Mengapa Pelatih Terkenal Tak Laku?

spot_img

Mauricio Pochettino memperbaiki posisi Chelsea di tangga klasemen. Tapi The Blues malah menunjuk Enzo Maresca, pelatih klub divisi dua. Di Merseyside, Liverpool yang mengakhiri rezim Jurgen Klopp malah mengambil resiko dengan menunjuk pelatih asal Belanda.

Di Jerman lebih menggemaskan lagi. Bayern Munchen yang punya pelatih ber-DNA UCL macam Thomas Tuchel, justru menunjuk orang yang menjebloskan Burnley ke Championship. Di Italia, setelah lama dinanti, Juventus akhirnya memecat Massimiliano Allegri.

Namun, alih-alih memboyong pelatih yang punya nama besar, pilihan Juve malah jatuh pada Thiago Motta. Sosok pelatih yang, prestasi terbaiknya cuma mengantarkan Bologna ke Liga Champions.

Sementara nama-nama tadi dan beberapa nama seperti Roberto De Zerbi, Ruben Amorim, hingga Sebastian Hoeness ramai diperbincangkan, pelatih dengan nama besar justru sepi dibicarakan.

Kita tidak mendengar atau mungkin jarang muncul kabar kalau para pelatih seperti Zinedine Zidane, Maurizio Sarri, bahkan Jose Mourinho digoda oleh klub elit. Ini sebuah fenomena yang jarang terjadi. Bagaimana mungkin para pelatih terkenal kini tak laku?

Kesulitan Mencari Pelatih Baru

Hasrat memberhentikan pelatih dari klub-klub elit tak berbanding lurus dengan kemudahan mencari pelatih. Belakangan ini, mencari sosok pelatih baru tak segampang menemukan wanita simpanan. Banyak klub elit Eropa kesulitan mencari sosok pelatih baru.

Ambil contoh, yang paling kentara adalah Bayern Munchen. Tak dapat dipungkiri, pernah dalam beberapa tahun, Die Roten menjadi destinasi favorit para pelatih elit. Statusnya sebagai klub besar di Jerman dan juara enam kali Liga Champions jadi daya tarik.

Sehingga ketika mereka menelepon pelatih elit dan menawarkan pekerjaan, tidak pernah ada yang mengatakan “tidak”. Jupp Heynckes, Ottmar Hitzfeld, Carlo Ancelotti, Louis Van Gaal, Josep Guardiola, bahkan Thomas Tuchel, semua mengiyakan.

Namun, hari ini Bayern Munchen seperti janda keriput beranak lima. Tidak ada yang mau mendekatinya. Beberapa pelatih yang dihubungi Die Roten, hampir semuanya berpaling. Xabi Alonso menolak. Julian Nagelsmann yang mereka pecat seenak jidat tak sudi melatih lagi.

Ralf Rangnick, si bapak gegenpressing juga bergeming. Roberto De Zerbi dan Roger Schmidt hanya sampai di tahap pertimbangan. Karena sulitnya mendapat pelatih baru, Bayern sampai-sampai membujuk lagi Thomas Tuchel. Namun, Tuchel yang ilfeel jelas menolak.

Akhirnya pilihan pun jatuh pada Vincent Kompany. Beberapa surat kabar memberitakan kalau gaya main Kompany cocok buat Bayern. Namun, itu hanya alasan di atas kertas. Kompany adalah opsi kesekian karena Bayern gagal mendapatkan incaran-incaran utama.

Ide Besar, Bukan Nama Besar

Sebuah analisis menarik diulas The Flanker melalui lewat akun X-nya. Bahwa sepak bola hari ini begitu berkembang. Alhasil, di titik sekarang ini, situasinya berubah. Bukan pelatih bernama besar yang laris di pasaran, tapi pelatih dengan ide besar.

Pelatih bau kencur dan minim pengalaman, namun punya ide besar atau progresif cukup banyak dan menggiurkan. Sebut saja seperti Sebastian Hoeness, Arne Slot, Enzo Maresca, dan lain sebagainya. Pelatih yang punya nama besar, tapi ide dan gaya mainnya lapuk dimakan zaman juga banyak.

Misalnya, Jose Mourinho, Maurizio Sarri, sampai Antonio Conte. Kiwari banyak sekali muncul pelatih-pelatih pendatang baru yang memiliki ide, entah itu soal taktik maupun gaya bermain, yang meroket bersama timnya. Kendati pengalaman dan gelarnya minim.

Di Jerman ada Xabi Alonso dan Fabian Hurzeler. Bologna di tangan Thiago Motta bisa lolos ke UCL. Kieran McKenna yang membawa Ipswich promosi lagi. Sebastian Hoeness yang luar biasa dengan Stuttgart-nya. Olivier Glasner di Crystal Palace yang menghajar MU 4-0.

Pencapaian Bukan Soal Trofi

Landasan dalam mencari pelatih baru maupun manajer juga sudah berubah. Trofi bukan satu-satunya pencapaian yang dinilai. Klub kini lebih memperhitungkan catatan kemenangan sang calon pelatih terbaru. Maka dari itu, pelatih yang punya sejarah kesuksesan di masa lalu diabaikan, sedangkan pelatih dengan tren kemenangan yang baik diperhatikan.

Jose Mourinho dan Antonio Conte memang dua pelatih serial winner yang luar biasa. Jika klub merekrut satu di antara keduanya, jaminannya trofi. Namun, silsilah kemenangan terakhir keduanya tak cukup bagus jika dibandingkan dengan misalnya, Enzo Maresca.

