Menjelang Piala Dunia 2010, timnas Jerman tengah bingung memilih kiper nomor satu. Sebelum menjatuhkan pilihan kepada Manuel Neuer dan membawa Hans-Jörg Butt dan Tim Wiese sebagai cadangan, pelatih Joachim Löw dan publik Jerman sejatinya sudah punya kandidat favorit untuk menjaga gawang Der Panzer di Afrika Selatan.
Sosok tersebut memang sudah diplot untuk menjadi suksesor Jens Lehmann pasca Euro 2008. Tidak seperti kebanyakan kiper Jerman yang jago kandang, dia memiliki segudang pengalaman di liga di luar Jerman dan punya jumlah caps yang lebih banyak dibanding kiper lain.
Sosok yang dimaksud itu adalah Robert Enke. Sayangnya, ketika jatah kiper nomor satu Jerman sudah pasti menjadi miliknya dan mimpi semua orang untuk melihatnya tampil di Piala Dunia tampak sudah di depan mata, Robert Enke ditemukan sudah tak bernyawa di perlintasan kereta api Eilvese pada malam tanggal 10 November 2009.
Daftar Isi
Kematian Robert Enke
Sebelum kematiannya, Robert Enke melewatkan 6 dari 12 pertandingan pertama Bundesliga musim 2009/2010. Konon, penyebabnya karena virus bakteri perut. Namun, belakangan terungkap dalam buku biogarfi “A Life too Short: The Tragedy of Robert Enke” karya Ronald Reng, bahwa saat itu depresi yang dialami kiper sekaligus kapten Hannover 96 itu kembali kambuh.
Itulah mengapa Enke tak dipanggil di laga persahabatan kontra Chile. Laga antara Hannover 96 dan Hamburg SV pada 8 November 2009 pun menjadi pertandingan terakhir Robert Enke.
Dua hari kemudian, Enke meninggalkan rumahnya di pagi hari. Ia berkata kepada istrinya, Teresa, kalau akan menghadiri sesi latihan Hannover.
Namun, ketika hari sudah beranjak petang, Enke tak kunjung pulang. Teresa kemudian menelepon pelatih kiper Hannover. Di situlah keluarga besar Enke sadar kalau hari itu sesi latihan tim ditiadakan karena menyambut jeda internasional.
Hingga akhirnya, pada pukul 18.15, di perlintasan kereta Eilvese, tak jauh dari rumahnya, Robert Enke yang tengah kalut memasrahkan dirinya ditabrak kereta ekspres regional yang tengah melaju dari arah Hamburg menuju Bremen.
Kedua masinis kereta melaporkan melihat seorang pria di rel dan kemudian menginjak rem, tetapi dengan kecepatan 160 kilometer per jam, sudah terlambat untuk mencegah kematian. Sementara itu, kepolisian menemukan mobil Mercedes milik Enke terparkir tak jauh dari TKP dengan kondisi tidak terkunci dan dompet di kursi penumpang.
Di tempat lain, istrinya Teresa menemukan surat wasiat yang ditinggalkan suaminya di kamar tidurnya. Serangkaian keterangan tersebut seperti memperjelas kalau semuanya telah dipersiapkan oleh Robert Enke yang malang.
Berita kematian Robert Enke pun menyebar dengan cepat. Skuad timnas Jerman yang tengah berkumpul di restoran hotel untuk mempersiapkan laga melawan Chile terdiam hening setelah manager tim Oliver Bierhoff mengabarkan kematian Robert Enke.
Keesokan harinya, Jörg Neblung, agen dan sahabat dari Robert Enke mengumumkan kepada dunia sepak bola bahwa kiper timnas Jerman berusia 32 tahun itu memilih mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
Ribuan penggemar pun berkumpul di depan stadion Hannover untuk meletakkan bunga, menyalakan lilin, dan menandatangani buku duka cita saat kabar tersebut disampaikan. Sementara di tempat lain, mantan klub Robert Enke, yakni Barcelona, Benfica, dan Tenerife, mengheningkan cipta selama satu menit sebelum pertandingan mereka di pekan tersebut.
