Final Liga Champions 2007: Balas Dendam Termanis Dalam Sejarah UCL

spot_img

Ada banyak kisah balas dendam yang berakhir manis dalam sejarah sepak bola. Namun, hanya sedikit yang terjadi di Liga Champions, apalagi di partai final. Dari jumlah yang sedikit tersebut, final Liga Champions 2007 menghadirkan kisah balas dendam termanis dalam sejarah Liga Champions.

Bagaimana kisahnya? Selengkapnya di Football Jack!

The Nightmare, The Tragedy, The Curse of Istanbul

“Miracle of Istanbul” adalah laga comeback terbaik yang pernah tercipta dalam final Liga Champions. Pendukung sepak bola pada umumnya, terkhusus para pendukung Liverpool pasti sangat setuju. Namun, tidak dengan AC Milan dan para pendukungnya.

Di partai final yang digelar pada 25 Mei 2005 di Stadion Olimpiade Atatürk, AC Milan yang jauh lebih diunggulkan ditantang Liverpool yang datang dengan predikat underdog.

Milan yang datang sebagai juara Serie A 2004 lolos ke fase gugur UCL setelah memuncaki klasemen Grup F, mengungguli Barcelona, Shakhtar Donetsk, dan Celtic. Rossoneri kemudian melaju ke final setelah mengandaskan Manchester United, Inter Milan, dan PSV Eindhoven dengan skor yang cukup meyakinkan.

Sementara itu, Liverpool memulai UCL dari babak kualifikasi ketiga. Di fase grup, mereka hanya finish di peringkat kedua Grup A di bawah AS Monaco dan lolos ke fase gugur berkat keunggulan agresivitas gol atas Olympiacos. The Reds kemudian lolos ke final untuk menantang Milan setelah melangkahi Bayer Leverkusen, Juventus, dan Chelsea.

Dari lawan yang dihadapi saja, Milan terlihat lebih superior. Begitu pula dengan skuad yang dimiliki kedua tim. Skuad AC Milan tahun 2005 adalah salah satu starting eleven yang paling ditakuti.

Ada peraih Ballon d’Or 2004, Andriy Shevchenko. Ada pula juara Piala Dunia Cafu, Dida, dan Kaka. Serta anggota timnas Italia seperti Nesta, Pirlo, Gattuso, hingga Paolo Maldini. Di musim tersebut, kampiun UCL 2003 itu juga baru saja memperkuat timnya dengan mendatangkan Jaap Stam dan Hernan Crespo.

Di atas kertas, pasukan Carlo Ancelotti jelas lebih diunggulkan dan prediksi tersebut terbukti tatkala Milan menutup babak pertama dengan keunggulan 3 gol berkat gol Paolo Maldini dan 2 gol Hernan Crespo.

Satu tangan Milan bisa dibilang sudah memegang Si Kuping Besar. Namun, seperti yang kita semua ketahui, Liverpool bangkit di babak kedua. Steven Gerrard, Vladimir Smicer, dan Xabi Alonso membuat The Reds menyamakan kedudukan.

Hingga akhirnya, hal yang ditakuti terjadi. Milan kalah di babak adu tos-tosan setelah Jerzy Dudek berhasil menepis eksekusi penalti Andrea Pirlo dan Andriy Shevchenko yang membuat Liverpool yang tak diunggulkan berhasil mengalahkan AC Milan dan mengangkat trofi UCL kelima mereka.

Liverpool kemudian pulang dengan membawa memori manis, sementara AC Milan pulang membawa memori pahit. Oleh karena itu, bagi AC Milan dan para pendukungnya, final Liga Champions 2005 bukanlah “Miracle of Istanbul”, melainkan lebih pantas disebut sebagai “The Nightmare, The Tragedy, The Curse of Istanbul”.

Tragedi Istanbul 2005 yang Menghantui AC Milan

Setelah tragedi tersebut, tuduhan negatif mulai dilayangkan. Ada yang bilang kalau Milan terlena karena sudah unggul 3 gol. Namun, Dida menepis anggapan tersebut. Ia pernah bilang kalau fokus dan konsentrasi timnya saat itu sangat tinggi. Ketika Liverpool sanggup menyamakan kedudukan, Dida juga masih yakin kalau ia dan rekan-rekannya masih bisa memenangkan pertandingan.

Maka dari itu, ketika Dida mengenang kembali hasil akhir final UCL 2005, ia masih tak percaya timnya kalah. Kata Dida, “Kami sudah begitu dekat; bagaimana mungkin bisa kalah?”

Sama seperti Dida, Kaka juga mengenang Tragedi Istanbul sebagai “sesuatu yang sulit dijelaskan”. Kaka mengaku masih dihantui tragedi tersebut. “Kami memiliki pemain bertahan terbaik di dunia dalam tim itu. Jadi jujur saja, bertahun-tahun kemudian saya masih tidak mengerti bagaimana kami bisa kalah dalam pertandingan itu.”

Sama seperti Dida dan Kaka, Hernan Crespo yang mencetak dua gol di laga tersebut juga mengaku masih dihantui dengan apa yang terjadi di Istanbul 2005. Kata Crespo, “hasil pertandingan tersebut masih menjadi luka baginya”.

Singkat cerita, Tragedi Final UCL 2005 menjadi memori buruk yang menghantui AC Milan. Carlo Ancelotti sendiri pernah bilang kalau final tersebut jadi kenangan pahit baginya dan kalau bisa ia ingin melupakannya saja.

“Formasi Pohon Cemara” dan Pertunjukan Kaka di Liga Champions 2007

Satu-satunya obat penawar yang bisa menyembuhkan luka AC Milan saat itu hanyalah kesabaran. Dan Milan bisa dibilang beruntung. Sebab, hanya dalam waktu dua tahun, mereka mendapat kesempatan langka untuk menutup petualangan mereka di Liga Champions 2007 dengan cara yang sangat manis, yakni melakukan balas dendam kepada Liverpool.

Laju AC Milan di Liga Champions 2007 tak se-superior perjalanan mereka di Liga Champions 2005. Akibat skandal Calciopoli setahun sebelumnya, Milan yang harusnya finish kedua di Serie A harus turun 1 tangga setelah mendapat pengurangan 30 poin. Milan pun harus memulai UCL dari babak kualifikasi ketiga.

Setelah melewati hadangan Red Star Belgrade, AC Milan tergabung ke dalam Grup H yang terbilang cukup mudah. Lille, Anderlecht, dan AEK Athens berhasil dilangkahi. Berkat perolehan 10 poin, Milan melaju ke fase gugur sebagai pemuncak klasemen

Di fase gugur inilah pertunjukan sesungguhnya tersaji. Sebagai allenatore, Carlo Ancelotti juga menunjukkan kemahirannya mengolah taktik. Di musim tersebut, Milan sudah tak punya Jaap Stam, Hernan Crespo, maupun Andriy Shevchenko. Ancelotti pun mengubah formasi 4-4-2 diamond andalannya menjadi 4-3-2-1 atau yang lebih lazim disebut sebagai “formasi pohon cemara”.

Posisi kiper masih diisi Dida yang dilindungi oleh quartet bek yang dihuni Cafu, Nesta, Maldini, dan Jankulovski. Di lini tengah, Andrea Pirlo sebagai regista diapit oleh Gattuso dan Ambrosini. Sementara di lini depan, Ancelotti memasangkan dua playmaker, yakni Seedorf dan Kaka serta menempatkan Filippo Inzaghi sebagai striker tunggal.

Berkat formasi tersebut, UCL 2007 menjadi panggung bagi Kaka. Ia menjadi pahlawan Milan tatkala mencetak gol tunggal ke gawang Celtic di babak 16 besar. Di babak 8 besar, Kaka menyumbang 1 gol dalam kemenangan agregat 4-2 AC Milan atas Bayern Munchen. Pemain bernomor punggung 22 itu kemudian menjadi momok Manchester United di babak semifinal.

Di babak tersebut Milan berhasil membalikkan agregat. Setelah kalah 3-2 di San Siro, Milan berhasil membantai MU 3-0 di Old Trafford. Dalam kemenangan agregat 5-3 itu, 3 gol Milan disumbang oleh Kaka di mana 1 gol di antaranya dicetak lewat sebuah aksi individu menawan yang berhasil membuat Gabriel Heinze dan Patrice Evra bertabrakan sebelum membuat Edwin van der Sar bertekuk lutut.

AC Milan pun lolos ke partai final. Seperti sudah menjadi suratan takdir, di final Liga Champions 2007, AC Milan kembali dipertemukan dengan Liverpool. Sebuah kesempatan langka sekaligus satu-satunya obat penawar yang bisa mengobati luka di tragedi “Miracle of Istanbul”.

Misi Tuntas! AC Milan 2-1 Liverpool

Kebetulan, venue final Liga Champions 2007 adalah Stadion Olimpiade Athena di mana di arena tersebut Milan punya memori manis. Pada final UCL 1994, Milan mengandaskan Barcelona 4-0 di stadion tersebut.

Di final yang digelar pada 23 Mei 2007 itu, AC Milan juga kembali memilih memakai seragam tandang serba putih. Meski dua tahun sebelumnya mereka kalah dari Liverpool dengan seragam tersebut, tetapi Milan masih menganggap seragam tersebut sebagai “maglia fortunata” alias seragam keberuntungan.

Bisa dibilang kalau venue pertandingan kala itu berpihak kepada Milan untuk melakukan balas dendam. Kebetulan lagi, baik Milan maupun Liverpool masih dilatih pelatih yang sama dan masih banyak alumni final UCL 2005 yang masih bertahan di kedua kubu. Namun, kali ini peta kekuatan kedua tim telah berbalik.

Liverpool datang ke partai final dengan optimistisme yang lebih tinggi. Setelah memuncaki Grup C, The Reds melangkahi Barcelona, PSV, dan Chelsea untuk kembali menantang Milan.

Dibanding dua tahun sebelumnya, skuad Liverpool juga lebih segar. Hanya ada lima pemain alumni final UCL 2005 yang bermain sebagai starter, sisanya adalah pemain anyar, seperti Pepe Reina, Javier Mascherano, Jermaine Pennant, Zenden, hingga Dirk Kuyt.

Sebaliknya, skuad AC Milan tak banyak perubahan. 7 alumni final UCL 2005 masih diturunkan. Hanya Massimo Oddo dan Marek Jankulovski yang baru. Sementara Ambrosini dan Inzaghi yang tersisih dari skuad final dua tahun sebelumnya menjadi starter di final 2007. Di final tersebut Carlo Ancelotti tercatat menurunkan starting eleven tertua dalam sejarah final Liga Champions, dengan usia rata-rata 31 tahun, 34 hari.

Jika di babak sebelumnya Kaka yang jadi bintang AC Milan, maka di partai puncak Liga Champions itu nama Filippo Inzaghi yang keluar sebagai Man of The Match. Pippo Inzaghi memang jadi faktor pembeda terbesar di laga tersebut. Kehadiran Si Raja Offside itu terbukti menjadi momok bagi para defender Liverpool.

Di menit ke-45, Milan mendapat tendangan bebas di depan kotak penalti Liverpool. Andrea Pirlo kemudian menjalankan tugasnya dengan baik. Namun, bola tendangannya mengenai bahu Filippo Inzaghi yang tengah berlari. Akibatnya, bola berbelok dan mengecok Pepe Reina. Milan pun menutup babak pertama dengan keunggulan 1-0.

Gol pertama tersebut terlihat seperti sebuah keberuntungan dan bola seperti mencari posisi Inzaghi. Pirlo mungkin tak bermaksud mengarahkannya kepada Inzaghi, tetapi dengan naluri, insting, dan elemen keberuntungan yang dimilikinya, semua rekan timnya yakin kalau Inzaghi dengan sengaja membuat gol aneh tersebut.

Inzaghi kemudian kembali jadi momok Liverpool di babak kedua. Tepatnya di menit ke-82, Inzaghi berhasil lepas dari jebakan offiside dan menipu para pemain bertahan Liverpool. Menerima asis dari Kaka, Inzaghi berhasil menaklukkan Pepe Reina untuk kali kedua. Milan pun memimpin 2-0.

Inzaghi kemudian mendapat applause ketika dirinya ditarik keluar di menit ke-88. Hanya berselang semenit, mental Inzaghi dan para penggawa Milan malam itu kembali diuji tatkala Dirk Kuyt berhasil memperkecil ketinggalan. Sebuah gol di tengah keputusasaan Liverpool yang membuat nyanyian “YouYou’ll Never Walk Alone” makin nyaring terdengar.

Di sisi lain, gol Dirk Kuyt membuat bayangan Tragedi Istanbul 2005 kembali mengantui Milan. Akan tetapi, kali ini tak ada kisah kebangkitan yang terulang. Milan mampu bertahan dan kali ini jadi pihak yang merayakan kemenangan. Misi balas dendam pun tuntas dibayar. AC Milan menang 2-1 dan berhasil mengangkat trofi Liga Champions ketujuh mereka.

Kemenangan semacam itu sangat langka terjadi dan AC Milan berhasil memanfaatkannya dengan membuat balas dendam termanis dalam sejarah Liga Champions. Namun, ketika mengenang malam yang indah di Athena tersebut, Kaka yang setelah itu mendapat trofi Ballon d’Or menolak menyebutnya sebagai balas dendam. Kata Kaka, “itu adalah tanda dari Tuhan dan malam yang menakjubkan sekaligus ajaib.”

Tak bisa dipungkiri kalau AC Milan telah begitu menderita akibat tragedi “Miracle of Istanbul”. Hingga hari ini, mimpi buruk itu mungkin masih menghantui. Namun, berkat penebusan dosa yang dilakukan di finalLiga Champions 2007, Milan telah melakukan cara terbaik untuk melupakannya dan kini punya kenangan yang lebih manis untuk dikenang.


Referensi: DailyMail, Metro, OneFootball, DailyMail, CNN, These Football Times, UEFA.

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru