Musim 2025/26 baru dimulai, tapi perasaan fans Manchester United sudah campur aduk. Fans seperti sedang dipermainkan. Kalau bahasa gaulnya sih, fans United tuh sekarang lagi ngerasain mixed feeling. Antara optimisme yang sudah terbangun dan kenyataan yang teramat pahit untuk ditelan.
Fans yang sudah rindu gelar juara Premier League awalnya yakin dengan persiapan matang, United akan kembali ke era kejayaan. Apalagi sejak persiapan United menunjukan tanda-tanda positif. Mendatangkan pemain-pemain haus gol, hingga menjuarai turnamen pramusim. Sayangnya, di awal musim MU justru tampil loyo.
Di balik kerinduan ini, ada kepercayaan yang muncul bahwa fans seharusnya tak serindu ini jika gelar Premier League United tak dirampas pada musim 2017/18. Eits, tunggu dulu. Apa nih maksudnya? Konon, yang seharusnya juara Premier League musim itu adalah United, bukan Manchester City. Namun, karena ada campur tangan UEFA, MU batal meraih gelar. Jika benar, bagaimana ceritanya?
Daftar Isi
Transisi Buruk
Setelah terakhir kali menjuarai Premier League musim 2012/13, Manchester United mengalami transisi besar-besaran. Itu jadi tahun terakhir Sir Alex Ferguson menangani Setan Merah. Kepergiannya bahkan dibarengi dengan resign-nya David Gill dari posisinya sebagai CEO klub. Manajemen dan petinggi klub diminta bekerja lebih keras untuk mencari solusi.
Saat itu, tugas utamanya adalah mencari pelatih baru. Pelatih yang cocok dengan skuad warisan Sir Alex, cocok dengan DNA klub, dan cocok dengan visi misi klub. Beberapa nama-nama besar pun sempat dikaitkan dengan United kala itu. Dari Carlo Ancelotti, Jurgen Klopp, Jose Mourinho hingga Pep Guardiola, berjejer untuk dikaji profilnya.
Saat itu, manajemen klub merasa bahwa Jose Mourinho adalah kandidat terbaik. Dia memiliki karakter yang kuat dan tak bermasalah dengan adaptasi. Sebab, dirinya sudah pernah menangani Chelsea pada tahun 2004 hingga 2007. Kiprah Mourinho di Chelsea pun sangat memukau. Ia meraih dua gelar Premier League secara beruntun. Sang manajer pun setuju. Mourinho merasa terhormat apabila bisa menjadi suksesor Fergie.
Namun, Sir Alex pergi bukan tanpa permintaan terakhir. Sebagai salah satu sosok paling berpengaruh di United, Fergie menyodorkan satu nama yang out of knowhere. Bukan Pep, bukan Klopp, tapi David Moyes. Alasannya, karena Moyes memiliki DNA yang sama dengannya, yakni sama-sama berasal dari Skotlandia.
Moyes punya reputasi pekerja keras, disiplin, dan berkomitmen jangka panjang. Fergie merasa Moyes cocok dengan filosofi MU yang sudah terbangun. Selain itu, berbeda dengan Mourinho yang penuh drama dan instan, Moyes dianggap lebih stabil dan konsisten. Ya, pelatih asal Portugal itu baru saja keluar dari Real Madrid dengan reputasi buruk. Penuh konflik dan buruk dalam bertutur kata di depan media. Itu bukan MU banget, kata Fergie.
Masa Kelam
Manajemen dan para petinggi klub pun manut sama sang legenda. David Moyes ditunjuk sebagai pelatih berikutnya pada tahun 2013. Muncul respons beragam soal keputusan ini. Kebanyakan bernada ragu. Dan keraguan itu terbukti di akhir musim. Berstatus sebagai juara bertahan, United tampil begitu buruk di musim 2013/14.
Moyes gagal meneruskan aura Ferguson. Permainan nggak jelas, taktik itu-itu saja, dan lini depan terlihat sangat tumpul. Strategi Moyes yang defensif membuat MU kehilangan identitas “serangan cepat” ala Ferguson. Pemain kaliber Robin Van Persie saja sampai tak bisa tampil maksimal.
Kran golnya menurun drastis. Ia hanya mencetak 12 gol di Premier League, padahal musim 2012/13, ia mampu mengemas 26 gol. Bahkan rumornya saat itu ruang ganti juga kurang respek pada Moyes karena ia belum pernah menang trofi besar. Rangkaian hasil buruk membuat pemain-pemain ikonik macam Rio Ferdinand dan Patrice Evra mulai kehilangan motivasi bermain.
Baru pada tahun 2014, nama pelatih besar pun datang dalam bentuk Louis Van Gaal. Trofi Piala FA diraih musim 2015/16. Tapi performa tim gitu-gitu aja. Bahkan United cuma main di Europa League musim berikutnya.
Mourinho Akhirnya Datang
LVG tak dipertahankan, United mencari pelatih baru lagi. Nama yang sempat tertunda tiga tahun lalu, yakni Jose Mourinho pun benar-benar datang tahun 2016. Mourinho dipilih setelah sekali lagi membuktikan diri di periode keduanya bersama Chelsea. Pria nyentrik itu membawa The Blues menjuarai Premier League musim 2014/15.
Setelah memutuskan berpisah pada akhir 2015 dan menganggur kurang lebih setengah tahun, Mourinho menerima pinangan United. Kedatangan Mourinho ke Old Trafford disambut meriah. Publik Manchester melihatnya sebagai tokoh besar yang mampu mengembalikan kejayaan setelah klub terombang-ambing sejak kepergian Sir Alex.
Namun, begitu ia resmi duduk di kursi manajer, bayangan kebesaran Ferguson terasa seperti hantu yang masih bergentayangan. Mourinho mewarisi klub yang secara nama masih raksasa, tetapi di dalamnya tidak lagi sekuat dulu. Struktur manajemen berantakan. Ed Woodward dan jajaran direksi lebih sibuk mengurusi kontrak sponsor dan pemasukan komersial, sementara arah proyek sepakbola belum jelas.
Treble Mini
Tapi bukan Jose Mourinho namanya kalau tak melahap setiap tantangan. Mourinho berusaha menunjukan bahwa keputusan Manchester United untuk mempekerjakannya adalah pilihan yang tepat. Musim pertamanya terlihat menjanjikan.
Saat datang, Mourinho sudah tahu ekspektasi yang ditaruh di pundaknya sangat besar. United haus akan kejayaan setelah masa-masa kelam bersama David Moyes dan permainan membosankan ala Louis Van Gaal. Mourinho akhirnya memilih pendekatan pragmatis. Bukan sepakbola paling indah, tapi sepakbola yang efektif.
Dengan bantuan Zlatan Ibrahimovic, Paul Pogba, hingga Henrikh Mkhitaryan, Mourinho membangun kerangka tim yang lebih kompetitif dibanding musim sebelumnya. Di akhir musim, Jose Mourinho pun mempersembahkan Community Shield, Piala Liga, dan Europa League musim 2016/17.
Mourinho menyebutnya “treble kecil”, seakan ingin menegaskan bahwa dirinya masih bisa memberi gengsi pada klub yang sedang goyah. Tetapi di balik keberhasilan itu, masalah mendasar tidak teratasi. Perekrutan pemain tetap acak, visi jangka panjang tak pernah jelas, dan ketegangan dengan beberapa pemain senior membuat ruang ganti panas.
Kembalikan MU ke UCL
Itu dibuktikan dengan ketidakmampuan Mourinho memperbaiki peringkat tim di Premier League. Meski meraih tiga trofi, United hanya finis di urutan enam. Setelah meyakinkan publik di musim pertama, Mourinho mulai fokus memperbaiki performa tim di liga. Trofi lain agaknya diabaikan karena ini.
Fokusnya di musim 2017/18 adalah menjadi yang terbaik di Premier League dan mengembalikan United ke Liga Champions. Di musim keduanya, Mourinho memperbaiki kualitas pertahanan dan lini depan. Mourinho juga mengembalikan identitas United sebagai tim yang memiliki serangan balik mematikan.
Mourinho mengandalkan kecepatan di lini depan dengan adanya Marcus Rashford dan Jesse Lingard. Dengan konsistensi tim, pertahanan yang kokoh, serangan balik efektif, serta kemampuan menghadirkan performa maksimal di laga krusial membuat United mengumpulkan 81 poin.
FFP yang Tak Ditegakkan
Nah, di musim 2017/18 itu seharusnya kinerja Jose Mourinho menghasilkan trofi Premier League pertama MU usai ditinggal Sir Alex. Konon, di musim itu banyak yang berpendapat bahwa Manchester United seharusnya bisa meraih gelar juara Premier League jika Manchester City dinyatakan bersalah karena telah melanggar aturan Financial Fair Play.
Dalam dua tahun, yakni 2016 hingga 2018, City benar-benar edan dalam belanja pemain. Menurut situs Transfermarkt, hanya dalam kurun waktu tersebut, City mengeluarkan uang hampir 600 juta euro hanya untuk belanja pemain. Pembelian mahal kala itu adalah Aymeric Laporte, Benjamin Mendy, John Stones, hingga Bernardo Silva.
Dari situ, City mencatatkan kerugian sekitar 350 juta euro. Itu sangat melebihi ambang batas FFP. Mourinho menyatakan bahwa United secara hukum menjadi juara Premier League 2017/18. Sebab, City seharusnya mendapat hukuman pengurangan poin yang cukup masif.
Sayangnya, UEFA justru melunak pada City. Klub yang dilatih Pep Guardiola itu bahkan lolos dari sanksi larangan aktivitas di bursa transfer dan hanya dihukum untuk membayar denda sebesar 315 ribu pound. Mourinho pun merasa UEFA hanya tegas pada klub-klub kecil. Sementara klub-klub berduit tak mendapat hukuman yang setimpal. Padahal pelanggaran yang dilakukan sangat fatal.
Apabila saat itu UEFA sudah tegas pada peraturannya sendiri, maka gelar Manchester City di musim itu harus dicabut. Setelah beberapa tahun, kini sengketa gelar itu sedang diperjuangkan. Premier League dan FA sedang menggodok 115 tuduhan pelanggaran aturan FFP milik City. Jika terbukti bersalah, jumlah trofi Premier League United akan bertambah satu.
Sumber: Goal, BBC, The Guardian, Daily Mail, Sky Sport


