Jika mengingat Milan era 2008 hingga 2011, skuad AC Milan kala itu berhiaskan pemain-pemain bintang sekelas Alessandro Nesta, Andrea Pirlo, Gennaro Gattuso, Filippo Inzaghi, Zlatan Ibrahimovic, hingga The Smiling Assassin, Ronaldinho Gaucho.
Khusus bagi Ronaldinho, musim tersebut jadi penampilan terakhirnya di level tertinggi sepakbola Eropa. Praktis, setelah itu karirnya hanya dihabiskan di tanah kelahirannya, Brazil. Nah, untuk sedikit memantik memori tentang mantra terakhirnya di sepakbola Eropa. Berikut kisah Ronaldinho sewaktu di Milan.
Daftar Isi
Awal yang Meragukan
Sepenggal kisah Ronaldinho dengan AC Milan berawal pada musim 2008-2009. Dinho yang telah memberikan andil besar terhadap lahirnya Lionel Messi di kancah sepakbola dunia, justru dibuang begitu saja oleh Pep Guardiola.
Dengan patah hati dan sedikit kekecewaan, Ronaldinho pergi melintasi Mediterania untuk pindah ke Italia. Tujuan utamanya adalah Kota Milan. Dinho bergabung dengan skuad asuhan Carlo Ancelotti yang telah memenangkan Champions League dua musim sebelumnya.
Di mata banyak orang, Ronaldinho telah mencapai puncaknya di Barcelona sebelum performanya terus menurun dan akhirnya menemui pintu keluar Camp Nou. Namun, itu tidak sepenuhnya benar.
Memang benar bahwa lima tahun yang dihabiskan pemain Brazil itu di Camp Nou adalah yang terbaik dalam karirnya. Dalam periode itu, ia secara luas dianggap sebagai pemain terbaik di planet Bumi. Ia memenangkan Ballon d’Or dan dua penghargaan Pemain Terbaik Dunia FIFA bersama Barca.
Namun, dengan peningkatan berat badan, masalah cedera serta 24 juta euro yang harus dikeluarkan Milan, Ronaldinho datang bukan tanpa tujuan. Dengan bermain bersama rekan senegaranya, Ricardo Kaka, Dinho berambisi untuk menjawab tantangan dengan misi mengembalikan performa terbaik musim 2005-2006 bersama AC Milan.
Sayangnya, cedera kambuhan yang ia alami telah membatasi Dinho untuk melakukan tarian samba selues biasanya. Hal itu juga membuat kebugarannya belum bisa kembali seperti semula.
Ancelotti yang musim itu menggantungkan harapan klub pada dua bintang Brazilnya, sempat merasa frustasi dengan performa Ronaldinho. Namun, Ancelotti sempat berkata bahwa penurunan performa Dinho tak begitu mengejutkannya, bagaimanapun ia masih percaya dengan bakat alaminya. Soal skill mengolah si kulit bundar? Tak perlu diragukan lagi.
Setelah menjalani musim pertama yang tak begitu istimewa, menjelang kick off musim 2009-2010 dimulai, sebagian besar milanisti percaya bahwa hari-hari Ronaldinho sebagai pemain top akan segera berakhir.
Kepercayaan Coach Leonardo
Namun, pucuk dicinta ulam pun tiba, musim 2009-2010 terjadi pergantian kursi kepelatihan. Itu jadi berkah tersendiri bagi The Smiling Assassin. Momen transisi ini jadi kesempatan terakhir dan satu-satunya bagi Dinho untuk membuktikan diri bahwa ia masih layak untuk bermain di level tertinggi sepakbola Eropa.
Beruntungnya, Leonardo yang naik jabatan menjadi pelatih tim utama menggantikan Don Carletto yang terbang ke Inggris untuk menukangi Chelsea, masih percaya pada kemampuan Ronaldinho.
— Leonardo N de Araújo (@LeonardoNDA) September 19, 2012
Apalagi Milan gagal menambal lubang selepas kepergian Kaka ke Real Madrid. Hal itu berarti coach Leo tak ada pilihan lain. Ronaldinho bakal diplot untuk mengisi kekosongan besar yang ditinggalkan Kaka.
Namun, penggemar tidak seoptimis sang pelatih, kepercayaan fans kepada Ronaldinho belum juga muncul. Hingga akhirnya semua anggapan miring berubah jadi tepuk tangan yang meriah di sore yang begitu dingin di Bergamo.
Dinho masuk di awal babak kedua menggantikan Flamini dengan kondisi tim yang sedang tertinggal 1-0. Tak ada yang menyangka apa yang akan terjadi di 45 menit selanjutnya. Itu jadi 45 menit paling berpengaruh dalam karir Ronaldinho di AC Milan.
Ronaldinho jadi pembeda di laga tersebut. Memainkan umpan-umpan cantik, mematahkan pinggang para pemain bertahan Atalanta dengan gocekannya, dan mencetak gol penyeimbang guna menyelamatkan muka AC Milan.
Menerima umpan matang dari Nesta, Dinho mengontrol bola dengan dadanya dan diakhiri dengan tendangan voli ciamik. Seketika, seluruh fans bersorak untuk kebangkitan Ronaldinho. Laga tersebut jadi titik balik Ronaldinho bersama Milan.
Kembali ke Masa Muda
Dalam pertandingan berikutnya melawan Roma, kontribusi Ronaldinho semakin terlihat. Ia mencetak satu gol dan satu assist di laga tersebut. Kontribusi gol pun semakin deras mengalir, ia mengakhiri tahun 2009 dengan mencatatkan tiga gol dan delapan assist dalam 14 pertandingan.
Ronaldinho akhirnya menemukan performa terbaiknya lagi di paruh kedua musim 2009/2010. Ia memulai tahun 2010 dengan penuh gaya, mencetak dua gol melawan Juventus dan melanjutkannya dengan hattrick melawan Siena.
Laga kontra Siena jadi panggung yang sempurna bagi Ronaldinho. Seperti terlahir kembali, ia bermain lepas tanpa beban dan selalu tersenyum sepanjang laga. Pemain bertahan Siena pun seakan tak berguna dibuatnya.
Sebulan kemudian saat AC Milan bertemu Manchester United di babak 16 besar Liga Champions, Ronaldinho kembali menunjukan sihirnya. Dengan David Beckham dan Andrea Pirlo di lini tengah, Dinho leluasa bergerak di sisi kiri, area favoritnya.
Meski harus kalah 3-2, Ronaldinho jadi pemain yang sangat merepotkan di laga tersebut. Belum genap lima menit saja, ia sudah membuka keunggulan dengan tendangan voli dari tepi kotak penalti.
Usai unggul cepat, Dinho tampak lebih percaya diri. Rafael yang ditugaskan untuk membuntuti Ronaldinho pun jatuh bangun tertipu oleh gocekan yang dipertontonkan oleh pemain murah senyum ini.
Namun, di laga tersebut Ronaldinho tak jadi satu-satunya bintang yang bersinar. Kemenangan Milan, digagalkan oleh brace Wayne Rooney yang melengkapi gol Paul Scholes di babak pertama.
Mantra Terakhir
Di leg kedua, mereka dipermalukan di Old Trafford dengan 4 gol tanpa balas. Setelah itu, Ronaldinho hanya memenangkan empat dari 12 pertandingan terakhir Milan di Serie A, yang membuat mereka tersingkir dari perburuan gelar.
Sama halnya dengan Milan, Ronaldinho juga mengalami penurunan performa. Namun seperti yang kita semua tahu, performa buruk bersifat sementara, namun skill tetap melekat. Mantra terakhirnya terjadi pada laga pamungkas musim 2009-2010 kontra Juventus.
Seakan membalas kepercayaan yang telah diberikan oleh coach Leo, Ronaldinho yang tahu bahwa ini adalah laga terakhir Leonardo bersama Milan, tampil kesetanan. Dinho memborong dua gol sekaligus di kemenangan 3-0 tersebut untuk kado perpisahan Leonardo.
Saat Ronaldinho berjalan keluar lapangan, semua pendukung San Siro berdiri dan bertepuk tangan untuknya. Dia datang dengan segala keraguan dan kini ia benar-benar memenangkan hati mereka.
Sayang, dengan 15 gol dan 19 assist, The Smiling Assassins tak menghadirkan satu pun trofi untuk Rossoneri. Namun, ia memainkan pertandingan terakhir di level teratas dengan senyum di wajahnya.
Sumber: Planetfootball, Thesefootballtimes, Dreamteamfc, Transfermarkt, Bleacherreport