Timnas Jerman juga memutuskan untuk membatalkan pertandingan melawan Chile. Laga internasional di pekan tersebut juga kompak diawali dengan mengheningkan cipta untuk menghormati mendiang. Tak bisa dipungkiri kalau kematian Robert Enke begitu ditangisi.
Saat hari pemakamannya pada 15 November 2009, tak kurang dari 40 ribu pelayat hadir mengantar Robert Enke ke peristirahatan terakhir. Enke dimakamkan wilayah Neustadt, tepat di samping makan putrinya, Lara, yang jadi salah satu penyebab dirinya menderita depresi berkepanjangan.
Pasang Surut di Awal Karier Robert Enke
Karier dan hidup Robert Enke memang banyak diselimuti pasang surut yang menguras mental. Lahir di distrik Lobeda, Kota Jena, Jerman Timur, pada 24 Agustus 1977, Robert Enke adalah anak ketiga dari pasangan Gisela dan Dirk Enke. Sang ayah adalah seorang psikoterapis sekaligus mantan pelari gawang 400m. Sementara sang ibu dulunya atlet bola tangan.
Enke tumbuh sebagai sosok yang pendiam dan sangat peka. Namun, dibanding dua saudaranya, ia punya bakat olahraga dan sepak bola jadi pilihannya.
Enke mengawali karier sebagai striker di akademi SV Jenapharm Jena. Pada tahun 1985, Enke direkrut klub papan atas Jerman Timur, Carl Zeiss Jena. Di sinilah posisinya dipindah ke bawah mistar.
Tanpa terasa, pada tahun 1993, Robert Enke sudah tampil sebagai penjaga gawang timnas Jerman U-15. Singkat cerita, di usia 17 tahun, Carl Zeiss Jena memberi Robert Enke kontrak profesional. Namun, setelah hanya tampil 3 kali di Bundesliga 2 musim 1995/1996, Robert Enke pindah ke Borussia Mönchengladbach di musim berikutnya.
Pindah ke Gladbach membuat Enke bertemu dengan Uwe Kamps, seorang one-club men yang dihormati sekaligus kiper utama Borussia Mönchengladbach. Kepada jurnalis Ronald Reng, Enke mengaku merasa terintimidasi dengan sosok Uwe Kamps yang fisik dan gayanya mirip dengan Oliver Kahn. Ia pun mulai meragukan dirinya sendiri.
Lantas, dua musim pertamanya di Gladbach ia habiskan di tim U-23 dan timnas Jerman U-21. Baru di musim 1998/1999 Enke mendapat kesempatan setelah Uwe Kamps mengalami cedera ruptur tendon Achilles.
Namun, meski tampil apik, Gladbach terdegradasi di akhir musim. Kariernya di Gladbach juga berakhir dengan cara yang buruk. Enke merasa dikhianati oleh dewan direksi. Pasalnya, kepergiannya dari Gladbach diumumkan sebelum musim berakhir. Alhasil, Enke jadi sasaran kemarahan penggemar.
Setelah pergi dari Gladbach, Robert Enke direkrut oleh Benfica. Adalah Jupp Heynckes yang membawanya hijrah ke Portugal. Masa-masanya di Benfica juga dihiasi gejolak.
Satu jam setelah menandatangi kontrak, Enke pulang ke hotel dan menangis di atas bantalnya. Panic attacks menjadi penyebabnya. Sorotan dan tekanan adalah momok baginya.
Selama berseragam Benfica, Enke juga mengalami pergantian manager sebanyak 3 kali dan tidak memenangkan trofi apapun. Kala itu, Benfica memang tengah dilanda krisis keuangan, sehingga gaji para pemain pun sering terlambat.
Akan tetapi, masa-masanya di Benfica jadi salah satu yang terbaik bagi Robert Enke. Setelah bertarung menjadi “si nomor satu”, Enke sempat jadi kapten di tahun 2002. Ia merasa sangat diterima dan diperhatikan dengan baik oleh manajemen dan fans. Saking nyamannya di Benfica, Enke sampai menolak tawaran Manchester United dan Arsenal di tahun 2001.
Namun pada akhirnya, Enke hengkang dari Benfica di musim panas 2002. Ia menerima tawaran raksasa Spanyol, Barcelona. Sayangnya, di sinilah awal dari episode depresi Robert Enke terjadi.
Tiga Episode Depresi Robert Enke
Kepindahan Enke ke Barcelona adalah sebuah kesalahan besar. Pertama, sistem permainan Barca yang menerapkan garis pertahanan tinggi membuat Enke tak nyaman. Enke adalah tipikal kiper klasik, tetapi ia dipaksa untuk menjadi “ball playing goalkeeper”.
Kedua, Enke yang melankolis tidak akan pernah cocok dengan sistem otoriter milik manager Barca kala itu, Louis van Gaal. Enke bisa dibilang berhasil di Banfica karena para staff yang suportif dan peka. Namun, jangan harap menemukan hal serupa di bawah kepemimpinan Van Gaal.
Interaksi pertama Enke dengan Van Gaal berakhir menyesakkan. Van Gaal secara terbuka bilang kalau ia bahkan tak mengenal kiper Jerman tersebut dan hanya merekrutnya atas perintah direktur olahraga. Enke sendiri pernah berkata, “Menjadi penjaga gawang di Barcelona adalah posisi tersulit yang pernah ada di Eropa”.
Setelah hanya menjadi cadangan bagi Roberto Bonano dan Victor Valdes, Robert Enke akhirnya menjalani debutnya di laga Copa del Rey kontra tim divisi tiga, Novelda. Sayangnya, laga tersebut berakhir tragis.
Barca kalah 3-2 dan Enke menjadi kambing hitam. Bek Barca, Frank de Boer bahkan meneriaki Enke setelah ia membuat blunder fatal di gol ketiga Novelda.
Empat bulan setelah debut horornya, Enke yang selalu ditemani sang istri Teresa dan sang agen Jörg Neblung secara diam-diam tanpa diketahui Barcelona mulai mengunjungi psikoterapis. Di tahap ini, ia sudah didiagnosis mengalami depresi. Ini menjadi episode depresi pertama Robert Enke.
Setelah laga melawan Novelda, Enke sebenarnya sempat 2 kali tampil di Liga Champions dan sekali masuk sebagai pemain pengganti di La Liga. Namun, kondisi mentalnya sudah terlanjur jatuh. Pergantian pelatih Radomir Antić juga tak mengubah situasi Enke yang hanya jadi cadangan ketiga.
Di musim berikutnya, Robert Enke dipinjamkan ke Fenerbahce sebagai bagian dari transfer Rüştü Reçber. Awalnya, kepindahan tersebut menjadi harapan, sebab di sana Enke akan ditangani pelatih sesama Jerman, Christoph Daum. Namun, nasibnya justru lebih parah.
Enke hanya tampil sekali untuk Fenerbahce. Di laga debutnya, Enke kebobolan 3 gol dan membuat Fenerbahce kalah 3-0 dari Istanbulspor. Enke pun menjadi sasaran kemarahan fans yang melemparinya dengan botol dan korek api.
Alhasil, depresinya menjadi makin parah. Ironisnya, selama di Turki, Enke hanya ditemani Jörg Neblung, sementara keluarganya tetap di Barcelona. Tanpa support system, Enke meminta pulang ke Spanyol.
Sempat berlatih sendiri di luar tim utama, Barcelona akhirnya meminjamkan Robert Enke di tim divisi 2, Tenerife di sisa musim 2003/2004. Enke mengaku menikmati enam bulannya di Tenerife. Ia merasa diterima dan disambut dengan hangat oleh staf, rekan setim, dan para fans.
Bermain di kasta yang lebih rendah dengan tekanan yang lebih kecil, Enke berhasil bangkit. Tampil di 9 pertandingan, ia hanya kebobolan 11 gol dan mencatat 4 clean sheets.
Setelah masa peminjamannya habis, Robert Enke yang lelah dengan hiruk pikuk politik dan media di Barcelona, memilih mengundurkan diri di musim panas 2004. Dan akhirnya, Hannover 96 jadi pelabuhan berikutnya.
Ada alasan lain mengapa Enke memilih pulang ke Jerman. Kala itu, sang istri ternyata tengah hamil dan terungkap kalau anak yang dikandungnya memiliki masalah kesehatan. Dokter bahkan menyarankan untuk aborsi, tapi Enke tak mau. Pada 31 Agustus 2004, sang putri Lara lahir dengan kondisi kelainan jantung yang disebut sindrom jantung kiri hipoplastik.
Di Hannover, Enke menemukan suasana yang mirip dengan Benfica dan Tenerife, di mana ia disambut dan diperlakukan dengan hangat. Hanya membela tim papan tengah dan tanpa tekanan yang berat, Enke perlahan kembali ke performa terbaiknya. Buktinya, di musim 2006, ia mendapat penghargaan kiper terbaik Bundesliga dari majalah Kicker dan mendapat tawaran dari Stuttgart.
Sayangnya, kehidupan pribadi Robert Enke bertolak belakang dengan performanya di lapangan. Selama 2 musim berseragam Hannover, Enke berjuang mati-matian mengobati sang putri, Lara. Namun, setelah berbagai operasi, Lara meninggal dunia pada 17 September 2006.
Meninggalnya Lara jadi episode depresi kedua Robert Enke. Saat itu, bos Hannover, Dieter Hecking sampai memberi Enke libur panjang. Kematian Lara begitu menghantam Robert Enke, bahkan lebih telak ketimbang depresinya selama di Barcelona.
Namun, Enke bangkit. Penampilan apiknya di musim berikutnya berbuah debut di timnas senior Jerman pada 28 Maret 2007. Enke juga masuk dalam skuad Euro 2008 dan terpilih menjadi kapten Hannover sejak musim 2007/2008.
Di musim 2008/2009, Enke kembali meraih penghargaan kiper terbaik Bundesliga. Saat itu, banyak pihak yang ingin agar Enke pindah dari Hannover ke klub yang lebih besar.
Namun, beban sebagai kapten tim dan situasi sulit Hannover di awal musim 2009/2010 terlalu berat untuk ditangani Robert Enke. Usut punya usut, ia belum sembuh benar dari depresi pasca meninggalnya Lara. Ini menjadi episode depresi ketiga yang dialami Enke. Dalam ilmu psikologi, kondisi ini disebut sebagai “Relapse”, kambuhnya depresi setelah seseorang dinyatakan atau merasa “sembuh”.
Saat itu, gelandang Hannover, Hanno Balitsch, secara aktif mengawasi kaptennya dan menyemangatinya di setiap latihan. Sementara itu, sang istri memutuskan untuk mengadopsi seorang anak perempuan bernama Leila. Tujuannya adalah untuk menciptakan sistem pendukung di sekitar Enke.
Ada satu asumsi pula bahwa posisi Enke sebagai penjaga gawang membuatnya lebih rentan terkena depresi. Penulis buku biografi Robert Enke, Ronald Reng mencatat bagaimana Enke takut membiarkan gol atau bahkan terus menganalisis kebobolan ketika sudah jelas bahwa ia tidak bersalah.
Hingga akhirnya, segala usaha untuk menyembuhkan Enke tak berhasil. Depresi akhirnya menakhiri hidup Robert Enke secara tragis pada 10 November 2009.
Robert Enke Foundation
Setelah kematian Robert Enke, Hannover, Asosiasi Sepak Bola Jerman (DFB), dan Liga Sepak Bola Jerman (DFL) mendirikan Robert Enke Foundation. Yayasan ini memiliki dua proyek besar, yakni membantu orang-orang yang menderita depresi dan mendukung anak-anak yang punya masalah jantung.
Yayasan ini mempermudah akses para insan sepak bola ke psikiater dan terapi. Hadirnya Robert Enke Foundation juga telah meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental, khususnya di lingkungan sepak bola Jerman. Tentu saja, Robert Enke Foundation dan semua pihak yang terlibat tak ingin ada Robert Enke Robert Enke berikutnya.
Kehadiran yayasan ini juga membuat Robert Enke abadi. Meski Manuel Neuer yang pergi ke Piala Dunia 2010, tetapi publik sepak bola Jerman tahu siapa sosok yang seharusnya mengawal gawang Der Panzer di Afrika Selatan. Dia adalah Robert Enke.
“Gone, but never forgotten”.
Referensi: The Guardian, Hannover, Bild, Bundesliga, BBC, These Football Times.