Bikin Klub Bapuk Jadi Raksasa Eropa! Ini Rahasia Simone Inzaghi Sulap Inter

spot_img

Performa menawannya bersama Inter membuat Simone Inzaghi masuk ke jajaran pelatih top Eropa saat ini. Namun, saudara Filippo Inzaghi ini, dengan segala prestasinya, malah kurang mendapatkan sorotan jika dibandingkan pelatih asal Belanda dan Jerman. Namanya jarang sekali dikaitkan dengan klub-klub besar Eropa yang sedang mencari juru taktik anyar.

Padahal pria kelahiran 1976 ini memiliki kemampuan yang sudah jarang dimiliki oleh para pelatih modern. Sampai-sampai Pep Guardiola sangat kagum kepadanya. Lantas, apa sih rahasia Simone Inzaghi menyulap Inter yang morak-marik sejak ditinggal Jose Mourinho, menjadi raksasa di Eropa lagi?

 

Kemampuan Memoles Pemain

Satu hal yang luput orang lihat dari Simone Inzaghi adalah kemahirannya memoles pemain. Di luar dari taktiknya yang dianggap cerdik, pemain adalah faktor pertama yang harus Simone selesaikan terlebih dahulu. Apakah dia memiliki pemain yang pas? Apakah pemainnya mau bermain untuknya? dan Apakah pemainnya bisa bermain dengan skemanya? Pertanyaan tadi merupakan persoalan yang Simone tuntaskan sejak awal.

Kerendahan hatinya membuatnya mendapat tempat tersendiri di hati para pemain. Simone menang tak memiliki ambisi setinggi Antonio Conte, kharisma secerah Carlo Ancelotti, atau pun keberanian taktikal seperti Roberto de Zerbi. Namun, kesederhanaan Simone merupakan faktor yang membuatnya spesial. Prinsipnya sederhana, Simone suka melatih karena ingin menunaikan cita-citanya.

Sejak menjadi pemain, Simone memang dikenal memiliki kepekaan taktikal yang baik. Bahkan, sang kakak, Filippo Inzaghi mengakuinya. Kepekaan inilah yang membuat karir kepelatihan kakak-beradik ini terbalik dengan karir keduanya saat masih aktif sebagai pemain.

Untuk mendukung keberhasilan taktiknya, Simone tahu bahwa pemain adalah faktor paling penting yang ia butuhkan. Oleh karena itu, Simone menganggap kedekatannya dengan pemain merupakan faktor yang sangat penting. Dia bukan pelatih diktator semacam Antonio Conte, namun dia adalah motivator ulung. Ya, mungkin berkat pengalaman memotivasi dirinya dari bayang-bayang sang kakak.

Hasilnya, Simone berhasil menyulap banyak pemain biasa-biasa saja mencapai top performanya. Bahkan sejak masih memegang Lazio, Simone sudah membuktikan kemahirannya memoles pemain. Ia berhasil mengubah Ciro Immobile yang awalnya hanya striker rata-rata di Serie A menjadi mesin pencetak gol berbahaya.

Berkat polesan Simone, Immobile selalu berhasil mencetak lebih dari 18 gol per musim. Bahkan, Immobile berhasil menjadi capocannoniere musim 2019/20. Ia berhasil mencetak 36 gol yang juga membuatnya menyamai rekor gol Gonzalo Higuain. Kasus lain, bisa juga dilihat pada mercusuar Inter, Francesco Acerbi.

Saat pertama kali ditangani Simone Inzaghi pada 2018, usia Acerbi sudah 31 tahun. Usia yang tergolong uzur. Namun siapa sangka, di usia seuzur itu, Acerbi masih mampu mencapai top performanya. Sampai-sampai, Erling Haaland ngebet minta bertukar baju. Sebab, ia sudah 2 kali merasakan seperti apa rasanya dikantongi Acerbi. Kurang ngeri apa coba pemain ini?

Tak hanya dua pemain itu saja, di Inter, Simone berhasil memaksimalkan potensi Lautaro Martinez. Selama tiga musim bersama Simone, kawan Lionel Messi ini selalu konsisten mencetak lebih dari 20 gol, torehan yang sebelumnya tak pernah dia capai. Sampai-sampai El Toro masuk sebagai kandidat Ballon d’Or 2024. Mematikan bukan?

Masih banyak nama lain yang berhasil dipoles oleh Simone Inzaghi. Baik dari pemain yang usianya masih muda seperti Federico Dimarco dan Alessandro Bastoni, hingga yang sudah uzur seperti Matteo Darmian dan Henrikh Mkhitaryan. Mereka adalah bukti kemahiran Simone menyulap pemain biasa menjadi salah satu yang terbaik di posisinya. 