Tak ayal daripada rujuk dengan Mourinho, Chelsea putuskan merekrut Maresca. Rekor kemenangan terakhir ini sangat penting. Sebab klub-klub elit di Eropa cenderung merekrut pelatih yang siap untuk bekerja. Maka dari itu, dibutuhkan portofolio terbaru.

Pengaruh Direktur Olahraga

Hal itu juga ternyata berkaitan dengan perubahan struktur organisasi klub-klub elit. Klub sepak bola kini tak lagi generalis, melainkan spesialis. Karena itu di dalamnya muncul lebih banyak jabatan dengan bidang keahlian dan tanggung jawab yang berbeda-beda.

Peran-peran seperti direktur teknik, direktur olahraga, direktur analisis, direktur perekrutan, hingga pelatih kepala lahir. Soal penunjukkan pelatih maupun manajer baru, kebanyakan klub menyerahkan tugas itu kepada direktur olahraga.

Alhasil, direktur olahraga memiliki pengaruh cukup besar terhadap pemilihan pelatih. Direktur olahraga akan mengidentifikasi sosok pelatih yang dinilainya tepat dalam mengemudikan tim, mengembangkan pemain, dan tentu saja memberikan hasil.

Oleh karena itu, sebelum merekrut pelatih baru, direktur olahraga menyusun rencana dan opsi. Nah, biasanya direktur olahraga ini mencari orang yang bisa segera bekerja sama dengannya dan nyetel dengan pemain yang ada. Bisa jadi karena hal inilah Barcelona memilih Hansi Flick, ketimbang mempertahankan Xavi.

Pengaruh Josep Guardiola

Sama halnya perusahaan mencari karyawan, klub sepak bola belakangan ini juga memeriksa latar belakang calon pelatih baru. Klub-klub elit Eropa mulai memandang kandidat lewat latar belakang. Misal, dengan siapa dan di mana si calon pelatih ini dulu bekerja.

Sebab itulah sosok seperti Kieran McKenna diincar oleh beberapa klub elit. McKenna bukan hanya pelatih yang membawa Ipswich ke Premier League, tapi rekam jejaknya yang pernah bekerja di MU membuat namanya layak dipertimbangkan.

Dari sekian nama, belakangan ini klub-klub elit Eropa akan lebih memperimbangkan calon pelatih yang punya hubungan dengan Josep Guardiola. Dilansir FourFourTwo, pengaruh Guardiola tampak besar dalam pemikiran klub-klub elit tentang sosok pelatih.

Ini mungkin karena setelah era Johan Cruyff, tidak ada lagi pelatih yang taktik dan metodologinya ditiru oleh pelatih lain yang kemudian sukses, selain Josep Guardiola. Meskipun ada Jurgen Klopp. Namun, Klopp pun dekat dengan Guardiola. Taktiknya juga sedikit banyak terinspirasi dari Guardiola.

Pelatih yang punya ikatan dengan Pep juga sudah terbukti. Mikel Arteta berhasil membangun Arsenal. Enzo Maresca yang juga pernah jadi asisten Pep, membawa Leicester ke EPL lagi. Vincent Kompany yang bekas anak asuhnya, membawa Burnley ke EPL dengan dominasi penguasaan bola.

Erik Ten Hag yang bahkan hanya pernah satu naungan dan tak langsung berkaitan dengannya, dua musim beruntun mengantarkan trofi untuk United. Jadi, jangan heran kalau klub sebesar Bayern Munchen kepincut pada Kompany, alih-alih menambah opsi lain macam Rafael Benitez.

Perihal Gaji

Efektivitas penggunaan dana kini juga mulai diperhatikan oleh klub-klub elit di Eropa. Apalagi UEFA mulai rewel soal Financial Fair Play. Klub pun akhirnya juga memperhitungkan soal gaji ketika hendak merekrut pelatih baru.

Pelatih atau manajer dengan nama besar biasanya bergaji selangit. Jose Mourinho itu gajinya 10 juta (Rp176,8 miliar) per tahun. Maurizio Sarri bahkan sekitar 6 juta euro (Rp106 miliar). Karena gajinya tergolong tinggi, Barcelona yang awalnya dikabarkan ingin mendapatkan Mourinho, mundur.

Daripada membayar mahal Mourinho, Los Cules merekrut Hansi Flick. Selain gajinya cuma 3 juta euro (Rp53 miliar), Flick juga gampang dibujuk agar gajinya dikurangi. Maklum, klub dhuafa. Di Italia, AC Milan kabarnya mendekati Paulo Fonseca demi menggantikan Stefano Pioli.

Rossoneri punya proyek minimalis musim depan. Oleh karena itu, Fonseca yang gajinya murah dipilih, ketimbang mempertahankan Pioli. Selama di Milan, gaji pelatih berkepala licin itu menyentuh 4,5 juta euro (Rp79,5 miliar). Sementara gaji Fonseca 3 juta euro saja.

Memang tidak ada jaminan merekrut pelatih terkenal seketika membuat klub sukses. Tapi, bukankah itu juga berlaku sebaliknya? Sekadar mengingatkan, musim ini, pelatih berpengalaman terbukti membawa timnya juara di level Eropa, ketimbang pelatih anyaran yang cuma bermodalkan taktik bagus dan rekor tanpa kalah.

https://youtu.be/NJiQSEHssfc

Sumber: ESPN, SempreMilan, FourFourTwo, TheFlanker, Graphic

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru