“Para pemain saya juga melakukan kesalahan, tetapi yang harus bertanggung jawab dari kekalahan AC Milan ini adalah saya, dan bukan Theo,” ucap Sergio Conceicao usai pertandingan melawan Feyenoord. Sergio sangat kecewa dengan hasil yang diperoleh tim asuhannya di Liga Champions kemarin.
Namun, apa daya. Peluit panjang sudah dibunyikan dan Sergio harus rela timnya pulang dengan tangan kosong. Ini jadi kegagalan kesekian Milan di kompetisi Eropa. Di tahun-tahun sebelumnya pun begitu. Padahal, kita tahu bahwa Rossoneri adalah ratunya Liga Champions.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi pada sang Ratu? Mengapa mereka kini sulit untuk mengulangi prestasi itu lagi? Selengkapnya, mari kita bahas.
Daftar Isi
Kegagalan Kesekian
AC Milan memang punya tujuh trofi Liga Champions di lemari penyimpanannya. Namun, jika dicermati lagi, itu bukan statistik yang bisa dibanggakan. Karena terakhir kali Milan juara UCL sudah lama sekali. Itu terjadi pada tahun 2007, atau setara dengan 18 tahun yang lalu. Jika diibaratkan dengan usia manusia, itu jadi usia yang memenuhi syarat untuk menjadi wali kota di Denmark.
Kala itu, dalam final yang berlangsung di Olympic Stadium, Athena, Milan berhasil mengalahkan Liverpool dengan skor 2-1. Kemenangan ini bukan hanya sekadar trofi bagi Milan, tetapi juga menjadi momen bersejarah bagi klub asal Italia itu yang berhasil mengukuhkan posisi sebagai klub tersukses kedua dalam sejarah Liga Champions.
Namun, sejak musim 2006/07 berakhir, Milan jadi klub yang tak sama lagi. Milan menjelma jadi klub yang skibidi jika bermain di kompetisi Eropa. Dengan skuad yang hampir sama, mereka bahkan hanya mencapai babak 16 besar dan dikalahkan Arsenal asuhan Arsene Wenger di Liga Champions musim 2007/08.
Milan praktis jadi tim yang jarang mentas di Liga Champions. Mereka justru lebih sering bermain di kasta kedua Eropa, yakni Europa League. Bahkan, pernah sama sekali nggak main di Eropa karena gagal tampil apik di Serie A. Turun kasta pun tak membuat mereka jadi penguasa. Di Europa League juga gitu-gitu aja. Nggak pernah juara. Mereka mulai kembali konsisten mentas di UCL lagi pada musim 2021/22.
Gonta-ganti Pelatih
Saat kembali ke UCL, prestasi terbaiknya cuma nyampe semifinal. Itu terjadi di musim 2022/23. Sisanya? berantakan. Lolos ke babak 16 besar aja kesulitan. Contohnya saja di Liga Champions musim 2023/24. Berada di Grup F bersama PSG, Newcastle United, dan Borussia Dortmund, Milan terkapar.
Mereka hanya menempati peringkat ketiga usai kalah selisih gol dengan wakil Prancis. Lantas, apa yang menyebabkan Milan jadi seperti ini? Faktornya banyak, terlalu sering mengganti pelatih jadi salah satunya. Sejak kepergian Carlo Ancelotti pada tahun 2009, setidaknya ada 13 nama berbeda yang menjadi pelatih Milan dalam 16 tahun terakhir.
Dari mulai Massimiliano Allegri, hingga kini ada Sergio Conceicao. Terlalu sering mengganti pemain berimbas pada pola permainan yang tak stabil. Belum juga terbentuk filosofi bermain, pelatihnya udah diganti duluan. Yang jadi masalah utama sih, bukan durasi pelatihnya ya, tapi selera manajemen Milan saat memilih pelatih.
Pasca Ancelotti, tercatat banyak pelatih-pelatih medioker yang menjabat. Sebut saja seperti Gennaro Gattuso, Clarence Seedorf, hingga Filippo Inzaghi. Sebagai pemain, mereka oke lah. Legenda. Tapi, kalau sebagai pelatih ya mohon maaf. Secara pengalaman, mereka sangat minim.
Seedorf bahkan baru kali pertama melatih klub saat ditunjuk oleh Milan untuk menggantikan Massimiliano Allegri tahun 2014. Pengalaman yang minim juga bikin mereka tak mampu mengeksplorasi taktik dan kedalaman skuad yang dimiliki.
Finansial yang Tak Stabil
Selain terlalu sering mengganti pelatih, finansial yang tidak stabil juga jadi pekerjaan rumah bagi AC Milan. Klub yang bermarkas di San Siro itu seperti terlalu berpangku tangan pada pemilik sebelumnya, Silvio Berlusconi. Di tangannya, Milan bergelimang harta. Tak mengalami kesulitan untuk mendatangkan pemain sekaliber Alessandro Nesta dan Rui Costa.
Karena terbiasa ditimang-timang Berlusconi, Milan hilang arah saat sang bos lepas tangan pada tahun 2017. Dari situ, Milan gagal mengelola keuangan mereka dengan baik. Sialnya lagi, Berlusconi justru menjual saham Milan ke tangan yang salah, yakni pengusaha nggak jelas, Yonghong Li.
Pengakuisisian Milan ini pun mengundang banyak kontroversi. Beberapa media Italia bahkan menyebut Li tidak punya uang dan hanya modal nekat dalam mengakuisisi Rossoneri. Lucunya lagi, masyarakat China juga banyak yang tidak mengenal Li sebagai pengusaha atau orang kaya.
Di era transisi inilah pembukuan Milan acakadut. Baru setahun menjabat jadi pemilik klub, Li sudah dinyatakan bangkrut. Sejumlah asetnya kedapatan tengah dijual di Taobao, Ebay versi China. Hal ini pun berdampak pada keuangan Milan. Dilansir Goal, AC Milan mengalami kerugian sebesar 126 juta euro pada tahun 2018.
Pendapatan Milan memang mengalami peningkatan, tetapi pengeluarannya melampaui 354 juta euro. Ada kenaikan biaya hingga 22,7 persen dalam kurun waktu satu tahun. Milan pun menambah hutang dan akhirnya dilikuidasi oleh Elliot Management (EM). Tanpa uluran tangan EM, AC Milan bisa dipastikan bangkrut saat itu juga.
Terlambat Menggunakan Dirtek
Di tangan EM, Milan mulai stabil, tapi masih sering salah mengambil keputusan. Mereka mengabaikan hal-hal yang sebetulnya fundamental bagi perkembangan tim. Seperti misalnya, saat Milan memutuskan untuk tidak menggunakan direktur teknik.
Tidak adanya direktur teknik membuat proyek Milan tak memiliki arah yang jelas. Seharusnya, dengan adanya direktur teknik, Milan bisa menjaga benang merah proyek pengembangan klub. Mau siapapun pelatihnya, bisa mengikuti gagasan yang sudah direncanakan oleh dirtek.
Tercatat, sejak tahun 2009 hingga 2018, Milan tanpa direktur teknik. Milan baru sadar akan pentingnya dirtek adalah pada tahun 2019. Saat itu, Milan menunjuk Paolo Maldini untuk mengisi posisi tersebut. Sebelum itu, nasib Milan terombang-ambing. Main di UCL aja jarang.
Pembangunan Skuad yang Seadanya
Tapi, yang paling ketara dari situasi ini adalah penerapan rencana transfer. Salah satu yang terparah terjadi di era Vincenzo Montella. Milan menghabiskan lebih dari 186 juta euro untuk merombak skuad di musim panas 2017.
Menurut data Transfermarkt, AC Milan saat itu mendatangkan sekitar 10 pemain. Mereka adalah Mateo Musacchio, Franck Kessie, Ricardo Rodriguez, Andre Silva, Fabio Borini, Hakan Calhanoglu, Antonio Donnarumma, Andrea Conti, Lucas Biglia, bahkan Leonardo Bonucci yang dibajak dari Juventus.
Milan hanya berfokus pada tambal sulam saja. Tidak memperhatikan kualitas sang pemain akan cocok atau tidak dengan kebutuhan tim saat itu. Sekarang lihat, tak ada satu pun pemain itu yang bertahan di Milan hingga sekarang. Tindakan impulsif ini justru menyeret Milan ke masalah yang lebih besar.
Konflik Internal
AC Milan dibanned dari kompetisi Europa League musim 2019/20 karena terjerat kasus financial fair play. Tak berhenti di situ, kasus itu membuat sponsor Milan pada kabur. Sponsor apparel mereka, Adidas, memutus kontrak. Adidas memberikan keterangan resmi bahwa mereka sudah jengah dengan kondisi Milan.
Adidas juga sudah muak dengan jajaran manajemen Milan yang semakin ngelantur. Hal yang berusaha disampaikan oleh Adidas ini memang benar adanya. Sebab, manajemen Milan dikenal kerap berkonflik. Contohnya saat Zvonimir Boban dan Paolo Maldini dikabarkan tidak bisa bekerja bebas karena otoritasnya benar-benar dibatasi.
Ivan Gazidis yang kala itu masih menjabat sebagai chairman di Milan, diketahui tak suka dengan dengan perkembangan Milan di bawah Stefano Pioli, pelatih pilihan Maldini dan Boban.
Konflik ini berujung dengan pemecatan Boban tahun 2020 usai dirinya mengkritik Gazidis di hadapan media. Milan memang cukup sering mengglorifikasi sebuah gesekan yang terjadi. Sampai pada akhirnya, serangkaian masalah ini justru jadi penghambat laju Milan di Eropa.
Sumber: ESPN, Sempre Milan, BBC, Fotmob