 

Taktik Sederhana agar Tak Kehilangan Bola

Simone Inzaghi datang ke Giuseppe Meazza mewarisi tim yang mengalami turbulensi setelah ditinggal Antonio Conte. Turbulensi tak hanya terjadi pada urusan mental, namun juga di level taktikal. Simone datang setelah Inter kehilangan pilar-pilar terbaiknya di era Conte.

Kepergian Mauro Icardi, Achraf Hakimi, Ivan Perisic, hingga Radja Nainggolan, cukup untuk membuat permainan Inter goyang. Diikuti dengan kepergian Christian Eriksen dan Romelu Lukaku, Simone benar-benar dituntut untuk membangun ulang Inter dari kekacauan yang terjadi semenjak Conte pergi.

Inter yang sebelumnya memiliki winger dengan kemampuan giring bola ciamik dalam diri Ivan Perisic dan Achraf Hakimi, disulap menjadi mesin gol yang tak menjadikan dribble sebagai tumpuannya. Inter adalah klub besar Eropa dengan catatan dribble yang minim. The Athletic menyebutkan, tiap pertandingan, Inter hanya memiliki rataan 11 dribble dan 2,29 gol. Ini berbanding jauh dari klub lain seperti Bayer Leverkusen yang punya 21,4 dribble dan 2,56 gol per laga.

Simone cerdik dalam memetakan kekuatan yang dimilikinya. “Kalau nggak punya pemain yang jago menggiring bola, ya gak usah lah main dribbledribble,” mungkin seperti itu yang ada di pikiran Simone. Ia mengubah Inter menjadi klub yang bertumpu pada umpan. Oleh karena itu, ia berani membajak Hakan Calhanoglu dari AC Milan.

Tak hanya mendatangkan Hakan, untuk mendukung taktik umpan cepatnya, Simone juga mendatangkan pemain-pemain yang mampu mendukung skemanya. Dari Henrikh Mkhitaryan hingga Francesco Acerbi ia datangkan. Semuanya demi skema sederhana umpan cepat yang dapat meminimalisir hilangnya bola. 

Alhasil, permainan umpan Inter menjadi salah satu yang terbaik di Eropa saat ini. Mereka mahir mengalirkan bola dari kaki ke kaki dengan sangat cepat. Sampai-sampai membuat lini belakang lawannya kelabakan. Skema jenius ini kemudian disempurnakan dengan dua orang striker di depan. Dan boom! Remuk sudah gawang tim lawan.

 

Menuai Hasil dan Pujian

Kejeniusan Simone Inzaghi tersebut perlahan demi perlahan menuai hasilnya. Mulai dari menaklukkan Juventus di final Coppa Italia 2021/22 hingga pada puncaknya menghajar AC Milan guna mengunci gelar scudetto ke-20 Inter, Simone Inzaghi menahbiskan dirinya sebagai salah satu pelatih terbaik di Eropa.

Selama tiga musim menjadi pelatih La Beneamata, Simone telah memberikan 6 trofi, yakni sebuah scudetto, 2 Coppa Italia, dan 3 Supercoppa Italiana. Simone memang sangat produktif, setiap satu musimnya ia konsisten mendaratkan 2 buah trofi. Sesuatu yang berbanding terbalik dengan karir kepelatihan sang kakak, Filippo Inzaghi.

Kejeniusan taktiknya ini pun diakui oleh para pelatih top. Pep Guardiola yang merasa kesulitan menghadapi Simone di final Champions League mengaku terkesima dengan apa yang disajikan oleh Inter.

“Mereka bermain sepak bola modern, mereka kuat secara fisik, dan terlatih sangat baik dengan taktik Simone Inzaghi,” ujar Guardiola via Sempre Inter

Mantan rekannya di Lazio, Diego Simeone, juga memuji skema yang Simone pakai. Saat Atletico Madrid dan Inter bertemu di 16 besar Champions League 2023/24, Diego merasa kesulitan untuk mengatasi serangan dan pertahanan Inter. Serangan balik khas Diego dipatahkan begitu saja oleh lini belakang Inter. Anak asuh Simone akhirnya memaksa Atletico ke adu penalti. Sayang, Inter harus kalah atas aksi ciamik Jan Oblak.

Meskipun namanya sudah dikenal di seantero Eropa, Simone Inzaghi jarang dikaitkan dengan tim besar. Hal ini sangat bertolak belakang dengan rekan senegaranya yang lain semacam Thiago Motta dan Roberto De Zerbi. Tapi satu hal yang pasti, Simone Inzaghi merupakan salah satu pelatih terbaik saat ini.

Sumber: The Athletic, BBC, Goal, dan Sempre Inter

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru