Kutukan Juara Bertahan Piala Dunia yang Sulit Dicari Penyebabnya

spot_img

Kutukan juara bertahan selalu menyelimuti setiap gelaran Piala Dunia. Entah kutukan itu datang dari mana atau disembulkan oleh dukun dari negara mana. Yang pasti negara yang baru saja juara Piala Dunia, tradisinya selalu tersingkir lebih mudah di edisi berikutnya.

Meski sebetulnya tidak selalu demikian. Sepanjang 88 tahun turnamen itu bergulir, ada dua negara yang bisa meraih titel secara back to back. Italia pada tahun 1934 dan 1938. Lalu ada timnas Brasil yang meraih dua kali titel, tahun 1958 dan 1962.

Selain itu, Argentina juga nggak buruk-buruk amat pada Piala Dunia 1990. Setelah menjuarainya pada edisi 1986, Argentina bersama Maradona berhasil menembus partai final. Jadi sejak kapan dong kutukan ini dimulai? Dan apa penyebabnya?

Piala Dunia 2002

Memasuki abad ke-21 kutukan juara bertahan Piala Dunia sepertinya mulai bekerja. Timnas Prancis pada edisi tahun 1998 berhasil menjadi juara. Pada waktu itu, Zinedine Zidane dan kolega berhasil mengalahkan Timnas Brasil dengan skor mencolok 3-0.

Tentu sebagai juara bertahan, ambisi Prancis meluap-luap pada empat tahun berikutnya. Berbekal juara bertahan dan juara EURO 2000, Prancis menatap Piala Dunia 2002 dengan penuh keyakinan. Ironis, pada Piala Dunia yang berlangsung di Benua Asia itu, kutukan juara bertahan mulai berhembus.

Pada edisi itu, juara bertahan Prancis tak berkutik menghadapi tim kuda hitam, Senegal. Diop cs yang sedang berapi-api berhasil mengalahkan Prancis. Marcel Desailly dan kolega juga takluk atas Denmark dan hanya bermain imbang kontra Uruguay. Lebih nahas lagi, Prancis tak bisa mencetak satu gol pun. Hasil itu membuat sang juara bertahan terhenti di fase grup.

Piala Dunia 2006

Pada edisi 2006 banyak yang mengira apa yang terjadi pada Prancis di edisi sebelumnya cuma kebetulan. Sebab pada edisi ini, Timnas Brasil kelihatannya tidak akan mendapat kutukan. Apalagi Selecao tampil paripurna di fase grup.

Timnas Brasil dengan kekuatan sisa Piala Dunia 2002, seperti Ronaldo Nazario dan Ronaldinho memuncaki klasemen Grup F. Brasil mengungguli Australia, Jepang, dan Kroasia. Hebatnya, pada edisi 2006, langkah Brasil mendekati sempurna.

Selecao melumat Ghana di babak 16 besar. Namun, langkah Brasil harus terhenti di babak perempat final oleh Prancis. Pencapaian ini sebenarnya tidak terlalu buruk bagi juara bertahan. Dengan kata lain, kutukan juara bertahan akan tersingkir lebih dulu luntur di tangan Timnas Selecao.

Piala Dunia 2010

Timnas Italia berhasil meraih juara di Piala Dunia 2006. Mereka mencoba melakukan seperti apa yang dilakukan Timnas Brasil di edisi 2006. Gli Azzurri tidak ingin tersingkir lebih dulu di Piala Dunia 2010. Namun, harapan itu semu belaka. Kutukan juara bertahan Piala Dunia kembali bekerja.

Nasib Italia sama dengan Prancis. Alih-alih mencapai puncak tertinggi, Gli Azzurri malah tidak lolos dari fase grup. Padahal Italia waktu itu tidak berada dalam grup yang sulit, malah cenderung mudah. Bahkan mungkin sangat mudah untuk tim selevel Italia.

Pada Piala Dunia 2010, Italia tergabung ke Grup F. Grup ini berisi Paraguay, Slovakia, dan Selandia Baru. Tragis, Italia justru ditekuk Slovakia 3-2. Pasukan Marcello Lippi juga hanya bisa bermain imbang melawan Selandia Baru dan Paraguay. Italia gagal lolos ke fase gugur setelah menempati posisi juru kunci.

Piala Dunia 2014

Kutukan juara bertahan makin terasa di Piala Dunia 2014. Spanyol yang bisa meraih trofi Piala Dunia 2010 plus EURO 2012 malah terlunta-lunta di Piala Dunia 2014. Sama seperti Italia, La Furia Roja tersingkir lebih cepat di Piala Dunia Brasil. Padahal Spanyol cukup meyakinkan di pertandingan pertama dengan menghajar Australia 3-0.

Namun La Furia Roja tak berdaya melawan tim yang mereka kalahkan di final 2010, Belanda. De Oranje menghabisi Spanyol 5-1. Pada laga menghadapi Chile, Spanyol juga kalah 2-0. Sang juara bertahan pun harus tersingkir lebih dulu.

Spanyol hanya finis di peringkat ketiga Grup B. Kutukan juara bertahan yang tersingkir lebih cepat pun berlanjut. Spanyol gagal mengikuti jejak Brasil.

Piala Dunia 2018

Kutukan juara bertahan kembali berlanjut pada Piala Dunia 2018. Jerman yang berhasil merajai Piala Dunia 2014, justru tertatih-tatih di Piala Dunia 2018. Der Panzer tidak lolos dari fase grup. Timnas Jerman harus menelan dua kali kekalahan di Rusia.

Anak asuh Joachim Loew takluk atas Meksiko 1-0. Yang memalukan tentu saja ketika Jerman babak belur melawan Korea Selatan asuhan Shin Tae-yong 2-0. Die Mannschaft hanya bisa menang atas Swedia 2-1. Dua kali kalah dan satu kemenangan membuat Timnas Jerman gagal lolos. Ketika itu Jerman bahkan menempati posisi paling buncit.

Pertanyaan kemudian, mengapa sejak tiga Piala Dunia terakhir, kutukan juara bertahan itu benar-benar nyata? Mengapa juara bertahan di Piala Dunia, sejak tiga edisi terakhir selalu pulang lebih cepat? Apakah ada faktor yang melatarbelakangi hal itu?

Perbedaan Kualitas

Untuk mengetahui hal itu, Starting Eleven mencoba menganalisis apa yang mungkin jadi penyebab juara bertahan Piala Dunia mudah tersingkir lebih dulu. Salah satunya karena perbedaan kualitas tim.

Empat tahun adalah waktu yang tidak sebentar. Dalam rentang waktu tersebut, setiap tim akan mengalami perubahan. Entah dari faktor skuad, manajemen, bahkan pelatih dan federasi. Itulah mengapa barangkali kualitas juara bertahan bisa jadi menurun di edisi berikutnya.

Kendati demikian, jika kita melihat faktanya, beberapa juara bertahan di Piala Dunia masih memakai skuad lama di edisi berikutnya. Seperti Brasil, Italia, dan Spanyol. Komposisinya memang ada satu-dua yang berbeda, tapi beberapa pemain yang pernah juara juga tetap ikut.

Selain itu, pada kasus Italia dan Spanyol misalnya, kedua tim itu pada saat gagal di fase grup, toh masih dibesut pelatih lama. Spanyol masih dengan Vicente Del Bosque yang membawa tim juara dunia tahun 2010 dan EURO 2012. Italia juga masih dipegang Marcello Lippi.

Oleh karena itu, ini bukan hanya menyangkut perbedaan kualitas si juara bertahan saja. Tapi perbedaan kualitas para lawan-lawannya. Misal, Spanyol bisa mengatasi Belanda di final 2010 ketika De Oranje masih dilatih Van Warwijk.

Sementara, tahun 2014 Belanda sudah dibesut Van Gaal dan Spanyol masih ditangani Del Bosque. Dari sini bisa dilihat bahwa kualitas Belanda di tangan Van Gaal ternyata bisa mengalahkan Spanyol, yang ditukangi Vicente Del Bosque.

Skuad yang Menua

Selain itu, penuaan skuad bisa jadi penyebab mengapa juara bertahan bisa tersingkir lebih dulu. Memang benar susunan skuad masih sama dengan edisi sebelumnya, tapi bagaimana jika pemain-pemain itu sudah menua? Misal apa yang terjadi pada Timnas Prancis di Piala Dunia 2002.

Banyak pemain Les Bleus yang melewati usia 30. Fabien Barthez, Desailly, Lizarazu, Lilian Thuram, sampai Djorkaeff dan Emmanuel Petit. Pemain tadi menanggung beban terlalu banyak di kakinya. Dan usia mereka sudah tidak bisa berbohong.

Mentalitas

Faktor yang mungkin saja jadi penyebab kutukan adalah mentalitas. Status juara bertahan tentu menjadi beban bagi setiap tim yang berlaga. Beban itu menuntut sang juara bertahan bisa tampil maksimal. Ironis, yang terjadi justru sebaliknya.

Para juara bertahan terlihat sangat percaya diri, namun yang terjadi di lapangan tidak demikian. Apalagi jika di laga awal saja mereka sudah kacau, seperti yang ditunjukkan Jerman di Piala Dunia 2018.

Kekalahan bisa membuat fokus buyar dan mentalitas menurun, karena kalah artinya kehilangan poin. Dalam Piala Dunia, jika sudah kehilangan poin, peluang untuk lolos dari fase grup pun menipis.

https://youtu.be/NyYazorDUs8

Sumber: SkySports, Khelnow, Quora, SI, Scroll

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru