Cuma Diisi Pekerja Kantoran, Auckland City Menantang Raksasa di Piala Dunia Antarklub 2025!

spot_img

Ada kontras yang sangat ekstrem di Piala Dunia Antarklub 2025. Di antara para jawara liga top Eropa dan Amerika Selatan, sebuah klub antah berantah nyempil di grup neraka yang berisikan Bayern Munich, Benfica, dan Boca Junior. Kesebelasan itu bernama Auckland City. Klub yang mungkin baru Football Lovers dengar setelah dibabat habis sepuluh gol tanpa balas oleh The Bavarians.

Skor super mencolok ini lebih dari cukup untuk menggambarkan level antara dua kesebelasan. Tapi di balik angka itu, ada sesuatu yang lebih mengganggu nalar.  Sebab ternyata Auckland City bukanlah pendatang baru di turnamen ini. Mereka bahkan sudah menjadi wajah rutin dari benua yang kerap diabaikan: Oseania.

Dan ini bukan kejadian aneh yang terjadi sekali dua kali. Sudah lebih dari satu dekade Auckland City muncul mewakili Oseania di panggung Piala Dunia Antar Klub. Pertanyaannya pun muncul, dan semakin lama semakin membuat penasaran: Bagaimana mungkin klub yang lebih mirip tim fun football komunitas ini bisa terus lolos ke kejuaraan paling eksklusif di jagat sepak bola dunia?

Sejarah Terbentuk dan Dominasi di Oseania

Di peta sepak bola dunia, Oseania bukanlah benua yang ditakdirkan jadi pusat perhatian. Tak ada liga yang mewah dan tak ada siaran televisi yang melintasi benua. Sepak bola di wilayah ini seringkali kalah pamor dari olahraga lain seperti rugby atau cricket, bahkan di negaranya sendiri. Tapi justru dari tanah sunyi itulah, Auckland City lahir.

Klub ini didirikan tahun 2004 di kota pelabuhan Auckland, Selandia Baru. Tim berjuluk The Navy Blues jelas tidak disokong oleh kerajaan bisnis seperti banyak klub modern. Auckland City FC muncul dari ide sederhana: menghidupkan gairah sepak bola dengan mewadahi pemain lokal untuk berkompetisi di level nasional.

Auckland pun akhirnya bermain di  New Zealand Football Championship, dan sejak musim pertama, hebatnya mereka langsung meraih gelar dan mendominasi dari musim ke musim. Bahkan Auckland pernah jadi juara Liga Selandia Baru selama delapan musim beruntun.

Keberhasilan itu juga dibawa ke level benua alias dalam kompetisi Liga Champions Oseania. Sejak pertama kali  berpartisipasi pada 2006, Auckland City nyaris tak pernah absen dari podium juara.  Di atas kertas, mereka terlihat hebat. Tapi jika diperiksa lebih dekat, dominasi itu terjadi bukan karena kekuatan absolut, melainkan karena lemahnya kompetisi dan nyaris tanpa rivalitas berarti.

Sebagian besar lawan mereka berasal dari negara-negara kecil di Pasifik: Tahiti, Vanuatu, Papua Nugini dan lainnya yang tak dikelola dengan baik. Sementara itu, Auckland City  unggul dalam hal infrastruktur, pelatihan, dan kontinuitas manajemen. Mereka nyaris seperti Real Madrid-nya Oseania.

Itu jugalah yang membuat Auckland City secara otomatis jadi langganan lolos ke Piala Dunia Antarklub dan berada satu panggung dengan para raksasa sepak bola. Lantas, seperti apakah kiprah Auckland di turnamen ini, apakah mereka selalu jadi bulan-bulanan?

Panggung Elit dan Peran Figuran

Sejak 2006, Auckland City sudah seperti tamu tetap di pesta paling elite sepak bola yang mempertemukan juara dari setiap benua ini. Di awal-awal partisipasinya, Auckland selalu gugur di laga pertama. Mereka tak ubahnya sebagai figuran alias hanya pelengkap, yang sekadar hadir lalu pulang dengan koper penuh pengalaman dan gawang penuh gol. Tapi pada tahun 2014, mereka sempat membuat kejutan.

Di Maroko, Auckland mengalahkan tim tuan rumah Moghreb Tetouan lewat adu penalti, lalu mengalahkan wakil Aljazair, ES Setif  dan hampir saja lolos ke final andai tak kalah dari wakil Argentina, San Lorenzo. Auckland juga nyaris saja merebut posisi ketiga. Berhasil menahan imbang Cruz Azul, nyatanya Auckland mesti kalah lewat babak adu penalti.

Ironis. Setelah itu Auckland tak lagi memberi kejutan. Mereka memang rutin main di Piala Dunia Antarklub, tapi rutin juga kalah. Di tahun-tahun berikutnya, mereka disingkirkan oleh klub-klub seperti Al-Jazira, Kashima Antlers,  hingga Al Ahly.  Beberapa laga berakhir tipis, tapi tak pernah cukup untuk melaju jauh.

Lalu datanglah 2025. Undian menempatkan mereka satu grup dengan Bayern Munchen. Ini bukan pertandingan, ini seperti omongan seseorang yang bilang tambang mendatangkan maslahat: lelucon. Bagaimana mungkin salah satu klub kaya di Eropa menghadapi tim semi-pro yang markasnya saja kurang dari separuh kapasitas Stadion Kebo Giro di Boyolali?

Namun bukan keajaiban dan hasil akhir yang mereka cari, tapi sesuatu yang lebih berharga yang tak semua orang bisa dapatkan. Lantas apakah gerangan?

Pengorbanan Penggawa Auckland

Bagi sebagian besar pemain Auckland City, bermain di Piala Dunia Antarklub bukan sekadar kompetisi. Itu adalah mimpi yang terlalu besar untuk diukur dengan skor. Ketika undian menempatkan mereka melawan Bayern Munchen, sebagian pemain tidak langsung memikirkan kekalahan, tapi kesempatan.

Kesempatan untuk berbagi lapangan dengan nama-nama yang biasanya hanya mereka tonton di highlight YouTube. Dengan materi pemain yang super jomplang, tentu saja tak ada kisah dongeng seperti David menang melawan Goliat.

Tapi kekalahan telak sekalipun dirasa layak dan justru menggembirakan bagi para penggawa Auckland City. Kalau tak percaya tanya saja pada abang-abangan gondrong bernama Conor Tracey. Sang penjaga gawang yang akhirnya viral karena kebobolan sepuluh gol, sebenarnya adalah buruh di gudang perusahaan farmasi hewan. 

Namun demi bisa melawan skuad bintang Die Roten, ia rela mengambil cuti tahunan dan tak dibayar. Conor mengaku tak ambil pusing kalau kelak ia bakal kesulitan membayar sewa rumah dan cicilan bulanannya. Yang penting bisa bersalaman dengan Manuel Neuer dan satu lapangan dengan kiper terbaik FIFA tahun 2020 itu.

Selain Conor sang kiper, penggawa Auckland lainnya juga punya profesi utama di luar sepak bola. Ada yang bekerja sebagai pegawai di real estate, karyawan di yayasan, sales minuman bersoda dan lain sebagainya. Di siang hari mereka adalah warga biasa yang menyisipkan latihan setelah jam kerja dan mencicil mimpi di sela-sela kewajiban.

Sekumpulan pesepakbola freelance ini jelas tahu mereka bakal dipermainkan habis-habisan. Tapi wajah-wajah mereka tak menunjukkan frustrasi, melainkan ekspresi seseorang yang tahu bahwa ia sedang menjalani babak paling langka dalam hidupnya. Ya, laga melawan Bayern ini kemungkinan jadi  pengalaman sekali seumur hidup.

Dan mungkin itu sebabnya, mereka tidak datang untuk menang. Mereka tidak datang dengan target muluk, tidak memikirkan bonus atau tawaran sponsor. Mereka datang dengan koper penuh mimpi dan sepatu yang mungkin dibeli dari UMR Auckland.

Mereka tahu, dalam sepak bola profesional, keberadaan mereka nyaris tak diperhitungkan. Tapi justru di situlah letak kemuliaannya. Karena tak semua orang mau hadir dalam pertarungan yang mereka tahu akan kalah sejak awal, dan tetap menampilkan permainan terbaik yang mereka bisa.

Auckland City bukan sekadar klub kecil dari Selandia Baru. Mereka adalah simbol keberanian, konsistensi, dan cinta terhadap permainan itu sendiri. Di tengah dunia sepak bola yang kini dipenuhi angka, valuasi, dan ego, mereka datang sebagai pengingat: bahwa masih ada ruang untuk yang tulus, untuk yang datang tanpa pamrih selain cinta.

https://www.youtube.com/watch?v=974PcKoplYs

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru