Maguire, Declan Rice, Sterling, Harry Kane, maupun Grealish adalah beberapa contoh pemain homegrown bergaji mahal yang tingkat popularitasnya tidak kalah dari pemain asing di Premier League.

Di Timnas Inggris, mereka pun menunjukan progress. Seiring ditempa oleh kinerja pelatih asing berkualitas di klubnya, mereka mampu mencapai semifinal Piala Dunia 2018 dan runner up Piala Eropa 2020 lalu. Bukan tidak mungkin nanti di Qatar 2022 Timnas Inggris juga akan berbicara banyak

Sumber Referensi : foufourtwo, bleacherreport, footballhistory

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru